Selasa, 12 Agustus 2014

Secangkir Kopi Pagi



Dua sendok gula, satu setengah sendok kopi. Harusnya beraroma wangi. Bukankah itu komposisi yang pas menurutmu? Bukankah dulu membangkitkanmu?

Hari ini masih sama, tak ada yang berubah dari yang kutakar. Tapi kau bilang, itu terlalu manis. Hari kemarin juga sama, tapi kau bilang...itu terasa hambar.

Ada apa sebenarnya?

Hari ini – ya hari ini, kita berdua masih di sini seperti dulu. Tempat dimana kita mengawali hari; dengan secangkir kopi, juga pertanyaan rutinmu tentang rumah, keuangan, benda-benda. Komunikasi kita bagai dua pembawa acara pada sebuah gelombang radio, yang selalu menyajikan tema sama, mencoba hadirkan nuansa sama.

Benarkah? Benarkah sama?

Kau kadang bertanya apakah aku baik-baik saja, tapi segera disusul pertanyaan lain sebelum aku berkesempatan menjawabnya. Aku merasakan hubungan kita bagai putaran roda-roda, yang malangnya aku tertanam di sini sedangkan kau berada di mana-mana. Kita terus bertemu, terhubung, seperti kerja mekanis sebuah mesin.

Kita kadang saling menyentuh, bersetubuh. Dan karenanya, aku merasa...kau semakin jauh.

Membuatkanmu kopi pagi ini, adalah ritualitasku yang ribuan kali sejak bertahun-tahun lalu. Ia menjadi rutinitas yang membunuh kepekaanku, yang menganggap segalanya tetap sama, sebagai sesuatu yang teramat akrab, teramat lekat. Hingga aku tak mampu melihat apa-apa yang memang tak dapat ”kulihat” – yang barangkali sebuah kenyataan baru.

Yang kutahu hanyalah, aku mengenal kau, sudah tidak seperti dulu.

Engkau yang demikian dekat tapi serasa tak terjangkau, bahkan ketika tubuh kita dalam balutan selimut yang sama. Engkau yang mulai banyak menghamburkan kata maaf, namun membuatku kian merasa sepi.

Aku, semakin tertinggal olehmu di sebuah kediaman. Yang kita beri nama, kita sematkan lambang atasnya. Aku ibarat benda yang diletakkan dengan posisi tertentu, yang kukira takkan berubah sejak semula dan selamanya. Bodohku.

Untuk apa kita pertahankan semua ini, demi sebuah eksistensi, dimana ia menjadi lebih penting dari diri kita sendiri? – barangkali lebih tepat diriku!

Inikah cinta...? Jika di saat lain, di luar ”dunia kecil” kita, justru kita temukan diri kita yang lain; yang baru, yang hadir dan hidup. Masihkan perlu kita perdebatkan komposisi kopi yang tak pernah sesuai seleramu, jika ada yang menganggap garam berlebih tetap terasa manis?

Cinta adalah....ketika kita merasa, segalanya terlalu sulit dijelaskan, tapi terlalu mudah dilakukan. Karenanya, segala yang nampak usang bagi seseorang, akan terlihat baru bagi seseorang yang lain.

Ia kreatif dan tumbuh, ia memang berubah tapi menggerakkan perubahan pada yang lain. Bukan sebuah kesetiaan pada ”ikatan” yang kita kemas dengan rapi, dengan ritualitas yang seakan tabu jika tidak dilakukan.


Adiyasa, 13 Agustus 2014

Tidak ada komentar: