Oleh Siti Nurrofiqoh
Hari yang cerah. Langit bersih terlihat dari dinding kaca. Kami memilih kursi di pojok ruang Dunkin Donat yang terletak di dekat pintu masuk pusat belanja Ambasador, Mega Kuningan, Jakarta Barat. Ia menghirup pelan kopi panasnya. Lalu memandang keluar.
“Hm, tempat ini pertama kali gue datang bersama seseorang,” nada bicaranya seperti ditujukan pada diri sendiri, tanpa memalingkan wajahnya padaku.
Aku kembali memandang keluar. Matahari mulai tinggi. Meski cahayanya belum begitu terik.
“Siapa?” kataku.
Ia tak menjawab. Tangannya menyentuh pisau garpu dan mulai memotong kue pisang coklat Kue yang telah dipotong tak segera disantapnya.
Ia seorang aktivis lingkungan. Berasal dari Jember. Dan aku memberinya gelar tukang limbah. Gelar itu tentu saja berasal dari beberapa tulisan yang kadang diberikan padaku. Semua tak jauh dari persolan limbah tailing yang merusak alam. Juga kiprahnya dalam mengadvokasi masyarakat korban tambang di berbagai daerah.
Sekali waktu, ia berikan tulisan berjudul Valentine dan Ratu Kecantikan. Dalam hatiku penasaran. Tumben ia mengangkat isu seperti itu. Pilihan judulnya terdengar lembut di telinga.
“Ah, paling larinya ke tambang-tambang juga,” balasku melalui sms yang hanya dibalas dengan tanda senyum.
Ternyata dugaanku tak keliru. Ratu kecantikan yang ia tulis bertepatan dengan hari Valentine hanyalah sederet kalimat pada salah satu paragraf tulisannya. Ia menyibak sisi gelap dibalik kemilaunya hiasan. Selebihnya mengulas tentang tambang, lengkap dengan data-datanya.
Tangannya baru akan menyentuh cangkir di depannya dan HP-nya berdering. Rupanya suara dari seberang menanyakan tentang limbah tambang. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa limbah tailing adalah limbah batuan dan lumpur yang mengandung logam berat. Bersama satu gram emas dihasilkan pula 2,1 ton limbah batuan dan tailing, 5,8 kilo gram emisi, berupa 260 gram timbal, 6,1 gram mercuri dan 3 gram Sianida dan membutuhkan setidaknya 104 liter air. Perusahaan pertambangan selalu mengatakan bahwa semua bisa di detoksifikasi, yang akan menawarkan zat-zat kimia itu. Namun menurutnya itu tidak benar.
Lawan bicara menututp telpon. Dia meletakkan HP dan menatapku. Penasaran dengan data-data yang disebutkn aku bertanya padanya.
"Kok bisa tahu. Benarkah begitu?” Ia mengangguk pasti.
“Ya itu bagian dari kerjaan gue,” jawabnya.
Beberapa Negara sering ia kunjungi layaknya melakukan perjalanan antarkota. Aku menyebutnya suatu kemewahan bisa selalu pergi ke tempat-tempat yang jauh. Yang selama ini hanya bisa kuketahui melalui peta. Tapi ia tidak merasa bangga dengan seringnya bepergian ke luar negeri.
“Memangnya apa istimewanya kalau sering pergi ke luar negeri? Yang penting kan melakukan sesuatu. Gue pergi ke sana karena ada yang harus gue lakukan di sana,” ucapnya serius.
Kuanggukkan kepala, kuhirup lagi kopi yang masih susah diterima oleh lidahku. Dua bungkus gula telah kububuhkan agar bisa kunikmati kopi hitam yang ia pesankan. Maklum, biasannya aku minum kopi cap Kapal Api. Dan aku lebih menyukai minum kopi cap Kupu-Kupu yang satu sachet harganya 300 rupiah dari Rangkas Bitung. Atau kopi cap Muntu dari Kutoarjo. Rasanya lebih mantap. Menghirup aromanya kadang memberi rasa damai di hati.
“Kita ini, disebut beruntung nggak beruntung. Kenapa? Ya, kita disebut beruntung karena setidaknya, secara ekonomi kita masih bisa makan setiap hari sampai kenyang,” katanya seraya mengoleskan lip gloss pada bibirnya.
“Tingkatnya sedikit di atas para gembel, yang tempat tinggal dan makannya tidak menentu. Tidak beruntungnya karena, orang kayak kita belum sungguh-sungguh mendapat kesempatan.”
Ia memejamakan mata sejenak. Lalu ia menceritakan padaku bagian adegan dari sebuah film berjudul Million Dollar Baby yang tokohnya seorang petinju perempuan, diperankan oleh Hillary Swank. Sampai akhirnya perempuan ini mendapat kesempatan menjadi petinju internasional. Tapi musuh-musuh yang dihadapi kadang banyak yang main kotor, akhirnya dia mengalami cidera. Masa hidup selanjutnya hanya terbaring di ranjang, dan berada di kursis roda. Keputusasaan membuatnya beberapa kali mencoba bunuh diri dan minta kepada pelatihnya untuk mengakhiri didupnya. Palatihnya tentu tidak mau melakukannya. Tapi ada satu hal yang membuat si pelatih berubah pikiran. Sampai di situ ia menghentikan ceritanya dan mengaduk-aduk minuman di cangkirnya.
”Apakah itu?” tanyaku sambil menahan nafas yang tiba-tiba terasa sesak.
”Ucapan sang petinju,” katanya. Petinju itu mengatakan, ”Aku sudah mendapatkan semuanya. Dari seorang pelayan toko hingga petinju dunia. Aku tak akan menyesal jikapun harus mati. Tapi aku tak bisa hidup tak berdaya seperti ini".
Kuhela nafasku. Rasanya seperti menarik benang dari kedalaman lumpur yang perlahan mengering. Sesuatu ikut tercerabut dalam tarikan yang perlahan sekalipun. Dan aku segera membayangkan mencelupkan benang itu ke dalam air yang jernih. Dan terlihatlah molekul-molekul yang bergulung seperti bangkai ular yang hancur. Air terlihat menghitam. Tapi tak berapa lama benang terlihat bersih dalam warna aslinya.
"Banyak orang yang mati karena tidak pernah mendapat kesempatan," katanya.
Kami menerawang ke luar. Matahari sudah kian tinggi. Sinarnya menerpa gedung-gedung pencakar langit, memantulkan cahaya menyilaukan dari dinding-dinding kaca. Tapi di sekitarnya masih berdiri beberapa pohon. Rindangnya mampu memberi keteduhan.
Pikiranku tiba-tiba ingat seseorang yang sedang berada di dalam penjara, dengan keresahan yang selalu diungkapkan padaku. Ia selalu mencemaskan apakah ibunya bisa makan atau tidak, sehat atau sakit. Aku teringat kata-katanya, bahwa dia berjualan ganja karena untuk menghidupi ibunya selain dirinya. Dan yang lebih ironi, aparat yang ikut menangkapnya, juga orang yang sama, yang selama ini menjadi pemasok barang itu.
Ketika aku ke sana, wanita renta itu dalam keadaan memprihatinkan. Wajahnya kuyu. Rambutnya telah memutih seluruhnya. Sesekali aku ke sana untuk memberi sedikit uang dan ada rasa bahagia melihat binar di matanya. Meski aku tak bisa membuat binar itu bertahan lama. Dua tiga hari ke depan, ia akan kembali meniti hari penuh dengan kesulitan hidup hingga waktu yang tak tentu.
Kesesakan kembali menghinggapi dadaku. Rasanya seperti kain strimin yang tertutup carian kanji. Aku kembali memandang keluar. Di jalan yang membentang dua arah, kendaraan selalu merayap lambat. Jakarta sudah penuh mobil-mobil pribadi. Aku jadi ingat dengan pemilik rumah kost-ku di Tangerang, yang jumlah kendaraannya melebihi jumlah anggota keluarga. Konon para tetangga sering menggerutu karena mobil-mobilnyasering membuat kendaraan lain kesulitan melewati jalan komplek perumahan Cimone Permai itu. Pemilik rumah kost itu bekerja di perpajakan.
Saya juga sering merasa aneh melihat pemandangan pinggir jalan raya berkawasan Three in one. Hanya jarak beberapa meter dari tempat polisi memeriksa jumlah penumpang kendaran pribadi, berderet pula puluhan orang-orang mengacung-acungkan jari. Peraturan seperti dagelan.
Obrolan kami bergeser pada tempat kerja dan masalah pribadiku yang kadang satu sama lain seperti saling menjerat. Percintaan, pekerjaan, kegiatan sosial, terkadang seperti bergumul jadi satu. Ketakberdayaan pada satu persoalan, kadang membuat tubuh seperti terkubur dan tak bisa melakukan hal yang lain. Tapi, di sinilah aku belajar kapan melakukan keinginan dan kapan harus mengerjakan kewajiban. Aku menitikkan kata harus karena, meski hidup adalah pilihan, bukan berarti aku hanya memilih apa yang aku suka. Sebagai manusia, aku juga harus memikirkan manusia lain. Untuk itu aku harus melatih diriku untuk menumbuhkan kepekaan nuraniku. Di sisi lain ada kesedihan yang terasa menghabiskan energi, tapi di sisi lain ada dimensi kehidupan yang harus tetap berjalan. Hidup, ternyata bukan hanya tentang diri sendiri.
Lama kami terdiam. Suasana di luar makin ramai. Selain orang-orang yang berlalu lalang, sudah tak terhitung mobil pribadi dan taxi berhenti menurunkan penumpang. Bunyi klakson-klakson dari berbagai jenis kendaraan mulai sering menyambangi pendengaran.
“Apa arti pernikahan buatmu?” tiba-tiba aku ingin menanyakan hal itu.
Temanku dari Bandung bilang, pernikahan itu lembaga kerjasama untuk menjalani hidup, dan kita masih bebas mencintai apapun, mengerjakan apapun. Termanku di Surabaya mengatakan, bahwa pernikahan adalah bertemunya dua peradaban. Dan satu sama lain tidak boleh mendominasi, tapi memperkaya.
Dan kamu bilang, menikah itu sama seperti berpetualang. Seperti petualangan yang kita lakukan dalam menjalani kehidupan. Dan akan lebih berwarna kalau kita tidak sendirian dalam berpetualang.
Aku kembali ke masa silam. Hasrat sekolah yang kandas karena kemiskinan. Pernikahan di usia 15 tahun yang dipaksakan. Secara geografis duniaku hanya sebatas lingkup rumah, kebun dan kali. Dan memang hanya itu yang aku hafal. Ketika semuanya selesai, aku keluar dari sana. Dan mendapati diriku seperti tersesat di belantara dunia yang mengharuskan persyaratan. Dan persyaratan itu telah membuatku takut memiliki impian. Entah kenapa, dalam hidupku seperti ada dunia yang hilang. Dunia yang berlobang.
Jakarta, Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar