Mata dan hati harus menjadi satu, dan diperlukan konsentrasi yang intens. Kalau mata kita melihat, tangan kita mengukur, dan hati kita tenang, artinya sudah ada keserasian. Itulah yang membuat karya yang dihasilkan selalu tepat, sangat halus dan sangat harmonis.
Dikutip dari Hadi Wiyono, pembatik berusia tujuh puluhan tahun dari Yogya, oleh Harry Bhaskara, editor The Jakarta Post.. Dan ia mengubahnya menjadi begini:
Ada sesuatu antara pikiran, jari, mata dan hati. Irama itu yang mesti disatukan. Karena ia bergerak sendiri-sendiri. Irama itu akan terbentuk kalau kita melatihnya setiap hari.
”Jika ingin menjadi penulis, ya teruslah menulis,” kata Harry.
Hal yang kedengarannya sederhana inilah yang disampaikan oleh Harry Bhaskara ketika berdiskusi dengan teman-teman World Agroforestry Centre (ICRAF) di Bogor Mei lalu. Ia menuturkan tentang bagaimana dunia wartawan bekerja keras penuh ketekunan, tak kenal waktu, lupa makan dan sering didera stres. Mereka bekerja dalam tekanan deadline ke deadline, menggunakan setiap menitnya hanya berfokus pada berita.
”Menulislah terus,” itulah pesan yang selalu ditekankan Harry. Proseslah yang akan membentuk kita menjadi penulis sesungguhnya. Para penulis terkenal di luar negeri sekalipun, melakukan itu. Mereka juga terkadang dihantui keraguan dan merasa bodoh. Itulah dunia penulisan. Maka, kita perlu terus mencoba.
”Inspirasi, ia hanya 1% diperlukan. Dan 99% adalah, belajar menulis itu sendiri. Menulislah apa saja,” kata Harry.
Tulisan Harry Bhaskara yang rutin mengisi kolom The Jakarta Post, lahir dari potongan-potongan kertas kecil yang selalu ia sisipkan di dompetnya. Ide-ide itu tidak muncul dari belakang meja. Kadang ia timbul dari keriuhan orang yang berlalu-lalang, kadang muncul ketika menyaksikan antrian orang-orang saat menunggu bus, dan di mana saja ia berada.
Tak selalu, kesunyian memberi ilham, tak selalu keramaian hanya menyisakan kebisingan. Banyak inspriasi akan muncul dari sana. Konon, kehadiran orang-orang di sekitar kita dapat menyebarkan energi.. Dan tugas kita, menuliskan setiap ide yang ada di kepala. Karena kepala kita tidak pernah kosong dan tidak pernah berhenti.
”Kalau tidak ada ide, tulis saja tidak ada ide,” kata Harry menegaskan.
Selebihnya, buatlah janji pada diri sendiri. Duduk di tempat yang sama, pada jam yang sama, setiap hari, meski hanya sepuluh menit saja. Berikan waktu pada diri sendiri untuk menulis.
Jangan berubah jamnya, jangan berubah tempatnya. Kalau pagi, ya pagi. Kalau mau sore, ya sore. Kalau maunya malam, ya malam. Misalnya jam 5 pagi, ya harus rutin jam 5 pagi. Posisi tempat, juga jangan diganti-ganti. Begitu Harry berpesan.
Disiplin macam itu, akan membuat kita terpacu. Mungkin pada akhirnya kita akan merasa tak cukup dengan 10 menit. Proses itulah yang sesungguhnya menuntun kita untuk mencari apa yang disebut writing attitude.
”Majalah Times kenapa bisa begitu bagus? Mengapa majalah itu bisa digemari di seluruh dunia? Penyuntingnya dilakukan oleh sapuluh orang yang hebat. Artinya, jangan bosan untuk selalu menyunting tulisan kita. Kita akan terus merangkai kata-kata sampai tepat.
”Mengapa ada penulis yang sering jadi dan ada penulis yang tidak?” tanya Harry.
Justru memang hanya itu bedanya. Terkenal dan tidak terkenal. Tapi, sama-sama disebut penulis. Menurut Harry, penulis-penulis terkenal juga melalui proses yang tak mudah. Mereka mengalami penolakan hingga berpuluh kali agar tulisannya bisa masuk ke media. Bahkan ada yang lebih dari 20 kali.
Namun, terlepas berbagai kendala yang kadang tak mudah dilalui, bagaimanapun menulis itu indah. Indahnya penulisan itu karena tidak ada yang sama. Itu salah satu seninya.
”Dan kita perlu terus berjuang untuk melawan kesulitan itu. Itu yang harus kita tanamakan pada diri kita sendiri. Ibarat gunung, ia tinggi sekali dan tidak pernah ada puncaknya,” tutur Harry.
Menurutnya, menulis hanya salah satu cabang dari Liberal Art. Ada yang disebut dialektika, gramer dan retorika. Tulis menulis dan berbicara itu termasuk retorika. Dan kalau kita menulis, sebenarnya kita berpikir. Dan kalau kita berpikir, sebenarnya kita melakukan dialektika.
Dan dialektika itulah yang dilakukan oleh para figur pemimpin-pemimpin terdahulu. Sebut saja Soekarno, Hatta, Cokro Aminoto, Sutan Syahrir, Ahmad Dahlan dan lainnya yang semuanya penulis.
Mengapa mereka menjadi pemimpin? Karena mereka melakukan dialektika. Dialektika, terkadang untuk mengadu atau menguji argumentasi kita. Tak perlu takut kalau ia kontroversi. Kontroversi akan membuat orang berpikir. Dan kita akan terus berpikir.
Jakarta, 6 Mei 2009 (Fiqoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar