Jumat, 30 April 2010

Catatan 29 April 2010

Oleh Siti Nurrofiqoh

Seharusnya, hukum terlahir dari nurani. Karena nurani, akan melahirkan rasa kemanusiaan, keadilan, yang lebih berarti dari hukum itu sendiri. Namun pagi itu, lagi-lagi terbukti, bahwa hukum menjadi bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, ketika dijalankan oleh hati yang buta.

Ini terjadi di sebuah Apartemen Permata Senayan, bangunan megah di Jl Palmerah Selatan Kav 20A-21, Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ketika itu, kami Serikat Buruh Bangkit, sedang mendampingi kasus para pekerja di bagian kebersihan di sana.

Suasana nampak sepi ketika kami memasuki pelataran bangunan vertikal bercat hijau itu. Memasuki loby, kami menjumpai dua gadis berseragam warna cream. Ada yang memegang kain lap, ada yanng memegang sapu. Mereka tengah beraktifitas dengan raut cemas dan penuh ragu. Melihat kedatangan kami, mereka buru-buru mengayunkan gagang sapunya di ruangan itu.

Itu hari kedua, sejak gagalnya perundingan yang kami lakukan pada 27 April 2010. Upaya musyawarh tak membuahkan kata mufakat, karena pengacara pihak Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) tetap berkeputusan, ingin mengubah para pekerja berstatus tetap itu menjadi outsourcing, meski itu dilakukan dengan melanggar peraturan.

Keberadaan personil aparat polisi, Kepala Satuan Pengamanan, dan Dinas Tenaga Kerja, tak membuat hukum bisa berdiri tegak di ruangan itu. Dan hasilnya, pekerja dilarang masuk lingkungan kerja dan dilarang bekerja sejak saat itu juga.

Secara hukum, sebelum status mereka diubah menjadi pekerja outsourcing, manajemen harus menyelesaikan hak-hak pekerja sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan, karena mereka yang akan dioutsourcing itu adalah karyawan berstatus tetap, yang rata-rata telah memiliki masa kerja 5 tahun hingga 10 tahun.

Karena outsourcing tersebut, setidaknya akan mengubah status kerja dan hubungan kerja; dari status tetap akan menjadi kontrak, dan hubungan kerja yang selama ini terjadi antara pekerja dan manajemen Pengelola Apartemen Permata Senayan, akan berganti dengan hubungan antara pekerja dengan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Secara hukum, outsourcing tersebut tidak bisa dilakukan oleh manajemen selama belum ada Pemutusan Hubungan Kerja, yang memerlukan proses untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak atau Putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial.

Pagi itu, 29 April 2010, mereka sudah bekerja hingga sekitar pukul 10:00, hingga orang manajemen bernama Gafur Ismail memanggil mereka dan membubarkannya. Sebelum keluar ruangan, mereka masih berusaha keras meminta manajemen membuat pernyataan pelarangan kerja secara tertulis. Tapi manajemen tetap menolak.

Pengusiran itu membuat mereka berhamburan keluar sambil berteriak mendekati kami, yang saat itu berada di ruang loby. Mereka tidak bisa menerima pelarangan yang dilakukan secara lisan. Hal ini mengingatkan saya aturan di meja-meja pengadilan, bahwa bukti yang tertulis itu yang dianggap sah, meski apa yang tidak tertulis, adalah fakta yang sesungguhnya. Dan pihak buruh sering tak bisa membuktikan kejatahan orang-orang manajemen secara tertulis, karena memang tak akan ada orang yang mau menuliskan kejahatannya sendiri. Seperti yang dilakukan manajemen ini.

Erwin Harahap, salah satu perwakilan pekerja itu yang sering berteriak keras. Dan salah seorang penghuni apartemen itu, dengan menudingkan telunjuknya, ia mengatakan bahwa mereka yang berdemo adalah orang-orang yang tak tahu diri dan sombong. Menurut Erwin dan Nia Kaniasih, ia sering dipanggil dengan sebutan ‘Ibu Dosen’. Dan ketika aku tanya ia mengajar di mana, dia mengatakan sering mengajar di Universitar Trisakti.

Para pekerja semakin terlihat putus asa dan kebingungan. Karena di kontrakan mereka, masing-masing mempunyai taggungan. Mereka tak hanya berpikir tentang nasib dirinya, melainkan, nasib jiwa-jiwa yang lain bernama keluarga.

Ruang loby yang tadinya sepi, kini berisi oleh dua kelompok berseragam yang terus beriringan. Dua kelompok itu adalah karyawan dan satuan pengaman. Meski seragam yang mereka kenakan menandakan kesamaan nasib sebagai pekerja, namun kali ini mereka seperti bermusuhan.

Siti Nurasiah rekan saya, dipanggil oleh polisi dari Polsek, untuk ditanya alasan melakukan aksi. Nur menjawab, bahwa itu bukan aksi melainkan reaksi dari pekerja yang dilarang menjalankan kewajibannya.

Kami pulang, meninggalkan mereka yang masih bertebaran di lantai basement, tingkat paling bawah dari bangunan yang seluruhnya 27 lantai. Melintas pos penjagaan, kami dipanggil oleh salah satu petugas. Security itu meminta saya untuk tak membuat mereka berteriak. Dan kalau mau berteriak, mereka disuruh berada di luar lingkungan apartemen. Tangan petugas itu menunjuk pinggir jalan raya tepat di bawah pertigaan lampu merah.

Bagaimana bisa, pekerja yang belum diputuskan hubungan kerjanya diusir-usir sedemikian rupa? Di lungkungan kerjanya, aksi mereka dianggak tidak sah. Bagaimana kalau aksi dilakukan di luar lingkungan kerja? Bukankah malah akan mengganggu ketertiban umum?

Tak lama kami pulang, telpon saya berdering. Erwin mengabarkan kalau polisi juga menyuruh agar mereka menjauhi apartemen hingga jarak 100 meter. Dan tak lama polisi tersebut menelpon saya. Ini berkaitan dengan Undang-Undang nomor 9 th 1998, tentang aturan menyampaikan pendapat di muka umum. Sudah sedemikian rupa negara memasang jerat untuk membungkam rakyatnya?

Ketika pertama ketemu pada 9 April 2010 silam. Mereka hanya membisu setiap mengikuti diskusi dengan kami. Menurut Erwin dan Nia, mereka mengatakan tidak tahu harus dengan bahasa seperti apa untuk bicara. Dan hari itu saya mendengar mereka berteriak, dalam pekik keputusasaan dan kemarahan. Itulah bahasa mereka. Bahasa jiwa-jiwa yang terluka. Dan berteriak seusai yang mereka bisa. Polisi itu bilang, menyampaikan pendapat harus tertib dan beranggung jawab.

Pertanyaannya, apa yang dilakukan aparat jika yang tidak tertib dan tidak bertanggung jawab itu dilakukan pengusaha? Apa yang dilakukan aparat jika perampasan hak dan pelanggaran hukum terjadi di pihak pekerja?

Menurut Pak Slamet, persoalan ketenagakerjaan, di luar wewenangnya. Namun, apapun alasannya, buktinya, aparat selalu terlibat. Dan tetap saja, pekerja mendapat hambatan, tekanan, dan bentuk intimidasi dalam memperjuangkan hak-haknya.

Negara membuat undang-undang yang selalu kontradiktif dan merugikan rakyat. Setidaknya, dalam kasus ini, Undang-Undang Nomor 9 Th 1998 itu, menjadi bertentangan dengan UU No 21 Th 200 Tentang Kebebasan Berserikat, Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 th 2003, tentang hak mogok, dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin hak setiap warga negara, dan selalu rutin didengungkan di setiap upacara sejak kita di sekolah dasar.

Yang menarik dari undang-undang nomor 9 th 1998 itu, di sana juga menyebtukan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum salah satunya berlandaskan pada: asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; asas kepastian hukum dan keadilan, dan pasal 6 huruf salah satunya menyebutkan, perlunya menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa.

Siapa sejatinya, yang menjadi pemicu terjadinya gejolak sosial, dan perpecahan bangsa? Jika sesama pekerja pun selalu dibenturkan untuk saling bertikai demi melindungi pengusaha atau manajemen yang melanggar hukum. Persatuan dan kesatuan bangsa, jangan dibebankan pada rakyat yang menjadi korban.

Siang itu, ketika kami hendak pergi, seorang karyawan berlari-lari menyodorkan secarik kertas. Di atasnya tertera nama dan nomor anggota DPR RI. Katanya, kami disarankan datang ke Komisi IX menemui Ibu Ciptaning. Sebelumnya, kami juga satu lift dengan laki-laki bersafari dan perempuan cantik membawa pakaian dalam plastik kemasan loundry. Kata Nia, orang itu juga anggota dewan di DPR sana. Dan siang kemarinnya, ketika kami berunding di ruang serba guna, para security minta foto-foto sama Teuku Wisnu, yang baiknya minta ampun di sinetron Cinta Fitri.

Dalam hati saya berkata, apakah orang-orang ini, juga termasuk di dalam PPRS yang melakukan kezaliman terhadap pekerja-pekerja kebersihan itu? Setidaknya, hal ini jika dilihat dari surat yang kami terima melalui fax, bahwa atas nama pengacara manajemen dan PPRS, memutuskan sistem outsourcing untuk pekerja kebersihan di sana. Outsourcing yang membabi buta dan melanggar hukum ketenagakerjaan.

Namun saya percaya, masih ada penghuni yang memiliki nurani di sana. Meski hanya melalui secarik kertas, setidaknya kami merasa ditemani.

Jakarta, 29 April 2010

Tidak ada komentar: