Rabu, 30 Juni 2010

Menimbang Prestasi

Oleh Siti Nurrofiqoh

Siang itu, Diar berlari-lari di bawah terik matahari. Kakinya yang telanjang menyepak dan menerjang tanah kering. Menerbangkan debu-debu. Tubuhnya yang dekil terlihat samar dibalik selubungnya.

“Ini Om,” katanya, sambil memberikan sebungkus rokok pada seorang penghuni kost. Kembalian uang logam 500-an tak diambil sama si Om dari tangan Diar.

Lalu ia kembali berlari-lari ke jalan. Ia bermain sendirian. Sesekali menendang-nendang bola, memanjat tiang jemuran, atau berlari kencang seperti sedang mengadu kecepatan dengan lawan mainnya. Dan sesekali berdiam diri di bawah rindangnya pohon beringin. Tak lama, anak-anak sebayanya melintas. Mereka berseragam, di punggungnya menggendong tas berisi buku-buku pelajaran. Mata Diar sekilas memandang ke arah anak-anak itu.

“Harusnya Diar sudah kelas dua,” kata ibunya, di Minggu siang yang terik.

Teh Dede, begitu saya memanggilnya, matanya menatap kosong, sambil sesekali melihat ke arah Diar yang sedang bermain sendirian di halaman. Teh Dede dan Diar hidup berdua. Ayah Diar telah berpisah dengan ibunya. Mulanya Diar tinggal bersama neneknya di Kuningan, Jawa Barat. Diar sering dibawa neneknya mencari kacang tanah bekas panen para petani di kampong itu. Dan sejak dua tahun lalu, Diar minta diantar neneknya menyusul ibunya ke Tangerang.

Mereka menempati kontrakan satu kamar. Seharian, kadang hingga malam, ibunya bekerja di pabrik. Dan selama itu pula, Diar menghabiskan waktu dengan caranya sendiri. Sesekali bermain, sesekali nimbrung dengan orang-orang dewasa dan sering menjadi pesuruh mereka jika mereka enggan ke warung untuk membeli sarapan, rokok, atau minuman soft drink.

“Saya tak bisa nyekolahin dia, mau gimana lagi,” kata Teh Dede, dan matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya tersendat seperti terganjal gumpalan gethuk yang ditelan begitu saja.

Teh Dede bekerja di pabrik garmen di Jl Imam Bonjol Karawaci Tangerang. Dan perusahaan tidak membayarkan upahnya sesuai UMK. Pulang malam pun tak dihitung lembur, alasan tak memenuhi target. Sistem kerjanya setengah borongan.

Sebulan kadang mendapat RP 300.000, kadang RP 500.000. Dari uang itu Ia memenuhi kebutuhan hidup dan membayar kontrakan. Kadang pinjam sana sini ketika perusahaan telat membayar gaji. Gaji bisa telat, tapi jadwal sewa kontrakan sudah menjadi ketetapan yang harus ditaati melebihi aturan hukum di negeri ini.

Putus nyambung. Sebuah kehidupan berusaha dipertahankan dari bulan ke bulan dengan tali rapuh yang mudah putus, demi memutar roda kehidupan. Roda yang kadang seret berputar dan terseok di tangan penggeraknya yang tenaga dan pikirannya telah terkuras, seperti gesekan mesin yang olinya mengering. Di minggu-minggu kritis menjelang akhir bulan, yang penting anaknya bisa makan. Kadang juga tetangga yang memberinya makan. Dan terkadang ngutang dengan penjaja nasi pinggir jalan di tempatnya bekerja untuk dibawa pulang dan dimakan bersama anaknya.

Untuk menghemat, Ia pun bersepeda ke tempat kerja. Sepeda yang Ia bawa dari kampungnya, menggunakan kereta kelas ekonomi. Yang penting bisa mempertahankan kontrakan dan makan. Biaya pendidikan anak, kian menjauh dari jangkauan.

Pikiranku langsung ingat akan program beasiswa yang dimiliki oleh Jamsostek. Di website-nya, dijelaskan bahwa bantuan beasiswa merupakan salah satu wujud program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) dalam bidang pendidikan, sebagai sumbangsih PT Jamsostek (Persero) dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa khususnya anak-anak tenaga kerja peserta Jamsostek.

Program Bantuan Beasiswa bertujuan membantu tenaga kerja peserta Jamsostek dalam pembiayaan pendidikan anak tenaga kerja yang berprestasi untuk jangka waktu 12 bulan. Bantuan beasiswa yang diberikan adalah sebesar Rp 150.000 untuk tingkat SD-SLTP. Dan Rp 200.000 untuk tingkat SLTA - Perguruan tinggi setiap bulan selama satu tahun.

Persyaratan untuk mengajukan Bantuan Beasiswa adalah: Bagi Perusahaan, telah terdaftar sebagai peserta program Jamsostek minimal satu tahun. Tertib administrasi kepesertaan program Jamsostek. Bagi Tenaga Kerja, telah menjadi peserta Jamsostek minimal satu tahun dan masih aktif. Siswa yang bisa dibantu mendapat diatas 7,00 untuk SD/SMP/SMU, dan IP 2,75 untuk Mahasiswa.

Kata prestasi menggelitik pikiranku. Prestasi bisa diraih karena adanya kesempatan dan dukungan. Diar, bocah berusia 9 tahun itu, tidak akan punya prestasi. Ia bahkan tidak mengenal dunia pendidikan, tidak memperoleh kesempatan belajar.

Selain soal prestasi, juga ada beberapa persyaratan yang sering menimbulkan persoalan. Misalnya, apakah perusahaan mengikutksertakan pekerjanya ke dalam Jamsostek? Dan, Andai saja perusahaan mengikutsertakan tenaga kerja di Jamsostek, apakah pasti tertib adminsitrasi? Faktanya, Teh Dede tidak diikutsertakan ke dalam program Jamsostek. Faktanya, banyak perusahaan yang tidak menyetorkan iuran hingga belasan bulan. Dan belakangan, dengan maraknya pemberlakukan status kontrak dan outsourcing, tenaga kerja malah tidak lagi mendapat jaminan sosial tenaga kerja sama sekali. Siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah-kah, Jamsostek-kah? Atau Disnaker-kah?

Untuk menjawab semua itu, adalah jalan panjang penuh belukar yang saling membelit dan memang berbelit-belit. Dan selalu, buruh, rakyat kecil, menanggung setiap kesalahan dan dosa struktural di negeri ini.

Hingga hari ini, ketika era globalisasi dan industri tak ramah dan menghimpit kehidupan kaum buruh, sambil terus berjuang memperbaiki nasib mereka sering berharap, “Cukuplah kami yang mengalami keadaan ini. Yang penting, anak cucu kita nasibnya lebih baik dari kita.”

Entah kenapa, ada rasa psimis bahwa impian itu akan terwujud. Jika, fungsi kontrol akan penegakan hukum di negeri ini masih seperti bermain petak umpet. Program dan tawaran yang baik, menjadi tidak menyentuh dan sampai pada yang berhak, ketika prasyarat-prasyarat yang diterapkan penuh lobang. Ia seperti hadiah yang tergantung di ketinggian tiang licin dalam lomba panjat pinang.

Beasiswa bagi siswa berprestasi di Jamsosetk, rasanya perlu dikaji ulang. Mungkin, bukan program bantuan beasiswa untuk siswa yang berprestasi saja. Tetapi, juga perlu ada program untuk memfasilitasi dan memberi kesempatan bagi anak-anak buruh yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan. Anak seperti Diar, tidak akan pernah menyandang predikat ‘siswa’ apa lagi berprestasi. Karena, mendapat kesempatan bersekolah pun tidak.

Dan hal yang tak bisa diabaikan adalah fungsi Pengawasan dan Norma Ketenagakerjaan. Sangsi harus diberikan bagi para pengusaha yang tidak mengikutsertakan tenaga kerja ke dalam Jamsostek. Dan, kesungguhan pemerintah untuk mengawasi,memastikan bahwa hukum telah berlaku sesuai aturan. Agar kebijakan tidak hanya menambah tebalnya pasal di atas kertas.

Tanpa menafikan niat baik Jamsostek dengan program beasiswanya, aku kok merasa, ada yang kurang pas untuk program pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi saja. Prestasi akan lahir dari proses belajar. Dan Diar, perlu diberi kesempatan itu.



Jakarta, 29 Juni 2010

Tidak ada komentar: