Cerpen
Oleh Fiqoh
Beranjak darimu, bagai terbang bersama puing reruntuhan. Sayapku tak lagi mengepak seperti dulu. Sayap yang sekian lama terbiasa engkau dekap. Hingga aku lupa cara terbang di alam lepas.
Laut terlihat tenang. Tak ada gelombang. Hanya riak-riak kecil yang lirih berdesir. Tak ada debur yang riuh, atau ombak yang saling mengejar.
Kita berjalan dari ujung ke ujung bagai dua orang linglung. Kaki kita terus melangkah meski kita tahu tanpa ada arah yang dituju. Tepat di dekat bagan, kau memilih berhenti.
Batas menurut kita. Tapi tidak untuk pantai itu. Dan kita memang tak pernah tahu di mana tepinya. Seperti ketika kita menebak-nebak kedalamannya.
“Mungkin dalamnya seperti jarak bumi dengan atmosfir,” katamu menduga-duga. Dan aku tak menjawab.
“Meski nampak tenang, mungkin di dalamnya bergemuruh,” sambungmu gelisah sambil memandang laut biru yang seakan membeku. Matamu seperti mencari sesuatu.
“Mungkin,” jawabku.
Bagiku, sesuatu itu bagai benda yang larut ke dasar laut. Diam-diam hatiku juga mencarinya. Tapi aku sendiri juga tak tahu di mana letaknya. Hingga aku merasa lelah dan memilih diam.
Kusandarkan tubuhku di pohon waru. Dan kau mencari pohon waru yang lain, yang jaraknya tak jauh dariku. Para awak perahu satu persatu menghampiri kita. Mereka menawarkan jasa membawa kita berlayar. Sekali kau membujukku, dan aku menolak.
***
“Sudah tujuh tahun kita tak ke sini. Segalanya benar-benar sudah berbeda,” katamu memecah kebisuan.
“Dulu pohon-pohon di sini masih rindang. Sekarang semuanya meranggas.”
“Iya. Sekarang meranggas,” sambungku sambil melangkah di sampingmu. Dan kita sama-sama memandang ke suatu arah.
Crek. Aku melompat kecil untuk mendahuluimu dan menjepretkan kamera.
”Lihat ini,” kataku. Dan kau tersenyum.
“Gimana?” tanyaku.
“Sudah tua aku ya. Mirip seorang bapak dengan tiga anak.”
“Iya. Aku juga. Ibu dengan dua anak. Bagiku cukup dua saja.”
Kita kembali memandang ke kejauhan. Sepasang remaja telah beranjak meninggalkan bagan. Pasangan itu mengingatkanku ketika datang ke tempat ini pertama kali. Berdiri di pinggir pantai menikamti angin laut bersamamu.
“Sekarang aku ingat. Dulu mobil kita ada di sana!” kau berseru ragu menatap ke arahku.
Aku mengangguk mengingatnya. Di bagan itu kita pernah melewatkan malam bersama. Menantang angin dan gelombang. Menatap bintang dan rembulan. Hingga biru langit berganti jingga. Tapi, rentang waktu mengubah kita menjadi beku. Seperti tonggak-tonggak tua itu. Tonggak yang dipasang para nelayan untuk mengikatkan tali jangkar.
Kuusap wajahku yang sejak tadi diterpa angin laut dan debu. Aroma pasir samar-samar tercium hidungku. Kau ulurkan sapu tangan. Sapu tangan yang dulu, ketika dengan gemetar jemarimu yang berkeringat mengusap wajahku. Kusambut sapu tanganmu. Dan selebihnya…hanya kediaman kita dan angin laut itu.
Aku berjalan lagi. Menapaki pasir panas karena terik matahari. Dan kusadari langkahku mulai gontai, seperti induk kambing yang nampak kepayahan berjalan ke arahku. Kambing itu berhenti untuk memakan bunga waru yang telah layu. Seakan menunggu, ia tak segera pergi meninggalkan pohon itu. Barangkali bunga-bunga akan jatuh lagi.
Angin sesekali bertiup kencang, tiga bunga terlepas dari tangkainya. Induk kambing kembali memakan bunga itu meski nampak tak berselera. Barangkali, ia memakan bunga itu demi menghasilkan air susu. Dua anaknya segera berebut menyesap puting yang kering. Ah, kasihan nasib kambing itu. Tinggal di pantai seperti ini, tentu tak pernah menjumpai rumput. Tapi ia bisa beradaptasi.
Aku meraba hatiku sendiri. Hati yang seakan pergi menjauh dan sulit dipanggil kembali. Ia ikut terbawa bersama perginya seseorang dari sisiku. Seseorang yang sekian lama mengisi hidupku, menyatukan nafas dan bergumul di jiwa. Penyatuan itu tak bisa digambarkan seperti spare part kendaraan, yang ketika terlepas mudah dicarikan gantinya. Ia juga tidak berbentuk bulat, simetris, horizontal ataupun vertikal.
Tahukah kau? Ini bukan tentang cinta, luka, atau kecewa. Tapi tentang rasa yang hilang. Kucoba menautkan hatiku padamu. Kau yang kini di dekatku. Tapi, langkahku tersurut ke belakang. Ternyata aku belum juga beranjak.
Sekali lagi kupandangi tempat itu. Tujuh tahun silam kita ada di sana. Dan akhirnya terberai dihempas ombak. Kusibak lagi jejak-jejak kenangan kita. Tapi aku tak menemukannya. Jejak itu sudah dipenuhi tumbuhan perdu.
Jakarta, 2 november 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar