Menulis dan teori menulis. Proses ini hampir sama dengan teori mengemudi. Ketika kita belajar menyetir, kita mempelajari teori menyetir. Tapi ketika kita sudah mengemudi, kita melakukannya dengan hati.
Malam itu, ada tiga hal yang saya catat saat diskusi bersama Arswendo Atmowiloto. Pertama soal kreatifitas, profesionalitas dan komunitas. Kreatifitas muncul dari setiap orang, setiap peristiwa. Dan ia, akan selalu berbeda-beda.
Ada tragedi, juga dramatisasi atas tragedi. Ada realita terlihat, juga realitas yang tak terlihat, namun ia ada dalam rasa. Dalam karya fiksi, rasa juga sebuah realitas, bahkan ketika ia berupa imajinasi sekalipun. Dan iamjinasi yang lahir dari pikiran yang bebas, seringkali melahirkan karya yang dahsyat.
Sebagai contoh, siapapun pernah mengalami patah hati. Tapi rasa yang kita alami tidak akan sama dengan siapapun. Dari situlah kreatifits dimunculkan. Dari sanalah sebenarnya keunikan itu menunjukkan kekhasannya sekaligus perbedaannya.
Fiksi atau non fiksi, sama-sama membutuhkan kreatifitas. Dan kreatifitas ini yang menurut Wendo membedakan seratus persen manusia dengan binatang. Kreatifitas itu bisa berupa penciptaan akan hal-hal yang baru atau memperbarui cetakan yang lama. Lampu, baju, kacamata, pembalut dan lainnya, semua ada karena ada kreatifitas. Kreatifitas dalam menyikapi hidup keseharian, akan memberi kebaruan-kebaruan.
Orang sering mengatakan bahwa perubahan tak selalu identik dengan hal yang baik. Maka itu, kreatifitas harus menuju pada profesionalitasnya.
Dalam proses itu, kita butuh orang-orang yang mendukung. Orang-orang yang memuji, hingga mengkritisi. Biasanya, sebuah komunitas akan membawa kita kepada komunitas lainnya, sehingga penulis tak hanya dengan komunitas penulis, tapi juga jaringan media, penerbit, juga produser. Net working tersebut, setidaknya bisa menjadi koneksi yang bisa memberi peluang pekerjaan, dan setidaknya, sebuah kesempatan.
WS Rendra yang punya nama besar pun, ia tidak menuju puncak itu seorang diri. Begitu juga pengarang lain seperti Hilman, Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Andrea Hirata. Di sekeliling mereka ada teman-teman yang setia, ada koneksi, juga lobi. Wendo mengatakan ini sebagai contoh perkembangan orang perorang atau kelompok dalam karir kepenulisan.
Mengenal komunitas lain, artinya mengenal dan belajar hal-hal yang baru. Hal ini menyadarkan kita bahwa pintar di bidang yang lain, kadang bodoh di bidang tertentu. Sehebat-hebatnya manusia, tetap saja ada batasnya. Interaksi dengan orang-orang ’baru’, akan menumbuhkan pemikiran baru, membuka paradigma baru, dan ide-ide baru. Dan bisa memperkaya kemanusaiaan kita. Kata siapa menulis itu sulit?
”Percayalah sama saya, bahwa menulis itu gampang!” katanya.
Segampang apa? Menurutnya, segampang niat kita. Karena ia lahir di setiap situasi. Keadaan sedang jatuh cinta, patah hati, bahkan ketika kita berada di dalam penjara. Sesuatu yang dialami seseorang, belum tentu dialami seseorang yang lain. Dan...ia bukan hanya tenang’tulisan’ , tapi lebih kepada pergumulan-pergumul an bathin, sikap, juga semangat moral di dalamnya.
Arswendo memaknainya sebagai proses mengubah perilaku.
Jakarta, 10 Februari 2010 (Fiqoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar