Senin, 14 Juni 2010

Pembelah Besi dan Jari-Jari

Tangan-tangan yang terkadang lemah selalu melawan lelah. Mereka berpacu dalam rangkaian proses kerja yang tak hanya menguras tenaga, tapi juga membutuhkan kecermatan. Mengangkat dan memasukkan bahan logam ke dalam mesin pembelah. Namun ada kalanya, kesalahan teknis maupun kelengahan terjadi. Dan ketika itu, pekerja harus rela sebagian anggota tubuhnya terpotong di sana.

Dede Suhendri adalah salah satunya. Ia berusisa 21 tahun saat itu. Tamat sekolah menengah pertama. Sejak April 2008 ia mulai bekerja di PT Panca Logam Sukses Mandiri, yang memproduksi hand guard dan footring untuk tabung gas bermerk Elpiji, Pertamina, dan berbagai merk lainnya. Lokasinya di kawasan Kapok, Cengkareng, Tangerang.

Dede mengoperasikan mesin ukuran sedang yang beratnya kurang lebih 25 ton, untuk membelah lembaran atau flat besi, yang panjangnya berkisar 240 cm, lebar 121 hingga 124 cm. Flat-flat itu dipotong menjadi enam lembar. Lalu dicetak sebagai bahan untuk distemping. Sesudah distemping lalu diuji ulang, diroll, kemudian dipres, ditekuk, digebuk dan disusun, sebagai hand guard, footring yang terhubung dengan kepala tabung.

Roda dan gir mesin yang seharusnya memakai penutup, entah kenapa dibiarkan terbuka. Dede tidak mengerti kenapa itu terjadi. Urusan mesin adalah bagian mekanik dan mandor sebagai pengawas. Sebagai pekerja ia hanya bekerja dan bekerja, demi imbalan Rp 27.500 perhari. Nilai itu masih di bawah standar upah yang ditetapkan pemerintah. Namun Dede dan teman-temannya tetap menggeluti pekerjaannya. Hingga di bulan Juni yang naas, jari-jarinya tergilas, ketika tak sengaja tangan Dede menempel di antara gir dan roda. Butuh beberapa menit, para mekanik dan teman-teman yang menolongnya untuk mengambil tangannya dari sana. Ia melihat sekilas, daging putihnya menyembul di sela-sela sarung tangan.

Sejak dua bulan lalu, dia telah meninggalkan pekerjaannya itu. Sudah hampir dua tahun, sejak kecelakaan menimpanya, santunan ganti rugi dari perusahaan tak kungjung tiba. Begitu katanya, saat ia datang ke serikat kami, Serikat Buruh Bangkit di Tangerang.

“Saya nggak mau kerja lagi karena saya kecewa sama perusahaan. Hanya janji-janji saja. Selain itu karena saya capek sekali. Pekerjaan itu berat. Fungsi tangan saya sudah tak seperti dulu, ” kata Dede. Lalu ia mengisahkan saat dirinya mengalami kecelakaan.

“Sakit sekali waktu itu. Dan saya sendirian. Saya numpang sama bibi. Bibi bekerja di pabrik juga. Bibi sendiri, karena pisah dengan suaminya. Kalau bibi kerja, saya sendirian. Bibi kan tak mungkin libur bekerja, karena dia harus menghidupi dua anaknya. Saya sengaja tak memberitahu keluarga di kampung takut malah menambah beban pikiran orang tua. Lagian repot juga kalau minta mereka nungguin saya. Bagaimana untuk ongkos pulang perginya dan makannya.”


“Asalkan mendapat satu atau dua juta tak masalah mbak. Saya sudah lega. Sebagai ganti jari-jari saya. Supaya saya tak terlalu lama menambah beban bibi saya juga.”

Nilai yang disebutkan Dede, tak sebanding dengan kerugian yang ia tanggung selamanya. Juga rasa keadilan yang tak terwakili oleh nilai yang diatur dalam jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), sekitar tujuh juta. Apalagi, ditambah sikap pengusaha yang sekian lama mengabaikannya. Namun, realita terkadang tak selalu bisa sejalan dengan keadilan yang semestinya.

Siang itu, saya dan Nur menunggu di sebuah warung makan depan gerbang pabrik tempat Dede bekerja. Kami mendapmpinginya untuk menemui manajemen agar Dede mendapatkan hak-haknya.

Memasuki pintu gerbang, mulai terlihat pekerja yang berlalu lalang. Ada irisan-irisan seng bergulung dalam tumpukan. Serpihan besi-besi bertebaran. Dan pagar besi bercak oli di sana-sini. Beberapa pekerja tampak berdiri khidmat di mesinnya masing-masing. Di ruangan itu yang dominan suara bising.

Tak sampai 30 menit kami berunding di sana. Ditemui oleh Darwin selaku pimpinan cabang perusahaan itu. Kata Darwin, PT Panca Logam melakukan pembelian limbah-limbah besi di seluruh Indonesia. Darwin mengatakan kalau ia siap memberikan hak-hak Dede sebagai pekerja.

“Selain saya, teman-teman kerja saya juga mengalami kecelakaan. Malah ada yang jari-jarinya putus semua. Kalau lengan sobek, keiris, tergores itu sudah biasa dan sering terjadi di sana. Biasanya dibawa ke klinik untuk mendapat pengobatan dan jahitan,” tutur Dede sepulang dari sana.

Ngomong-ngomong tentang klinik, Dede kembali terdiam. Wajahnya diliputi kekelaman. Ia menuturkan, ketika itu kata dokter jari yang satunya masih bisa diselamatkan. Tapi dokter memutuskan diamputasi, dan dia setuju saja, karena tak ada teman untuk minta pendapat.

“Sehabis dipotong, setiap malam sakitnya luar biasa. Saya mengerang-erang, dan baru bisa tidur karena kecapekan. Tapi setelah sakitnya berkurang, yang saya pikirkan, bagaimana ke depannya. Membayangkan jari saya tak kembali. Dan membayangkan nanti bagaimana saya mencari pekerjaan lagi?”

Kami hanya mengangguk, meski aku sendiri tak tahu mengangguk untuk apa. Aku minta ijin untuk memotret tangannya. Dan Dede memalingkan muka pada saat saya perlihatkan hasilnya.

“Sampai sekarang saya suka merasa sangat kehilangan setiap melihat tangan saya. Kadang malam saya suka berpikir bahwa itu mimpi, dan saya bangun melihat jari saya, dan memang benar-benar sudah tak ada.”

Hand guard atau footring, adalah benda yang tidak lagi asing. Ia menjadi bagian dari tabung gas yang digunakan sehari-hari. Apalagi saat pemerintah menjadikan gas untuk pengganti minyak tanah. Mau tidak mau, masyarakat menggunakan bahan bakar itu. Di balik hand guard itulah, sesungguhnya konsumen berhak mendapat informasi penting mengenai kelaikan, yang ironisnya itu jarang ditemukan.

Belakangan, marak dalam pemberitaan jatuhnya korban-korban terkait tabung gas, akibat masyarakat tak mendapatkan standard kelaikan. Salah satu penyebabnya adalah, celah pada footring yang ditinggalkan akibat pengelasan yang tak rapi, hingga gas keluar saat api dinyalakan.

Dede memang tak mengerjakan pengelasan itu. Dan ia, salah satu dari deretan nama-nama pekerja yang menjadi korban.


Jakarta, 13 April 2010 (Fiqoh)

Tidak ada komentar: