Senin, 19 April 2010

Menulis itu seperti…

Apa yang kita pikirkan, ketika di sebuah perpustakaan, tenggelam di antara berbagai judul bacaan. Apalagi, judul-judul itu menampilkan nama-nama penulis kawakan?

“Berhentilah membaca, lalu menulislah,” kata Donald K Emmerson, seorang profesor politik dari Madison University, kini mengajar di Stanford University.

Menarik kesimpulan dari apa yang kita baca, biasa dilakukan kebanyakan dari kita. Namun, jarang yang menggunakan kesimpulan itu sebagai kunci membuka percakapan melalui tulisan.

Don bilang, terjunlah, melompatlah, tulislah. Meski tak selalu, kesimpulan kita membenarkan tulisan itu. Ia bisa berupa tentangan, bantahan atau kritik.

Di sebuah sore yang masih menyisakan terik dan berhawa panas, Don menaiki tanggal demi tangga menuju lantai empat gedung Pantau Strategy, di Jl Kebayoran Lama No 18 CD, Jakarta Selatan.

Don, yang memiliki ketertarikan kuat terhadap perpolitikan di Indonesia, antusias berdiskusi kepada para peserta kursus narasi angkatan pertama. Don tiba di kantor Pantau sekitar pukul tujuh. Dengan seksama, ia mendengarkan para peserta yang memperkenalkan diri sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Bagi saya, menulis itu seperti sex! Mohon maaf, barangkali ini adalah pemikiran yang liar. Jika struktur itu menjadi tema, maka sebaiknya kita menghafal peraturan, agar kita dapat melanggarnya,” kata Don sambil tersenyum.

Menurutnya, karangan yang melangar peraturan, justru menarik karena pelanggarannya. Ia akan membuat orang menjadi penasaran. Tentu, ini tidak bisa dilakukan kalau kita menulis hal-hal yang bersifat teknis seperti penyakit jantung, HIV atau hal-hal yang memang ada kerangka teorinya.

Dalam konteks menulis, Don kerap menegaskan pentingnya keberanian untuk terjun dan melompat dengan kesimpulan yang kita buat. Meski ia sadar bahwa hal itu kedengarannya arogan dan terkesan anarkis. Namun, struktur yang diterapkan mentah-mentah, memang cenderung kurang menarik. Meski ia tetap penting.

Why (mengapa) adalah salah satu dari rumus wartawan yang berpedoman pada 5 W + 1 H, singkatan dari who (siapa), what (apa), Where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana).

Why, dimaknai oleh Don laksana lautan. Dari sana, banyak hal yang tiada habisnya untuk terus digali. Tinggal bagaimana kita melakukan koreksi dan pengamatan. Bila perlu, selalu lakukan pertentangan atau perlawanan terhadap apapun, termasuk pada diri sendiri. Dari situ, akan muncul sesuatu yang baru. Karena belum tentu, apa yang sudah dituliskan orang terdahulu, selalu benar.

Kita memiliki kecenderungan, berangkat dari kesimpulan dan mencari fakta. Padahal, akan lebih masuk akal apabila mengumpulkan fakta dan membuat kesimpulan. Tujuannya, kita tidak mengarahkan fakta dari sesuatu yang sudah kita simpulkan. Meskipun tak selalu hitam putih hal itu diterapkan.

“Bagaimana pak Don bisa menjadi penulis handal. Apakah ada kaitannya dengan berbagai macam yang Anda ketahui tentang Dunia?” tanya Sarah.

“Tentu, untuk menjadi seorang penulis handal, kita perlu tahu dunia lain. Maksudnya, dunia di luar diri kita atau rutinitas kita.”

Namun, yang terpenting, bernai memulai. Menurutnya, lebih baik menanggung kemungkinan salah daripada hanya terus membaca dan berdiam saja.

“Jangan takut dengan kontroversi,” kata Don, dalam bahasa Indonesia yang fasih dan sikap yang santun.

Jakarta, April 2007 (Fiqoh)

Tidak ada komentar: