Selasa, 09 Agustus 2011

Jurnalisme Advokasi di Indonesia

oleh fiqoh

“Dalam menulis, saya selalu memihak. Saya tak percaya dengan yang namanya netralitas, obyektifitas atau metode cover both sidel!”

Begitu kata Wilson, saat berbicara di sesi kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan Pantau di Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

Pernyataannya ini lekat dengan jiwa keaktivisannya. Wilson telah menerjuni dunia aktivis sejak 1998. Ia ada di gerakan mahasiswa, serikat buruh, PRD, dan gerakan mendukung solidaritas untuk Timor Leste, Aceh, Papua, dan masih banyak lagi. Ia banyak menyaksikan fakta-fakta penindasan -- orang-orang lemah dan bangsa atau negara lemah oleh kekuasaan bangsa atau negara yang kuat; kelompok minoritas oleh kekuatan kelompok mayoritas; atau warga negara oleh penguasa.

Dimensi penindasan itu bermacam-macam, sedari politik, ekonomi, gender, lingkungan hidup, dan masih banyak lagi. Seluruh persoalan itu belum mempunyai jalan keluarnya hingga sekarang.

“Maka itu, keberpihakan pada yang lemah dan tertindas adalah filosofi saya dalam menulis.”

Tentu, yang dimaksud keberpihakan positif. Keberpihakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Karena kelas-kelas dominan dan penguasa selalu menguasai sumber-sumber berita, sumber-sumber pengatauhan. Mereka semua bisa menghegemoni masyarakat dan bisa memaksa orang untuk menerima informasi itu.

“Jadi, dengan fakta itu tindakan yang harus saya lakukan adalah melawan!”

Apalagi media-media mainstream saat ini lebih berorientasi pada rating penjualan (oplah). Dan ia sangat terkait dengan pengiklan, pemilik modal, sponsor. Prinsip yang digunakan adalah nilai sensasi atau keseksian yang bisa menarik pengiklan tertentu atau sponsor tertentu pula. Prinsip itu jelas berbenturan dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemanusiaan – sejauh mana orang-orang kecil disuarakan media; berapa persentasenya persoalan mereka bisa diadvokasi melalui media; berapa banyak orang-orang pembawa perubahan di masyarakat (aktivis kalangan bawah) dan suara yang lemah diberi panggung dll.

Jurnalisme Advokasi

Jika para pemilik modal dan birokrat-birokrat media lebih menjaga bisnis industri medianya ketimbang menggunakan media untuk sebuah perubahan yang positif. Masih relefankah kita percaya?

Wilson miris melihat perubahan fungsi media di Indonesia. Di televise dan koran-koran perseteruan kalangan elit menjadi berita utama. Mereka yang sudah berkuasa yang diberi panggung berbicara, untuk ditonton dan didengar jutaan rakyatnya meski kerjanya hanya membual dan menghasilkan sampah.

Padahal, dalam keadaan seperti sekarang ini harusnya jurnalisme kritis mendapat tempat. Tapi yang terjadi sebaliknya, hingga para jurnalis yang memiliki idealis dibenturkan dengan kebijakan redaksi media-media itu. Wartawan akhirnya bagai mesin-mesin industri birokat media yang lama kelamaan membuat komitmennya tergerus sedikit demi sedikit, atau malah mencari aman.

Makanya, jangan harap kita menemukan berita tentang lumpur Lapindo di TV One, atau hal-hal negative Partai Golkar di Metro TV.

Sebelum reformasi tahun 1998, sebagian jurnalis (sekarang AJI) melakukan gerakan advokasi dengan menerbitkan media-media alternatif seperti Suara Independent. Dan ia memang menjadi sumber terpercaya bagi masyarakat, aktivis, LSM atau mahasiswa. Lalu Wilson mencontohkan, jika kita ingin mengetahui politik lingkungan yang merusak masyarakat adat dan komunitas petani, lebih baik membaca berita Walhi. Dan jika mau tahu bagaimana industri tambang berkolaborasi dengan tentara dan pemodal internasional merusak lingkungan dan sistem masyarakat lokal, akan lebih lengkap lihat di situs Jatam. Termasuk blognya Andreas Harsono yang kata Wilson bisa menyajikan berita paling update soal penembakan di Papua dibanding koran Kompas, misalnya.

Dan masih banyak situs-situs penyedia informasi alternatif seperti Kasbi, KPA, dan lainnya yang menyajikan berita-berita berdasarkan fakta-fakta sosial di masyarakat, komunitas gerakan, organisasi-organisasi peduli keadilan, pelaku-pelaku perubahan di masyarakat yang tidak mendapat porsi di media.

Pada intinya, industri media yang orientasinya bisnis akan berhadapan dengan jurnalisme advokasi. Hegemoni dan oligarki modal serta kekuasaan harus dilawan. Masyarakat harus lebih cerdas membedakan berita. Kita tak butuh berita jika ia hanya menyajikan runutan peristiwa –bagaimana jaman orba wartawan bercerita tentang Marsinah, hanya dengan sumber militer atau Kodam Brawijaya. Secara news ia memang menjadi berita -- menceritakan kronologinya, atau hasil visum dari rumah sakit, “Tapi saya pikir itu tidak cukup!” kata Wilson

Bayangkan, jika wartawan hanya meliput dan menceritakan apa yang mereka lihat hari itu, peristiwa di acara itu, atau kebaikan pejabat pada saat itu. Wilson penulis buku A Luta Continua, mengatakan benar-benar kecewa, karena ia membuktikan sendiri betapa teman-temannya yang dulu pejuang kemerdekaan untuk Timor Leste akhirnya menduplikasi sistem penguasa yang pernah mereka lawan – korup, melupakan sejarah, dan menjadi agen kepentingan kapitalisme internasional ketika mereka berkuasa.

Jusnalisme Advokasi adalah cara kita menunjukkan bahwa media bisa menjadi satu alat kritik kebijakan-kebijakan, praktek-praktek kekuasaan yang menyimpang, atau layanan public yang buruk, juga analisa dan mengklarifikasi berita-berita media mainstream yang belum tentu benar.

Tulisan kita harus menyumbang perubahan yang konstruktif dan positif, memihak pada korban dan meminta pertanggungjawaban pada pelaku-pelakunya. Ia harus mengubah cara pandang orang yang membacanya, atau orang-orang yang ada di dalam sistem itu

Menulis itu, pekerjaan lintas profesi, ruang, status. Ujung pena itu, mewakili suara-suara yang tak harus dan tak selalu mampu kita organisir. Kita semua bisa melakukannya dari rumah, kantor, dan tempat-tempat lain di mana saja, tanpa kehilangan hobi-hobi kita yang lain.

Kita bisa menyelinap barang sekejap, menjadi diri kita yang lain, atau diri kita yang sesungguhnya, untuk menyelingi ragamnya rutinitas kita yang terkadang tak selalu kita ingini – profesi tuntutan pekerjaan.

Memihaklah pada yang lemah, yang tertindas, yang tidak punya akses terhadap berita, pengetahuan, atau korban kebijakan penguasa yang merugikan rakyat. Sejatinya, kita dan mereka yang terpinggirkan adalah sama, ketika yang tak memperoleh akses informasi atau yang dibanjiri informasi, sama-sama korban manipulasi oligarki dan hegemoni kekuasaan.

Kata Wilson, jurnalis menggantungkan pada kekuatan lain untuk membuat perubahan. Tapi jurnalisme advokasi membuat wartawan bisa menggunakan media dan pekerjaannya berkontribusi untuk sebuah perubahan.
Jakarta, 8 Agustus 2011

Tidak ada komentar: