Jumat, 30 April 2010

Deklarasi dari Pinggir Kali

Oleh Siti Nurrofiqoh

Sore yang panas. Sesekali udara membawa aroma tak sedap dari sungai yang memanjang di belakang rumah kontrakan di Gang Beringin, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Teman-teman Nia Kaniasih, seluruhnya 14 orang telah menunggu di sana. Di antara sesaknya perabotan, mereka duduk berhimpitan.

Di kamar itu, mereka memulai sejarah baru. Sejarah ketika manusia dituntut hadir dengan segala keutuhannya. Harapan yang akan dicapai, tantangan yang akan ditempuh. Dan harapan itu baru disadari belakangan ketika ia sudah diambang kehancuran.

Sudah setengah abad lebih, ketika gerakan buruh pertama kali dimulai. Sudah terlalu banyak peristiwa, berlangsung dengan gegap gempita, memakan banyak korban jiwa. Meski begitu, hingga saat ini, masih saja penindasan terus terjadi.

Sore itu mereka masih tidak tahu, bagaimana caranya memperjuangkan hak-hak mereka, ketika masa kerja sepuluh tahun akan dihilangkan begitu saja. Diganti dengan system kontrak dan outsourcing, kebijakan yang diwariskan Presiden Indonesia ke 5, Megawati Soekarno Putri. Mereka juga tidak tahu, harus meminta keadilan pada siapa, ketika Disnaker menjadi momok yang menakutkan, karena terlalu sering disebut-sebut oleh pengusaha, bahwa Disnakerlah yang akan memutuskan dan mereka tak akan bisa berbuat apa-apa.

Kenyataan seperti ini saya jumpai di mana-mana: buruh, masih banyak yang tidak tahu serikat pekerja; yang sesungguhnya menjadi alat memperjuangkan hak-haknya. Setengah abad kemerdekaan Indonesia, masih belum mengubah syndrom pasca penjajahan, karena penjajahan, pemdodohan dan pemiskinan tengah berlangsung hingga sekarang.

Sore itu mereka bak saksi bisu, mendengar dan melihat penuturan teman-teman buruh yang datang dari Tangerang. Mereka baru terbuka, tentang pentingnya perjuangan. Nasib pekerja, perlu diperjuangkan oleh pekerja juga. Bukan partai, apalagi pemerintah.

Diskusi sudah berlangsung hampir dua jam. Dan mereka masih dalam kediaman. Kata Erwin dan Nia, mereka bilang bahwa mereka tak tahu harus berdiskusi dengan bahasa apa. Dan Erwin mengatakan, mereka bisa diskusi dengan bahasa yang sederhana. Mendengar itu hati terasa berkelabu. Terbayang jelas, bahwa mereka akan berhadapan dengan deretan orang-orang dari berbagai kalangan. Sedari pengacara pengusaha hingga orang-orang instansi pemerintah yang jarang bersikap ramah.

Dan agaknya, kelemahan telah menemui batasnya. Dan keberanian telah menumbuhkan benihnya. Mereka membulatkan tekad, menjadikan ketakutan sebagai titik balik kebangkitan. Serikat pun dibentuk sore itu. Secara demokratis, Nia Kaniasih dan Erwin terpilih. Nia menjadi ketua dan Erwin wakilnya. Bendahara dan pengurus-pengurus divisi disusun saat itu juga.

Tepuk tangan pun terdengar meriah meski dalam gema yang lemah. Mata mereka sesekali melirik ke tetangga kamar sebelah. Di sini saya temui, bahwa kebebasan tak serta merta melanggar hak orang lain, meski ia untuk sebuah kebenaran.

Erwin, Nia dan teman-temannya adalah karyawan di Apartemen Permata Senayan. Mereka sebagai cleaning service, yang bertugas menjaga kebersishan gedung itu. Mereka sudah bekerja rata-rata lima sampai 10 tahun. Namun mereka sedang gundah, karena tidak pernah tahu, sampai kapan mereka masih bisa bekerja di tempat itu. Pasalnya, pihak manajemen mengatakan, mereka akan doutsourcingkan. Dan menolak berarti keluar.

Dari kamar petakan itu mereka belajar memiliki impian. Impian seorang manusia yang harus dihargai sebagai manusia. Impian tentang keadilan yang harus berjalan semestinya.

Baju-baju jemuran bergelantungan di depan pintu. Di balik itu, ada mata Erwin dan Nia yang berbinar menyiratkan bara.

Tugas kemanusiaan telah menunggu. Mulai esok, ujung tombak perjuangan ada di tangan mereka. Meski penuh liku, namun harapan akan selalu ada.


Jakarta, 10 april 2010

Tidak ada komentar: