Minggu, 18 April 2010

Bias

oleh fiqoh

Pro dan kontra, sikap mendukung atau menolak atas peristiwa yang terjadi di tanah air adalah ciri bahwa kita memiliki bias.

Dimana pengaruh agama, status sosial, orientasi politik, etnik, kewarganegaraan, pendidikan, pengalaman pribadi, seringkali menghasilkan penafsiran kebenaran yang berbeda-beda.

 Kata-kata di atas, saya kutip dari Andreas Harsono di sebuah sesi kelas menulis narasi yang diadakan oleh Pantau. Obyektifitas ini penting, karena disadari atau tidak, ia terpengaruh oleh sikap kita, sikap yang beragam karena bias tersebut.

Penulis khsususnya, penting menyadari hal ini, karena siapapapun yang menulis adalah praktisi jurnalisme, dan wajib menjunjung tinggi kaidah-kaidah jurnalisme itu. Dari sana sikap kepada siapa kita berpihak akan mempengaruhi tulisan. Apa buktinya?

Andreas memperlihatkan poin-poin dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel—buku yang kemudian mengilhami karya Andreas dalam judul “Agama” Saya Jurnalisme.

Andreas juga menyuguhi peserta kursus dengan pertanyaan tentang keinginan rakyat Aceh yang ingin merdeka, sikap pendatang terhadap keinginan Papua Merdeka, makna kebanggaan terhadap Permesta di Minahasa, isu Islamisasi di Timor, Flores dan Ambon, juga isu Kristenisasai di Jawa, dan mengenai siapa yang disembelih olah Nabi Ibrahim?

Beragam pendapat segera terjadi. Pro dan kontra. Untuk jawaban pertanyaan akhir terlihat jelas kontrasnya—tergantung apakah ia seorang muslim atau non muslim.

Semua orang bisa memiliki pendapat, tetapi bagaimana seorang penulis mengatasi biasnya? Apakah penulis bisa obyektif? Tentu jawabnya tidak. 

Dijelaskan di kelas ini, pemilihan sudut pandang, diksi, narasumber dan kutipan, adalah bagian dari bias. Lalu apa yang membuat tulisan kita dipercaya oleh masyarakat?

Tentu, siapa yang lebih menjaga mutu dan tidak ngawur, dialah yang akan mendapat kepercayaan di masyarakat. Karenanya, kesadaran bahwa kita tidak bisa obyektif, mewajibkan kita untuk proporsional dan tidak menjadi rasis atau sektarian.

Berita dan kebenaran
Salah satu tugas wartawan adalah memberitakan kebenaran. Tapi itu pun perlu dipertanyakan,  buat siapa kebenaran itu? Menurut orang Batak-kah? orang Aceh-kah? Jawa? Partai yang mana? Jawabnya bisa iya, bisa tidak.

Apakah akurat sudah pasti benar? Bisa iya, bisa tidak. Karena akurat bukan sekedar akurat, tapi juga konteks.

Di sini, pengajar juga menjelaskan bahwa kebenaran bukan merupakan debat filsafat yang tak berujung, melainkan kebenaran fungsional -- orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancer; polisi melacak dan menangkap tersangka untuk disidik dan dikembangkan; atau keputusan-keputusan hakim yang bisa digugat dan dipraperadilankan. Semua dilakukan berdasarkan kebenaran fungsional. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Kebenaran itu dibentuk hari demi hari, lapis demi lapis, tetes demi tetes hingga terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap dan lebih besar. Kebenaran ini bisa senantiasa direvisi layaknya ilmu pengetahuan, sejarah, dsb.

Jakarta, 25 November 2009

Tidak ada komentar: