Kamis, 11 Agustus 2011

Disorientasi Historis

oleh fiqoh

Mungkin yang akan saya sampaikan ini usang. Tapi saya percaya bahwa yang usang ini penting. Kata orang tua jaman dulu, ia menjadi pengeling-eling, ketika kita tersesat dan butuh jalan untuk kembali.

Kata kuncinya sederhana – jangan pernah melupakan sejarah.

Pesan Bung Karno ini sudah kedengaran sangat klise memang. Tapi lelaki itu membuktikan hal paling konkrit melalui kisah dua bangsa yang alfa, dan kini terus-menerus kebingungan bagai terjerat akar hutan, dan terseret putaran labirin yang membingungkan.

“Sejarah selalu saya jadikan fondasi dalam menganalisa dan menulis,” katanya, dan dalam hati saja stuju.

Lelaki itu Wilson, penulis buku A Luta Continua, karya yang lahir karena kekecewaan pada orang-orang yang dulu disebutnya kawan.

Saat ia mencontohkan dua bangsa yang kehilangan sejarah, saya membuka kotak-kota kecil berisi kelompok-kelompok kecil yang sering mudah melupakan komitmen bersama. Ia tentang kesetiakawanan yang dibangun oleh dua sahabat, janji setia dari pasangan hidup, atau solidaritas dan integritas yang dibangun dan dijaga oleh buruh yang berserikat.

Tapi bicara sejarah bangsa, penting bagi kita bicara siapa yang menuliskannya. Apakah Nugoroho Notosusanto yang kemudian menjadi kurikulum di sekolah-sekolah itu? Atau sejarah Timor Leste yang justru lebih banyak ditulis oleh orang luar?

Sejarah yang ada, dan terutama di Indonesia telah diseragamkan versi tentara atau pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan. Padahal kemerdekaan harus memiliki makna intelektual dan historis. Dan ini yang tak dimiliki oleh Bangsa Indonesia maupun Timor Leste.

Hal itu yang dikritisi Wilson dalam bukunya, tentang pergerakan di Timor Leste, saat masa perjuangan, referendum dan pasca kemerdekaan. Para pejuang yang awalnya sangat dipercaya memegang teguh cita-cita bersama, tak dinyana bagaikan bunglon yang berkamuflase.

Para aktivis yang dulunya menentang rezim penguasa korup dan otoriter, kini perilaku mereka tak ada bedanya. Mereka yang dulunya pejuang, langsung sibuk dengan urusan kekuasaan dan tidak sempat menulis sejarahnya.

“Ah, segalanya tak semudah yang dulu kita bayangkan,” kata Wilson menirukan kawannya yang menjabat Menteri Pertanian di negara termuda itu.

“Kenapa di saat segalanya di tangan kita justru malah susah? Budget di tangan kita, kekuasaan di tangan kita, kebijakan di tangan kita, kok jadi malah susah? Yang susah itu kan pejuang-pejuang yang tak punya dana, hidup di hutan-hutan, di jalan-jalan, dan tak bisa menyewa secretariat dan kontrakan!” ucapnya.

Lagi, bahwa tidak menuliskan sejarahnya membuat mereka lupa dengan cita-cita semula. Dan lupa bahwa dalam proses kemerdekaan bangsa itu, semua terlibat, semua menyumbang, semua ikut berharap. Sejarah membuat kita memiliki ikatan emosi terhadap bangsanya, cita-citanya.

Bangsa yang lupa, adalah bangsa yang bingung. Makanya di bangsa ini terus terjadi kekacauan karena pelanggar Ham di masa lalu tidak pernah diadili, dan justru perilaku itu diduplikasi. Kesepakatan bersama dilanggar, konsesus nasional tidak dijalankan, dan kesalahan terus diulang. Karena tidak ada bahan merefleksi diri baik rakyat maupun penguasa.

Bicara sejarah dua bangsa, perlu dimulai dari komitmen dan integritas kelompok-kelompok kecil seperti aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, serikat buruh, dll. Integirtas bisa saja berubah, srigala bisa saja berganti bulu, tapi sejarah yang dituliskan dengan benar akan menjadi pengingat, bahwa ketika hari ini siapa menjadi apa, jangan hanya ditulis apa yang dilakukan sekarang.

Merawat sejarah, juga bagian dari menyimak dan mencatat perubahan setiap individu yang menjadi pejuang atau pelaku perubahan. Barangkali ini salah satu yang membedakan alasan Wilson dengan Budiman Sudjatmiko meninggalkan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Wilson bilang, ia keluar karena perlu mencari kelompok lain, dan demi menjaga adrenalin bersama orang-orang yang tak mau dikekang oleh kemoderatan dan keadaan yang kelewat mapan. Sedang Budiman bergabung ke PDIP dan menjadi anggota DPR.

Bangsa Indonesia telah kehilangan Jembatan Emas dalam istilah Bung Karno -- Jembatan untuk menggapai kesejahteraan berbangsa dan bernegara; Timor Leste telah kehilangan ruh sebagai “Masyarakat Maubere”.

Kita hanya berdaulat secara politik tapi tidak secara ekonomi. Kita berdaulat sebagai bangsa, tapi tidak berdaulat dengan sejarahnya. Padahal sejarah akan membuat kita tidak kebingungan menentukan masa depan.

Tapi Negara-negara ini sama-sama telah menjadi alat kepentingan global bernama neoliberalisme atau kapitalis internasional. Negara bagai kehilangan eksistensi. Janji memandirikan pangan dengan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, janji menjadi masyarakat sosialis yang anti borjuasi dan tidak korup, seluruhnya tidak terbukti.

Perjuangan harus berlanjut!

Jakarta, 11 Agustus 2011 (notulensi diskusi dengan Wilson di Pantau)







Tidak ada komentar: