Oleh Fiqoh
“MAAF,,SALAH KAMAR BU...
ANGGOTA DISINI SUDAH JAGO NARASI SEMUA...
APALAGI KALO DISURUH BIKIN NARASI GORENG....
Ibu seharusnya yang harus ikut kursus KEJAR PAKET A, supaya tidak NYASAR2 LAGI DI MILIS INI....
Pisss..”
Kalimat di atas saya kutip asli dari seseorang yang ditujukan kepada saya minggu lalu. Hal itu berhubungan dengan posting saya ke sebuah mailing list, untuk menawarkan kursus menulis yang diselenggarakan oleh yayasan tempat saya bekerja.
Dari kalimat yang ditulis beliau, saya ingin memberikan sedikit catatan. Pertama, tentang pemakian huruf-huruf kapital. Menulis dengan huruf kapital, jelas tak menarik. Sepertinya lebih tepat kalau ditulis di sepanduk buat berdemonstrasi. Seperti yang kadang saya lakukan bersama teman-teman buruh.
Kedua, tentang penggunaan tanda baca berupa dua koma yang berjejer, entah apa itu maksudnya..?
Ketiga mengenai penggunaan kata ‘Di’ yang seharusnya dipisah karena menunjukkan tempat, dan “Di’ yang mestinya disambung, yang merupakan sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif. Pengetahuan ini saya dapat dari artikel yang ditulis oleh Goenawan Mohamad berjudul “Di Manakah ‘Di’?”
Dalam kalimatnya beliau menuliskan DISINI dan DISURUH. Seharusnya, “Di” yang pertama dipisah dari kata yang menunjukkan SINI sebagai tempat. Jangan disamakan dengan “Di" yang kedua, yang memang disambung karena merupakan sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif, yang harus merapat pada kata yang diawalinya.
Hikmah yang saya petik, setidaknya saya akan lebih berhati-hati. Apalagi kalau mau mencak-mencak sama orang lain. Meski masih belajar menulis, tapi harus mulai peduli terhadap ketelitian. Karena kalau tidak, selain membuat kekacauan berbahasa, kekeliruan macam itu akan mengubah konotasi.
Mari kita bedakan kalimat berikut: Al-Quran di langgar. Bedakan dengan, Al-Quran dilanggar. Kalimat pertama menujukkan langgar adalah surau. Dan kalimat kedua, dilanggar artinya ditabrak. Demikian, masih saya kutip dari artikel Pak Goen.
Catatan terakhir, saya sedang berpikir tentang hubungan salah posting dan Kejar Paket A. Kok menurut saya tidak nyambung ya...? Saya memang belum punya pengalaman mengikuti kelas Kelompok Belajar Paket A. Tapi sepertinya, di sana tidak diajarkan tentang kurikulum agar posting di milis tidak nyasar
Sebagai orang yang tidak terpelajar, saya terus belajar dalam hidup. Tidak saja dari kebaikan, tapi juga keburukan, bukan hanya pada mereka yang bijak, tapi juga yang arogan. Mereka, selalu memberikan sisinya yang manis, menawan, juga lucu. Semua itu akan membuat hidup lebih berwarna. Seperti halnya menulis, yang sering kita sebut sabagai profesi lintas etnik, agama, ras, suku, dan aliran apapun yang ada di dunia ini.
Sesungguhnya, dalam hubungan antarsesama atau komunitas, tepo seliro tetap harus ditumbuhkan. Selama sikap tepo seliro itu tidak diterapkan pada koruptor, pelanggaran Ham atau perusakan lingkungan yang menyengsarakan manusia lainnya. Setiap orang bisa salah, tapi atas nama orang yang terdidik dan terpelajar, sungguh disayangkan, kalau keterpelajaran itu tidak tercermin dalam laku kita.
Jakarta, 8 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar