oleh fiqoh
Pro dan kontra, sikap mendukung atau menolak atas
peristiwa yang terjadi di tanah air adalah ciri bahwa kita memiliki bias.
Dimana pengaruh agama, status sosial, orientasi
politik, etnik, kewarganegaraan, pendidikan, pengalaman pribadi, seringkali
menghasilkan penafsiran kebenaran yang berbeda-beda.
Kata-kata di atas, saya kutip dari Andreas
Harsono di sebuah sesi kelas menulis narasi yang diadakan oleh Pantau. Obyektifitas
ini penting, karena disadari atau tidak, ia terpengaruh oleh sikap kita, sikap
yang beragam karena bias tersebut.
Penulis khsususnya, penting menyadari hal ini, karena
siapapapun yang menulis adalah praktisi jurnalisme, dan wajib menjunjung tinggi
kaidah-kaidah jurnalisme itu. Dari sana sikap kepada siapa kita berpihak akan mempengaruhi
tulisan. Apa buktinya?
Andreas memperlihatkan poin-poin dalam buku Sembilan
Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel—buku yang kemudian
mengilhami karya Andreas dalam judul “Agama” Saya Jurnalisme.
Andreas juga menyuguhi peserta kursus dengan
pertanyaan tentang keinginan rakyat Aceh yang ingin merdeka, sikap pendatang
terhadap keinginan Papua Merdeka, makna kebanggaan terhadap Permesta di
Minahasa, isu Islamisasi di Timor, Flores dan Ambon, juga isu Kristenisasai di
Jawa, dan mengenai siapa yang disembelih olah Nabi Ibrahim?
Beragam pendapat segera terjadi. Pro dan kontra. Untuk
jawaban pertanyaan akhir terlihat jelas kontrasnya—tergantung apakah ia seorang
muslim atau non muslim.
Semua orang bisa memiliki pendapat, tetapi bagaimana
seorang penulis mengatasi biasnya? Apakah penulis bisa obyektif? Tentu jawabnya
tidak.
Dijelaskan di kelas ini, pemilihan sudut pandang,
diksi, narasumber dan kutipan, adalah bagian dari bias. Lalu apa yang membuat
tulisan kita dipercaya oleh masyarakat?
Tentu, siapa yang lebih menjaga mutu dan tidak ngawur,
dialah yang akan mendapat kepercayaan di masyarakat. Karenanya, kesadaran bahwa
kita tidak bisa obyektif, mewajibkan kita untuk proporsional dan tidak menjadi
rasis atau sektarian.
Berita dan kebenaran
Salah satu tugas wartawan adalah memberitakan
kebenaran. Tapi itu pun perlu dipertanyakan, buat siapa kebenaran itu? Menurut
orang Batak-kah? orang Aceh-kah? Jawa? Partai yang mana? Jawabnya bisa iya,
bisa tidak.
Apakah akurat sudah pasti benar? Bisa iya, bisa tidak.
Karena akurat bukan sekedar akurat, tapi juga konteks.
Di sini, pengajar juga menjelaskan bahwa kebenaran
bukan merupakan debat filsafat yang tak berujung, melainkan kebenaran
fungsional -- orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang
lancer; polisi melacak dan menangkap tersangka untuk disidik dan dikembangkan;
atau keputusan-keputusan hakim yang bisa digugat dan dipraperadilankan. Semua
dilakukan berdasarkan kebenaran fungsional. Bukan kebenaran dalam tataran
filosofis. Kebenaran itu dibentuk hari demi hari, lapis demi lapis, tetes demi
tetes hingga terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap dan lebih besar.
Kebenaran ini bisa senantiasa direvisi layaknya ilmu pengetahuan, sejarah, dsb.
Jakarta, 25 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar