Rabu, 16 Juni 2010

Jalan Kenangan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Sudah dua tikungan. Sebentar lagi akan sampai di persimpangan itu. Dan sekarang aku sudah tiba di sana. Tepat di dekat lampu merah. Sekilas kuarahkan pandanganku. Orang berlalu lalang. Dan aku berlalu.

Malam ini aku lewati lagi. Dua tikungan yang sama. Rute yang sama pula. Dan masih seperti kemarin-kemarin. Ramai. Hanya itu.

Menjelang lampu merah. Angkot yang kutumpangi berhenti. Sopir melambai-lambaikan tangan pada orang di ujung gang. Sosok itu berjalan melenggang, dan ketika dekat ia mengibaskan tangannya. Sopir menelan ludahnya seperti tercekat. Dan segera menekan pedal gas dengan beringas.

Laju angkot berhenti. Tertahan di antara deretan mobil yang sama-sama terjebak antri. Bunyi klakson dari sana-sini saling menimpali. Sesekali kendaran di depan bergerak, dan di belakang segera merangkak pelan seperti barisan bekicot yang kehabisan carian di tanah gersang.

Beberapa kios di sepanjang jalan masih buka meski sudah sepi pengunjung. Sebagian sudah terlihat padam dan menyisakan kesan muram. Sebuah bangunan tua, tembok putihnya terlihat kusam penuh bercak di sana-sini karena hujan tak sempurna menghapus debu-debunya. Seperti riasan pada wajah perempuan yang luntur terkena air mata. Dua bocah jalanan duduk di pojok bangunan itu. Memandang nanar ke arah jalanan, lalu lalang manusia yang di kepalanya penuh dengan urusan dirinya. Menyedihkan.

Menyedihkan? Siapa yang menyedihkan? Entahlah. Realita terkadang hanya seperti kanvas dalam sapuan pandang mata manusia. Selebihnya, berbagai rasa yang akan mewarnainya. Kadang gejolak, kadang kecamuk. Sebuah kenyataan tak selalu wujud dari kenyataan sesungguhnya.

Seperti malam ini, untuk pertama kali kusapu setiap tepi yang kulewati dengan kesadaran. Ia menjadi sangat matematik. Tidak lagi menyimpan nuansa melainkan fakta; jarak tempuhnya yang tak berubah; mulut gang, tiang listik, hingga pohon-pohon yang menempati titik tertentu; titik yang terkadang menentukan eksistensi seorang manusia, titik yang terkadang tidak menjadi sederhana bagi manusia lain untuk mengisinya; titik yang bahkan bisa memicu keributan dan membuat nyawa melayang. Ada bagian yang terang, ada bagian yang suram dan remang-remang.

Dulu ketika kulewati jalan ini, segalanya terasa benderang dan seperti bertabur bunga. Karena di kepalaku disibukkan oleh angan-angan tentangmu, sambil tanganku sibuk menekan-nekan huruf di keypad phone cell-ku. Sesekali menempelkannya di kupingku ketika ada nada panggilmu, dan selebihnya aku yang menghubungimu. Bergantian, kita terus begitu. Terus saling memberi kabar terbaru, seakan-akan peristiwa besar bisa terjadi dalam hitungan detik dan membuat kita tidak bisa bertemu.

Semua terasa indah dalam sekilas pandang yang jarang menggunakan rasa keingintahuan. Pengemis, anak jalanan, hanya menjadi bagian warna hidup yang telah dianggap biasa.

Malam ini kembali aku melewatinya. Dan aku seperti melihat banyak lorong. Dari sana saling berjulur berbagai kenyataan dan kenangan. Seakan ada lekuk bukit, hamparan ilalang, juga kegelapan. Seperti perjalananku saat ini, seperti hatiku yang tak menentu ini, ketika untuk kesekian kali melaluinya tanpa tujuan. Selama ini ia hanya menjadi bagian geografis yang jarang terlihat bentangannya. Ia hanya sebuah proses perjalanan yang tak lebih berharga dari perjumpaanku dengannya. Bagian yang terasa membenamkanku begitu lama dan meminta lebih kesabaranku untuk segera bertemu. Barangkali gerutuku yang tumpah telah memenuhi setiap jengkalnya.

Angkot berhenti, menunggu lampu merah menyelesaikan hitungan detiknya. Ada rasa sepi yang menggigit. Tak ada dering telpon, pun sms-sms bernada ketaksabaranmu.

Biasanya kamu yang datang lebih dulu. Beridiri takzim di trotoar yang membelah dua jalan itu. Matamu mencari-cari dan menatap semua kendaraan yang datang dari arah tempatku. Dan tak jauh dari lampu merah itu kita bertemu. Hangat tanganmu segera menjalari tubuhku melalui genggaman tanganmu.
Aku telah sampai. Sesekali keramaian mengusik dengan riuhnya. Sesekali tubuhku berhimpit dengan tubuh-tubuh yang lain. Persentuhan fisik yang serba mekanis. Seperti robot yang bergerak karena remot control di luar tubuhnya. Tubuh yang jiwanya telah terpecah-pecah entah di mana.
Aku datang kembali. Seperti biasa. Di tempat yang sama. Tapi bukan untuk siapa-siapa.

2 Juni 2010

Tidak ada komentar: