Senin, 22 Agustus 2011

Tuhan dan Kesendirian Kita

oleh fiqoh

Serpihan surga dan neraka baru saya rapikan dari keterserakan, sejak kedatangan Musdah Mulia beberapa waktu lalu, dimana pandangannya soal agama dan surga berbeda dari yang selama ini saya dengar dan hayati dari guru-guru ngaji.

Kemarin pagi, Andreas Harsono berkirim sms, mengusulkan Luthfi Assyaukanie untuk berbicara di Pantau, tentang buku “Ideologi Islam dan Utopia” bermutu. Menurutnya, dia bisa banyak memperkaya diskusi. Andreas menyarankan sebaiknya buku dibaca lebih dulu. Maka siang ini saya mencari tentangnya di internet.

Dari sekian banyak artikel yang ditulis olehnya, saya baru sempat mengambil satu, tentang shalat, fikih dan tasawuf.

Disiplin fikih menurut Luthfi, banyak membantu kita memahami kegiatan-kegiatan dan urusan-urusan keagamaan yang kompleks. Berbagai peristiwa keagamaan yang memiliki intensitas dan sifat berbeda-beda dikelompokkan menjadi katagori-katagori tertentu. Ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang haram, ada yang halal, dan seterusnya. Sebagai sebuah upaya penyederhanaan, fikih sangat berguna.

Sedangkan shalat, bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat tak ada kaitannya dengan fikih. Ia lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteric manusia. Inti daripada shalat adalah bukan bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat), dan bukan pula waktu (menjadi subuh, zuhur, asar, dan seterusnya). Shalat seseorang yang selalu memperhitungkan bilangan, seperti dikatakan Nabi, adalah shalatnya seorang pedagang.

Terkahir, dalam artikelnya yang ditulis pada 4 Juli 2004 itu, Luthfi mengutip Muhammad Iqbal -- sufi yang juga seorang penyair, pernah menulis sebuah artikel berjudul "Konsep tentang Tuhan dan Makna Shalat" (The Conception of God and the Meaning of Prayer). Artikel yang kemudian menjadi salah satu bab karya agungnya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, merupakan penjelasan paling genuine terhadap fungsi dan makna shalat.

Bagi Iqbal, shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah alat bantu, shalat memiliki keterbatasan- keterbatasan. Setiap orang, kata Iqbal, mendapatkan efek kesadaran yang berbeda-beda dari shalat yang dijalankannya. Yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.

Kali ini, saya tercerahkan. Rasanya jadi tak ingin mengikatkan diri pada yang rutin, yang serba dihitung dan dijumlah. Apalagi ditambah pertanyaan dari seseorang yang dikutip dalam tulisan itu – sebenarnya shalat itu wajib nggak sih? Boleh nggak saya menjamak shalat sesuka hati saya, maksudnya tanpa ada alasan bepergian (safar) atau hujan (mathar)?

Wow, ringan sekali. Ternyata Islam itu sungguh meringankan!

***

“…. Lho, memangnya shalatmu kau jadikan beban?” kata suara dari dalam hati bagai mengejek.

“Oh, bukan itu maksudnya,” ruang hati saya yang lain menjawab tergagap, karena ternyata interpretasi saya yang terburu-buru itu justru menimbulkan perang batin. Ada benturan yang rasional dan yang tak rasional.

Yang tak rasional itu, cukup lama kehilangan suara, tapi ia terus bergema.

Kemudian, dalam peperangan itu, yang tak rasional kok malah lebih dominan. Saya mengingat tentang buku The Secret pemberian seorang teman. Ia menggambarkan bagaimana sebuah kedahsyatan terjadi hanya dengan kekuatan pikiran dan meyakininya. Kedahsyatan itu tak mengenal dimensi ruang dan waktu, dan saya menyebutnya wahyu. Setiap orang berhak mendapatakannya, tergantung kadar kepercayaan yang dimiliki. Dalam buku yang ditulis orang barat itu, kekuatan yang Maha Dahsyat bisa disebut angel, jin, dan apapun. Dan dalam Islam ia disebut Iman, iman kepada Allah, seperti kata guru mengaji saya dulu: Gusti Allah itu tergantung prasangka manusia.

The Secret dan Shalat Berjamaah

Tulisan Luthfi tentang makna shalat kemudian saya renungkan. Dan memang benar, bahwa ibadah itu tak perlu berhitung. Karena ilmu menghitung dan mengukur adalah ilmu yang biasa digunakan manusia, untuk berhubungan dengan manusia juga. Berkomunikasi dengan Tuhan hal itu harus ditanggalkan, agar konsentrasi kita tidak untuk menjumlah tapi ya berkomunikasi. Lagian, jangankan sama Tuhan, berkomunikasi dengan manusia pun, kita harus menunjukkan sikap yang santun dan sungguh-sungguh -- dengan hati, pikiran, tatapan, gestur (alias tidak sambil terima telpon, sms-an, membaca majalah,dll).

Tapi hitungan itu tentu bukan soal rakaat atau mengganti hitungan (dua, tiga, atau empat rakaat dalam shalat) menjadi sesuka masing-masing orang hingga keserasian rukuk dan sujud di sebuah masjid kehilangan harmonisasi dalam kebersamaan. Dan tidak mengubah waktu (subuh, dhuhur, asar, dan seterusnya) menjadi waktu yang membuat kita tak mengenal disiplin, lalu masuk dalam ranah individualis.

Jika shalat merupakan alat bantu merefleksikan kesadaran tentang keberadaan Tuhan, maka sebuah hitungan menjadi ukuran setidak-tidaknya, atau menjadi standar paling minimal. Dengan yang minimal itu, saya merasa belum mendapatkan efek kesadaran tentang keilahian dari shalat yang saya jalankan. Karena dengan yang minimal itupun, kadang saya merasa berat. Bagaimana kalau standar itu dihilangkan sama sekali alias tidak diwajibkan?

Orang tua, sangat paham bahwa anak-anak belum berkesadaran untuk belajar sendiri tanpa diperintah, diingatkan, dan merasa diawasi. Maka orang tua selalu mematok jam belajar untuk melatih disiplin itu. Bagi anak itu terasa sebuah siksaan dan memberatkan. Yang wajib memang selalu terasa berat, meski hasilnya untuk kita juga. Dan nyatanya, kita banyak melihat bahwa keberhasilan, keahlian, kepiawaian, semua berawal dari pelajaran-pelajaran yang baku, aturan-aturan, dan disilpin yang diwajibkan. Seperti pepatah, bahwa keahlian adalah sebuah pekerjaan yang dibiasakan. Ia bisa soal menyetir, menulis, berpidato, dll.

Dalam shalat memang tidak bisa disamakan sebagai kata kerja di atas. Saya setuju dengan tulisan Luthfi maupun Muhammad Iqbal itu -- shalat memang lebih menekankan dimensi spiritual hubungan manusia dengan Tuhannya; shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Dan yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.

Tapi, buat saya tetap perlu dibedakan tentang yang wajib, yang sunah, termasuk kenapa kita disarankan untuk berjamaah. Yang wajib membuat kita terbiasa meski ala dipaksa, seperti kedisiplinan menyetir, menulis, yang awalnya berangkat dari seperangkat teori, melihat kiri dan kanan, melihat sekitar, hingga semua teori itu tanggal karena ia sudah menyatu dengan diri kita, hati kita. Begitu juga, dalam menjalani dan menghayati perjalanan keilahian kita.

Kenapa ada shalat wajib dan kenapa ada aturan berjamaah?

Mungkin, supaya shalat kita tidak menjadikan kita sebagai makhluk individualis demi Tuhan kita. Ketuhanan selalu ada dan bersemayam bersama kita di saat kita mampu mengelola hubungan ukhuwah dengan sesama, membaur, tanpa membeda-bedakan status sosial, salah satunya lewat kebersamaan dalam shalat berjamaah itu. Dalam hidup, dalam pekerjaan, profesi, jabatan, kelas pergaulan, semuanya sudah menjadi sekat untuk tidak bisa saling menghargai. Berjamaah, menjadi pengingat untuk melatih kepekaan kemanusiaan kita. Kita mungkin tak bisa selalu bersama-sama di meja makan, di satu ruang yang berjarak, atau di meja transaksi bisnis yang bukan jadi dunia kita. Tapi pada waktu dan jam tertentu kita bisa melebur bersama di mushola-mushola atau masjid-masjid. Di sana tidak ada istilah siapa anak buah dan siapa atasan, siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Kita disadarkan untuk kembali menjadi manusia, yang di mata Allah adalah sama, kecuali amal perbuatan yang menjadi pembeda. Berkesadaran tentang Tuhan, harus dimulai dari berkesadaran tentang hal itu.

Saya kira itulah kenapa orang Islam wajib menjalankan Isya, Subuh, Lohor (dhuhur), Ashar, Maghrib: I-S-L-A-M. Jika di dalam buku The The Secret yang banyak digandrungi khalayak itu mengisyaratkan, bahwa satu keyakinan yang diimani oleh seseorang mampu menggerakan hukum semesta bekerja untuk mewujudkannya, sekarang bayangkan, bagaimana dengan satu keyakinan, satu keimanan, satu kesamaan doa, dan satu pengharapan yang dipanjatkan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia di saat yang sama di seluruh dunia?

Saya semakin mengagumi bahwa yang disebut wajib adalah bukan untuk-Nya, tapi untuk-nya – hambanya. Yaitu kita.

Seperti kata-kata bijak Mahatma Ghandi, sendirian, tak akan bisa menemukan Tuhan. Dan seperti penggambaran guru mengaji saya, shalat punya nilai satu, sedangkan ibadah yang lain nilainya nol. Untuk menjadi bernilai dan bermakna, kita harus menggabungkan keduanya.

Jakarta, 22 Agustus 2011

1 komentar:

Anonim mengatakan...

iiiiih sereeeeeeeeeeem....