Oleh Siti Nurrofiqoh
Sore yang indah. Matahari masih menyisakan kehangatan sebelum tenggelam dalam rengkuhan senja. Ini salah satu keramahan alam yang memberi rasa tentram. Berdiri di dermaga, menyaksikan ombak yang terus bergulung, juga perahu nelayan yang terlihat samar-samar di kejauhan.
Emisi dari kendaraan ketika menuju ke tempat ini, seakan tergantikan oleh sajian laut lepas yang membentang biru di hadapanku. Mataku mencoba mencermati di kedalaman sana, dan segera kutemui kerumunan ikan-ikan kecil yang berenang-renang tanpa berpisah dari gerombolannya. Ikan-ikan itu masih nampak lemah. Sesekali gelombang memecahnya dan membuatnya terberai. Namun tak selang lama mereka bersatu lagi dan bergoyang lembut mengikuti irama gelombang yang melemah. Rasa damai menyelusup relung hati menatapnya. Bergantian kutatap seseorang yang berdiri di sampingku.
Di depan sana, dari tempat kami berdiri, perahu nelayan bergerak lamban sambil menebarkan jala.
“Kalau seperti itu cara mencari ikannya, kekayaan laut akan terus terpelihara. Karena mereka tak musnah oleh peledak atau endrin. Jadi ikan-ikan kecil bisa tetap hidup sampai tiba waktunya ditangkap untuk dimakan, hehe..” kata temanku sambil nyengir dan sekilas melirik ke arahku.
Aku tersenyum mendengarnya. Hidup dan kematian. Leluconnya tepat sekaligus terasa ironi di telingaku. Dan memang begitu sejatinya mahluk hidup. Setiap detik kehidupan, selalu mendekatkan kita akan datangnya kematian. Seperti dua anak panah yang saling menembus dari dua arah. Memikirkan ini, aku merasa waktu di dunia terlalu singkat.
Angin sesekali bertiup kencang. Dan aku memalingkan muka untuk menyesuaikan arah. Seekor ikan mati mengambang ke sana-ke mari terbawa gelombang. Dalam hatiku berpikir, kalau sudah begitu dimasak dengan bumbu apapun pasti tidak enak dimakan. Kurasa bukan soal mati, yang lebih penting adalah apakah mati berguna atau mati sia-sia.
Sambil memandang ikan, aku memikirkan kanibalisme dalam diriku. Manusia memang pemangsa bagi mahluk hidup lainnya. Dan hasil buruannya tidak hanya disantap dalam keadaan matang, tapi dimakan mentah dan kadang dalam keadaan hidup-hidup. Belakangan, malah terjadi peristiwa manusia memakan manusia secara langsung maupun tak langsung. Ah, kadang keserakahan manusia lebih-lebih dari binatang.
Tapi dalam hal manusia memakan ikan atau binatang, kuanggap bagian kemurahan Tuhan bagi manusia. Karena manusia membutuhkan protein untuk asupan gizi. Tapi manusia yang mana dan yang seperti apa? Dalam bayanganku muncul seringai, tawa dan cibir dalam nuansa yang serba samar dan abu-abu. Tidak ada hitam dan tidak ada putih. Protein untuk kesehatan manusia…tapi bagaimana kalau manusia tersebut kebetulan seorang koruptor atau pembunuh? Memikirkan hal itu rasanya jadi tertelan ke dalam ketakmengertian di kegelapan yang lebih luas.
Kupandangi lagi lagi ikan-ikan kecil di bawahku. Dan pikiranku mengingat seseorang. Seseorang yang terus gelisah memikirkan pencemaran air laut akibat limbah tailing yang terjadi setiap hari. Beberapa gelintir manusia serakah terus mengeruk keuntungan dan merusak alam. Dengan nada prihatin Ia menjelaskan bahwa bersama satu gram emas, dihasilkan pula limbah, batuan, tailing, emisi, mercuri, timbal dan sianida yang dibuang ke laut. Dan ikan-ikan pun mati sia-sia.
Aku juga teringat sesuatu yang menarik buatku ketika pertama kali datang ke rumahnya. Huruf-huruf tertera pada selembar kertas kuning kehijauan dalam sapuan stabilo tak rata. Ia seperti memiliki kekuatan yang membuatku menolehnya sebelum tanganku memutar gagang pintu kamar mandi. Tulisan itu terletak di pojok dinding sebelah kiri depan kamar kecil di lantai atas rumah kontrakannya. Tulisan tangan sederhana dan tak tampak ada upaya membuatnya terlihat indah, meski ada pengulangan di beberapa lekuk huruf untuk memberi kesan tebal. Ia berbunyi: hidup tidak hanya dibuat sekedarnya.
Malam itu Ia pulang larut. Jam satu dini hari. Meski sudah tidur agak sore, rasanya mataku susah membuka. Dan aku segera turun membukakan pintu untuknya. Sudah beberapa kali aku menginap di tempatnya untuk diskusi banyak hal. Atau sekedar melewatkan waktu bersama. Ia adalah Siti Maemunah. Dan aku memanggilnya Mae. Berasal dari Jember, Jawa Timur. Ia seorang aktivis lingkungan. Darinya aku sering mendengar tentang pentingnya memelihara keseimbangan alam dan lingkungan. Bukan hanya soal limbah tambang yang dibuang ke laut, tapi juga soal hutan yang terus digunduli. Dan semua itu mengakibatkan bencana berefek domino baik itu untuk alam dan manusia. Dan bersama lembaganya, Jatam, Ia melakukan advokasi terhadap warga yang menjadi korban kegiatan tambang itu.
Pertama kali masuk ke rumahnya, aku merasa seperti berada di sebuah galery benda-benda etnik. Di ruang bawah yang digunakan sebagai ruang tamu, selembar selendang dan alat tenunnya terpampang anggun pada dindinng sebelah kanan. Di sebelah kiri ada berbagai jenis lukisan bernuansa alam dan binatang laut. Di tembok yang menghadap ke pintu masuk, menempel beberapa jenis kerajinan tangan yang mencirikan khas setiap daerah.
Naik ke tingkta atas, semua benda-benda etnik juga ditemui di sana. Setumpuk selendang yang biasa ia gunakan menutup kepala, tempat pakaian, alas tidur, sandaran duduk, hingga korden penutup jendela. Tak kurang dari 50 pin berkumpul pada sebuah papan di pojok kamar. Semua pin-pin itu tentang gerakan mencintai lingkungan.
Di suatu sore Ia menelpon dan mengatakan telah mengirimkan tujuhbelas tulisan yang berisi puisi, dan tulisan-tulisan yang menggunakan sudut pandang perempuan. Dia bilang, agar tulisan-tulisan itu bisa dijadikan inspirasi bagi perempuan lain.
Dari beberapa tulisan itu, nampak sekali ada kegelisahan, namun juga ada sebuah keteguhan yang ingin Ia tunjukkan bahwa semua manusia sesungguhnya berhak atas dirinya sendiri, baik itu laki-laki ataupun perempuan.
“Jika elegan, harus tidak meludah, bersendawa dan mengupil di depan umum, lebih baik saya menjadi perempuan biasa,” begitu salah satu argument-nya dalam salah satu tulisan berjudul Elegan.
Tapi di saat yang lain, ketika aku curhat soal laki-laki yang kabur meninggalkan hutang pasca istrinya melahirkan, Ia bilang, ”Kita jangan hanya menyalahkan laki-laki itu, belum tentu semua kesalahan ada di dia. Ingat, kita ini hidup di negara yang brengsek. Itu juga harus kamu pikirkan juga.”
Ya. Dosa laki-laki yang memilih kabur meninggalkan anak dan istri karena dikejar-kejar rentenir, ternyata tidak hanya bisa dimengerti secara sederhana hanya dengan menghakimi si pribadi itu--tapi juga secara sosial dan struktural.
Kutatap lagi lagi laki-laki yang tak tak jauh dari tempatku berdiri. Ia tampak asyik memandangi kaki langit yang mulai tertutup kabut sore.
“Cinta akan memberimu ruang untuk menjadi pribadi yang berbeda -- lucu, aneh, tolol, unik, yang tidak pernah dilakukan sebelumnya.”
Kata-kata Mae kembali terngiang. Manusia memiliki banyak sisi. Sisi yang memang membutuhkan kebijaksanaan untuk bisa saling memahami. Dan diskusi dengan Mae, membuatku berpikir banyak hal tentang apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Setidaknya aku sebagai warga negara, manusia, dan perempuan. Meski terkadang, kata ‘perempuan’ acapkali menjadi semacam lubang yang menenggelamkan impian-impian lain di antara sempitnya celah pergumulan di atas kasur, dibalik kelambu tempat tidur, sumur dan dapur. Padahal di luar sana dunia menunggu dan menuntut setiap manusia, sispapun itu, perlu melakukan sesuatu demi keadilan dan kemanusiaan yang lebih luas. Juga melakukan karya terbaiknya dalam hidup.
“Kita berhutang dengan alam. Bukti kecil yang tak pernah terpikirkan, padahal hampir semua orang memerlukan tusuk gigi sehabis menyantap makanan. Dan kita juga memakai perhiasan. Untuk satu gram emas saja, berton-ton tanah diaduk-aduk dari perut bumi. Limbahnya dibuang sembarangan, menyisakan penderitaan bagi saudara-saudara kita di belahan lain nusantara,” begitu katanya di suatu pagi.
Angin mulai bertiup kencang. Aku mengambil tali rambut dan merapikan rambutku lalu mengikatnya. Senja perlahan menyelimuti permukaan laut dan udara mulai terasa dingin. Sejauh mata memandang yang nampak keremangan yang makin gelap. Pikiranku menyusuri di antara ikan-ikan kecil yang tak lagi bisa terlihat. Temanku menawarkan untuk tinggalkan tempat itu. Dan aku setuju. Sebentar lagi akan kujelang lalu lalang kendaraan, macetnya jalanan dan kabut emisi.
Dalam perjalanan pulang, ikan-ikan kecil muncul kembali di benaku. Ikan-ikan yang akan terdesak oleh kelamnya limbah tailing, timbal dan mercuri. Seperti sesaknya udara yang kuhirup saat ini; kendaraan yang terjepit di antara truk-truk pengangkut tabung-tabung gas, kontainer-kontainer yang memuat kendaraan dari dealer, dan gedung-gedung kaca yang menyilaukan mata tersorot lampu.
Sebentar lagi, pulang disambut udara tempat kost yang belakangan ini selalu panas dan dikeluhkan para tetangga juga. Alam seperti telah kehabisan oksigen untuk kehidupan manusia.
Percapakan dengan Mae kembali terngiang. Berton-ton kedukan tanah untuk 1 gram emas. Laut yang harus menerima pembuangan berton-ton limbah setiap hari. Pembalakan hutan yang setiap tahun mencapai empat kali lipat pulau Bali. Memang, terlalu mahal yang harus kita bayar untuk semua itu.
Ya. Kita memang berhutang kepada saudara-saudara kita di Papua, Kalimantan, Sidoarjo, dan masih banyak lagi. Lebih dari itu, kita berhutang kepada alam, yang telah memberi kita kehidupan.
Aku menatap teman di sebalahkku. Dan aku berdoa dalam hati. Semoga, kebersamaan aku dengannya, tidak hanya akan bermuara pada kehidupan untuk diri sendiri dan sebatas keluarga. Seperti kata Mae, hidup memang tak harus dibuat sekedarnya. Sendiri atau berdua, sendiri atau bersama-sama, sendiri maupun berkeluarga, yang terpenting, manusia harus bisa bersikap sebagaimana manusia. Punya tanggung jawab atas diri sendiri, manusia lain, alam dan lingkungan.
Jakarta, 5 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar