Rabu, 21 April 2010

Jurnalisme Baru

”Ketika kita menyajikan berita dengan apa adanya, kebenaran akan muncul dengan sendirinya,” kata Budi Setiyono, saat memberikan materi di kursus narasi ke delapan, 2 Desember, di gedung Pantau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

New Journalism, sebuah genre penulisan yang dimulai oleh Tom Wolfe Pada 1973 di Amerika. Wolfe, bersama EW Johnson menjadi editor buku antologi berjudul The New Journalism. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Ada Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin dan Wolfe sendiri. Dalam kata pengantarnya, Wolfe dan Johnson bilang bahwa genre ini berbeda dari reportase sehari-hari (jurnalisme konvensional). Ibarat novel namun fakta. Bertutur menggunakan adegan demi adegan, pencatatan dialog secara utuh, tidak hanya cover both side tapi juga menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail.

Genre ini menukik sangat dalam, lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai indepth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada karakter. Drama. Babak. Adegan. Konflik.

Laporannya panjang dan utuh, tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan. Wawancara biasa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan narasumber. Dan ceritanya kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal.

Jurnalisme Baru bukanlah sebuah genre jurnalisme yang benar-benar baru. Para penulis seperti Mark Twain di abad ke-19, Stephen Crane di awal abad ke-20, serta James Agee, Ernest Hemingway, AJ Leibling, Joseph Mitchell, Lilian Ross, dan John Steinbeck di periode sebelum dan sesudah Perang Dunia II (yang menulis bentuk-bentuk esei naratif), adalah para pendahulu mereka. Dan sejumlah media sudah menggunakan genre ini: The New Yorker, Esquire, Rolling Stone, Antlantic Monthly, dll.

Di antara berbagai kritik yang datang, terutama dari jurnalis konvensional, Literary Journalism lalu mengambil tempat jurnalisme baru. Berbagai metode dan teknik diperluas dan disempurnakan.

Norman Sims, dalam buku Literary Journalism menulis pengantar berjudul “The Art of Literary Journalism”, menjelaskan terjadinya perluasan konsep. Indikasinya terlihat dengan unsur kedalaman reportase (immersion reporting), teknik-teknik naratif yang membebaskan pandangan si wartawan, dan peningkatan standar akurasi. Perbedaan perspektif, suara, dan pengalaman juga diangkat ke permukaan, dalam rincian yang mendalam.

Pedoman 5W 1H dikembangkan menjadi pendekatan baru. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Where menjadi setting. How menjadi narasi. Sehingga pengisahan berita naratif jadi mirip kamera film dokumenter, begitu menurut Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida.

New Journalism, mensyaratkan tujuh unsur pertimbangan yaitu fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu dan unsur kebaruan.

Di sebuah sesi penulisan Pantau sebelumnya, Endy Bayuni, Chip Editor The Jakarta Post yang telah menggeluti profesi wartawan lebih dari 25 mengatakan bahwa, dalam narrative reporting, selalu ada muatan pesan sehingga membuat pembaca terlibat dalam beritanya dan ikut merasakan apa yang sedang diceritakan penulis. Hal ini akan menghidupkan kembali minat baca pada masyarakat.

Masih menurut Endy, duapuluh tahun lalu, di Amerika orang masih meluangkan waktu 20 menit untuk membaca koran. Tapi sekarang, paling hanya satu menit, hanya scan headline-nya dan kalau menarik baru dibaca. Namun, New York Times punya survey tersendiri. Ternyata orang masih mau menghabiskan waktu 40 menit untuk membaca. New York Times adalah koran yang secara content ada unsur narasinya. Tulisannya panjang-panjang dan gayanya ada narasi dan sastrawinya juga. Itu yang mempengaruhi orang untuk tahan membaca. Begitu juga dengan Herald Tribune.

Jakarta, 2 Desember 2009 (ditulis oleh Siti Nurrofiqoh, dari kelas menulis, Pantau)

Tidak ada komentar: