Aku tak mengingatnya lagi. Lama sekali, sejak....
Ah. Tak ada sejak. Karena tak pernah ada sebuah momen dimana hari jadi dirayakan. Baik sewaktu kecil, menjelang remaja, dewasa, hingga...semua fase itu lewat.
Hari ini, aku tak mengingat ultahku malah. Hingga di facebook-ku aku melihat teman-teman bermurah hati memberi ucapan selamat dan doa. Ucapan selamat untuk menyongsong akhir hayat, karena sejatinya, bertambahnya usia, maka berkurang umurku di dunia. ‘Hari jadi’ kumaknai sebagai sebuah peringata--hai, sudah sejauh ini perjalananmu.
Aku bersyukur, seperti syukur-ku di hari-hari kemarin--setiap pagi, ketika aku terbangun, dan melihat mentari. Hari itu masih milikku.
Kemarin doaku, hanya berisi beberapa permintaan saja--keselamatan, kesehatan, kebaikan dalam hidup dan kebahagiaan dunia hingga akhirat. Hari ini, aku melihat doa dari orang yang beragam—lintas suku, ras, dan golongan. Deretan panjang kususuri, kubaca satu persatu. Tapi, tak ada harapan yang lebih dari apa yang selama ini kupanjatkan--sehat, selamat, sukses dalam kebaikan, dan kebahagiaan. Doaku dan doa mereka sama, doa yang mendasar bagi semua manusia.
Ada cinta, ada damai. Hingga aku tak bisa lagi membedakan, dari mana dan oleh siapa pengharapan dan doa itu berasal.
Masihkah aku memilah mana yang Muslim, dan bukan Muslim?
Aku teringat tentang konsep Hablum Minallah dan Hablum Minannas—hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, yang sering dibicarakan dengan begitu ketat oleh beberapa temanku yang beragama Muslim. Jika non muslim memberi salam pada kita, maka bagi orang itu tak masalah, karena mereka tetap dalam wilayah Hablum Minannas. Tetpai jika kita membalas dan mengucapkan salam pada orang tersebut, artinya kita memasuki wilayah Hablumminallah dan mencampuradukkan dengan Hablum Minannas, maka hukumnya haram.
Doa-doa, ucapan selamat, pengharapan yang baik terus terlontar. Ada yang dalam bahasa Jawa, membawa nama Sang Pencipta, hingga dalam bahasa Inggris. Semua mengalir dari berbagai aliran--bergulir, bening, jernih. Dan...sekali lagi aku tak bisa membedakan karena, kebaikan tetaplah kebaikan.
Bagiku, cinta tetaplah cinta, seperti cinta induk binatang—kucing, anjing, harimau, dan lainnya yang menyayangi anak-anaknya dengan naluri. Cinta tetaplah suci dan membawa damai. Haruskah aku mempersoalkan doa dari keragaman itu? Jika, semesta saja tak membedakannya?
Seperti kita ketahui, bahwa Hukum LoA (Law of Attraction), tak memilah dan memilih. Menanam kebaikan berbuah kebaikan. Menanam kebencian berbuah kebencian. Hari jadiku, berlimpah doa dan ucapan selamat. Dunia maya yang indah.
Semoga saja. Tepo seliro, kelapangan hati, bisa terjadi di alam nyata ketika fisik saling bersentuhan, dan satu sama lain tetap leluasa memanjatkan doa meski berbeda keyakinan.
Soal paham, soal aliran kepercayaan, urusan setiap manusia dengan Tuhannya. Tentang tempat dan cara berdoa, tentu bisa di mana saja. Di facebook, lapangan, kebun, sawah, kuburan. Caranya, bisa dengan bahasa Jawa, Inggris, Arab, dan lain-lain. Semesta bagaikan cermin yang bening. Siapapun yang mendamba kebaikan, akan diberi kebaikan.
Indahnya hari jadi. Indahnya menikmati kasih dari segala perbedaan.
Jakarta, 25 November 2010 (Fiqoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar