Jumat, 19 Agustus 2011

Agama dan Keberadaban

oleh fiqoh

Selalu menarik untuk mengulas pernyataan-pernyataan Musdah Mulia. Misalnya tentang ini --untuk apa beragama kalau tidak beradab?

Karena baginya, seharusnya agama membuat orang menjadi lebih manusiawai dan beradab. Saya setuju dengan ini. Juga setuju dengan kegelisahan Musdah, yang menyayangkan bahwa agama tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya – ada orang yang sangat beradab tapi tidak beragama? Tidak berketuhanan (atheis) misalnya? Apakah kita yang beragama harus mempersoalkan juga dan menganggapnya tak berguna?

Buat saya, segala sesuatu yang menyangkut Iman atau keyakinan seseorang dengan tuhannya atau dengan apapun, biarlah menjadi ranah setiap individu itu untuk meyakininya, menghayatinya, menjalankannya. Karena pada akhirnya, baik nanti atau sekarang, setiap orang harus mempertanggungjawabkan amal dan perbuatannya.

Kita tidak bisa memberi pilihan hitam putih, agar orang membuat keputusan memilih beradab saja, atau beragama saja, atau harus melakukan keduanya. Hidup adalah sebuah proses pergulatan banyak hal dan dimensi, pertarungan batin dan kepentingan-kepentingan. Karenanya, kita perlu terus belajar, baik dari ajaran agama, peraturan, hukum, pengetahuan umum dan lain-lain. Dan itu bukan hanya tanggungjawab agama atau orang yang beragama, tapi juga negara dan seluruh masyarakat.

Untuk mengatur agar manusia lebih beradab, selain dari agama, juga dari pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai dasar, falsafah dan ideology berbangsa bernegara. Lalu masih ada pendidikan moral pancasila, ada peraturan pemerintah, hukum perdata, pidana, KDRT dan sebagainya.

Tapi lagi-lagi…jangankan mendalami ajaran Al-quran yang berbahasa arab, sedangkan pancasila yang ditulis dalam bahasa Indonesia pun kita tidak memahami maknanya bukan? Dalam hubungan sosial, sikap yang beradab menjadi kesepakatan umum.

Musdah bilang bahwa agama adalah interpretasi. Dan semakin banyak interpretasi membuat wawasan orang makin luas, tidak terombang-ambing karena mengetahui banyak pendapat, dan orang bisa memilih pendapat mana saja sepanjang tak merugikan orang lain.

Menurut saya, jika agama adalah interpretasi, lalu apa gunanya Al-quran sebagai tuntunan?

Lembaga, serikat, dan kantor-kantor pun punya peraturan organisasi dan SOP untuk mengatur tata-tertib, kedisiplinan dan tanggungjawab setiap pegawai.Bagimana jika semua pegawai melakukan pekerjaan dengan pendapatnya masing-masing? Mungkin akan kacau, meski pendapat tetap diperlukan dalam ranah yang berbeda. Masih soal agama adalah interpretasi, bagaimana, jika Indonesia yang dihuni dengan berbagai latar belakang pendidikan dan status sosial ini, menggunakan berbagai pendapatnya dalam beragama? Barangkali, soal arah kiblat pun sudah akan menghasilkan benturan horisontal justru.

Menurut Musdah, persoalan mendasar yang dihadapi dalam kehidupan orang beragama di Indonesia adalah menegakkan pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Ini saya sepakat. Dan solusi harus dicari bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa, terutama para pemimpin untuk tidak korup mementingkan diri sendiri dan inkonsistensi dari cita-cita kemerdekaan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya selalu bicara surga dan neraka dengan definisi maskulinitas – surga itu penuh bidadari dan kolam susu, memang sungguh disayangkan. Kok bisa?

Sedangkan orang-orang di kampung yang lugu, dan mereka yang berpendidikan rendah pun (setidaknya di kampung saya), tidak pernah saya dengar dari ucapan mereka memaknainya begitu. Surga dan neraka sama sekali tidak dimaknai sebagai suasana yang bernuansa gairah badaniah. Karena begitu kita mati, lepas sudah segala kebutuhan bioligis kita. Surga dan neraka adalah imbalan atau sangsi atas amal perbuatan.

Setidaknya, surga dan neraka telah mengilhami orang-orang yang lugu itu, untuk memiliki roso kamanungsan dan tepo seliro. Apa salahnya kalau mereka tidak berbuat jahat karena takut kualat dan takut neraka? Dan berlaku baik karena mengharap pahala atau biar masuk surga?

Bagaimana dengan kita, yang mungkin berbuat baik karena demi program, proyek, sponsor? Atau, karena pamrih agar dipuji, disayang mertua, pacar, atasan, dll? Begitu juga dengan alasan untuk takut -- koruptor sembunyi-sembunyi karena takut KPK, takut polisi, aktivis anti korupsi, wartawan, dll?

Kita tahu bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan selalu multi motivasi. Tapi kebaikan tetaplah bermanfaat sebagai kebaikan. Termasuk, kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang lugu yang takut neraka itu. Mereka berpikir surga dan neraka dengan keimanannya. Dan tanpa banyak bicara, mereka terapkan dalam hidup keseharian. Salahkah?

Musdah bisa bilang agar kita berhenti berbicara sorga dan neraka meski itu ada dalam kitab-kitab suci. Kitab yang menurutnya dibangun atau diturunkan ketika masyarakat belum semodern seperti sekarang. Jika ia sekarang menganggap itu tidak penting, mungkin benar baginya.

Tapi, belum tentu bagi orang-orang lugu itu. Karena kadar keimanan tidak selalu sama, meski satu agama sekalipun.

Jakarta, 19 Agustus 2011 (tanggapan untuk artikel tentang Musdah Mulia: Agama Itu Bukan Candu)

Tidak ada komentar: