Sabtu, 13 November 2010

Saat Kulanggar Nasehatmu

Oleh Fiqoh

BUTIRAN embun berkilau-kilau bagai hamburan mutiara. Aroma lumpur dan walang sangit berbaur memasuki hidung. Itulah pemandangan pagiku, setiap kali berdiri di tengah hamparan sawah, menjaga padi dari serbuan burung-burung.

Ada rasa geli saat memijak pamatang yang lebarnya tak sampai dua jenkgal. Rumput-rumput menggeliat di telapak kaki, bagai makhluk-makhluk bersayap bangun dari tidur dan mengepakkan selimut embun.

Hari itu segerombol burung emprit datang labih pagi dariku. Mereka bercericit mematuk bulir-bulir padi. Menyadari kedatanganku membuat burung-burung itu menjadi gelisah. Sesekali mereka terbang rendah menjauh ke ujung sawah.

Aku membiarkan makhluk yang besarnya seukuran jempol kakiku itu memakan padi. Kuterka, perutnya tak sampai sebesar ibu jari. Teringat kata Bapak, burung-burung tidak bisa bercocok tanam. Maka itu mereka minta sedikit jatah kita. Niatkan saja ibadah. Yang tak seberapa itu, barangkali akan menjadi tabungan kita di sana. Karena, sebanyak apapun yang kita makan, semua hanya akan bermuara di kali.

Aku tersenyum mengenang ucapan itu. Juga mengenang kali yang sering menghanyutkan perahu-perahu berbentuk pisang. Di kampungku, hampir semua penduduk membuang hajatnya di sana.

Hangat mentari menyusut embun di daun padi. Air sawah yang dangkal hangat menyentuh kaki. Seekor kepiting yang kesiangan, nampak tergesa-gesa menuju sebuah lubang. Selesai sudah tugasku hari ini.

Kutinggalkan sawah dengan padi-padi yang mulai menguning. Tak sabar rasanya untuk segera ke kali. Pasti teman-temanku sudah menunggu di sana untuk bersama-sama menangkap udang, uceng dan ikan gabus. Aku pun berlari-lari kecil di atas pematang. Dan saat itu mataku melihat seekor anak ayam berbulu rowang-rawing sedang melompat-lompat menjangkau padi yang tinggi. Spontan aku menggertak anak ayam itu. Dan ia jejeritan sambil berlari ketakutan hingga kakinya sering tergelincir dan tubuh kecilnya terbanting-banting. Aku tertegun, terlebih melihat perutnya yang kosong ngelempet ke dalam. Ia kelaparan sekali.

Kutekuk tiga batang padi, dan aku melangkah berbalik arah. Dari jauh aku mengintai untuk memastikan ia kembali.

”Katamu, kita boleh membiarkan burung-burung makan sekedarnya. Tapi hal itu tidak berlaku untuk ayam. Karena ayam ada yang memelihara dan memberi makan. Tapi anak ayam ini, kelaparan sekali. Dan entah kenapa dia tak bersama induknya. Mungkin induknya mati terserang pileran. Dan si pemilik ayam lalai memberinya makan,” ucapku seorang diri, kutujukan padamu di alam sana.

Hening. Hanya bulir-bulir padi yang mengangguk-angguk tertiup angin.

”Tak apa ya? Aku tak patuhi nasehatmu tentang padi kita dan ayam itu. Kuharap ini akan membuatmu tersenyum di alam sana. Kurasa ketidaktaatanku justru bisa melenyapkan gelisahmu. Andai engkau bisa bangun dan kembali sebentar ke dunia, kurasa tadi engkau menghampiriku dan melarangku mengusir anak ayan itu kan? Seperti dulu, ketika aku menggebuk tikus yang masuk ke bawah tampah. Lalu, engkau menyuruhku melepasnya dan minta maaf. Engkau bilang, kalau tak mau dimakan tikus, ya kita yang harus menutup rapat gabah kita, dan aku jadi menyesal dengan tikus yang tergolek lemas tak berdaya, lalu aku membacakannya doa-doa,” begitulah, aku terus berdialog dengan diri sendiri sambil mengenang Bapak di antara hamparan padi. Dan kulihat anak ayam mulai berjalan mengendap-endap menuju tiga batang yang telah roboh.

”Pagi ini aku yang menang!” pekikku dalam hati. Aku senang bisa meledek Bapak seperti ini. Agar ia tahu aku telah bisa menggunakan akal pikirku. Dulu, ia pernah berpesan bahwa kesabaran, kepatuhan, harus disesuaikan dengan keadaan. Tidak apa-apa kadang terlihat tidak patuh sama orang tua, asal demi kebaikan.

”Akur?”

Lagi-lagi, hanya keheningan dan semilir angin yang menerpa lembut wajahku. Damai dan gairah menyelusup di jiwa bersama kabut-kabut yang memudar oleh hangat mentari.

Langkahku telah sampai di belokan jalan dekat rumpun bambu. Air kedung terlihat biru tenang. Di sana biasa kulakukan kebiasaanku -- menyeburkan diri sebelum ke sekolah. Tapi tidak untuk hari itu, karena hari itu hari Minggu. Kulihat tiga temanku sudah duduk di batu-batu sambil mencelupkan kaki ke dalam air. Siti Hasanah, Rusal dan Qomariyah.

Tak sampai lima menit tiga udang berhasil kami tangkap, dan temanku menjemurnya di atas batu. Nanti jika matahari sudah terik, pasir akan memanas dan kami akan membenamkan udang-udang itu hingga warnanya merah siap disantap.

Sepanjang berkecimpung mencari ikan, Rusal nampak muram. Dan sesekali Qomariyah mendekatinya. Keduanya seperti sedang terlibat permasalahan. Dari bahasa tubuh dan mikik mukanya, Qom terlihat seperti menyalahkan Rusal. Mereka sering terlihat berselisih sambil menjauh dan melirik ke arahku. Seakan takut permasalahan mereka diketahui olehku.

Aku merasa penasaran. Dan aku bilang sama mereka bahwa aku akan mencari ikan di bagian atas saja. Aku naik ke jalan setapak di sepanjang kali itu. Setelah agak jauh dari mereka, aku turun dan berjalan ke bawah, bersembunyi di balik batu besar tempat Qom dan Rusal mengeruk pasir untuk mendangkalkan air. Dari tempat itu aku menangkap pembicaraan mereka.

”Sekarang di taruh di mana?” tanya Qom di antara gemerisik air bantaran.

”Di tengah sawah. Di semak rumpun padi,” jawab Rusal.

“Memang kamu apain kok sampai bisa mati begitu?”

“Aku sambit pakai arit. Terus dia sekarat agak lama dan mati. Bangkainya sekarang mulai tercium. Bagaimana kalau nanti yang punya induk ayam itu tahu ya?”

”Kalau gitu sekarng kita buang saja ke kali ini,” usul Qom.

”Tapi aku takut. Jarak dari sawah ke kali ini kan lumayan jauh dan melewati rumah-rumah.”

”Gimana kalau malam nanti sepulang dari Langgar?”

Sunyi, tak ada yang berbicara lagi.

ADZAN subuh terdengar syahdu menembus udara pagi. Suara-suara perempuan yang mengambil air dari belik mulai terdengar. Kubalikkan badan ke kiri dan ke kanan untuk melawan rasa enggan. Hari itu aku telah meniatkan bangun lebih pagi.

Dari Langgar aku tidak menuju sawah melainkan langsung ke kali. Aku susuri dua bantaran hingga ke kedung yang jarang dilewati orang. Dan di sana, aku melihat induk ayam mati tengah berputar-putar di pusaran air.

Aku kembali ke sawah menempuh jalan utara. Suasana masih hening. Hanya gesekan pohon-pohon padi yang bergoyang lembut dalam selimut kabut. Tidak ada burung maupun ayam. Di halaman sebuah rumah yang kulewati, kulihat Lek Jiyem sedang memberi ransum pada ayam-ayamnya. Ia memasukkan dedak ke dalam tiga batok kelapa. Di salah satu batok, anak-anak ayam terlihat menunduk mematuk makanan di bawah pengawalan induknya. Sesekali induk ayam itu melabarak ke sana ke mari setiap ada ayam jantan atau ayam lain yang mendekatinya. Di batok yang satunya lagi, ayam-ayam tanggung saling berebut sambil mencuri-curi kesempatan mengambil makanan. Dan di batok ketiga, seekor ayam jantan besar nampak leluasa menikmati dedak sendirian tanpa sedikitpun ada gangguan.

Yang menarik perhatianku di antara hiruk-pikuk itu adalah, seekor anak ayam berbulu rowang-rawing yang kemarin makan padiku. Ia hanya kebingungan, piyak-piyek mengitari area tempat makanan. Sesekali mengendap-endap ragu menuju tempat batok-batok itu. Dan kerap kali ia diburu oleh ayam-ayam yang lebih besar. Tak lama ayam-ayam meninggalkan batok yang tak lagi menyisakan makanan. Dan si bulu rowang-rawing terlihat tunggang-tungging menekuri batok. Entah apa yang dicari. Itulah nasib ayam yang kehilangan induknya.

Manusia, kadang merasa selesai dengan memberi. Tapi sering lupa bahwa dalam dunia, kekuatan yang satu bisa mengenyahkan hak yang lain. Manusia juga sering tidak peka untuk lebih memberi perhatian pada pihak yang lemah. Di dunia ini, selalu saja, yang kuat yang bisa berkuasa dan menang.

Magelang, 1984




Tidak ada komentar: