Selasa, 13 September 2011

Kebinatangan

oleh fiqoh

Manusia disebut makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Ah, masak?

Karena binatang lebih sering kita maknai sebagai makhluk yang dalam hidupnya hanya berorientasi pada keserakahan berburu makan, makhluk yang tak menggunakan akal budi, tak punya perasaan dan hanya dihinggapi syahwat.

Binatang tidak mengenal apa yang sering kita sebut kemanusiaan atau humanisme. Sedangkan manusia sangat lekat dengan istilah-istilah itu. Banyak dari kita rindu dijuluki sebagai orang yang humanis dan pemerhati kemanusiaan. Karena itu, untuk perilaku keji yang kita lakukan, kita enggan menggunakan istilah manusia.

Bahkan untuk kelalaian dan kesengajaan yang merugikan hidup khalayak, kita masih menyebutnya manusiawi untuk mewajarkan. Dan untuk kemuliaan perbuatan, kita akan memberi julukan humanis.

Apa bedanya humanis dan kemanusiaan?

Adalah manusiawi bila kita lalai dan berbuat keliru, meski kekeliruan itu terkadang sebuah kesalahan besar dan fatal. Adalah manusiawi jika kita berhak atas kebendaaan, berhak hidup mewah, meski untuk itu kita melakukan perburuan melampauai batas-batas norma. Perburuan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya mengambil yang nampak dari alam, tapi juga menggali hingga ke dalam, menebang, mengeruk, mengeksplorasi dan mengekploitasi bumi. Perburuan manusia bahkan tidak sebatas untuk makan keluarga kecilnya hari itu, tapi juga mendepositkannya di bank-bank, dan menumpuknya di gudang-gudang untuk bekal tujuh turunan kadang lebih. Sedangkan binatang tidak.

Lebih dari itu, manusia juga berburu harta dan tahta. Manusia mengenal intrik, kepentingan komplotan dan berkonspirasi. Sedangkan binatang tidak.

Bagaimana nafsu syahwatnya?

Binatang bersenggama hanya pada periode tertentu untuk melakukan pembuahan. Contohnya ikan-ikan, kucing, gajah, kambing, burung, dan lainnya. Persenggamaan untuk beregenerasi, tidak untuk membuang-buang sperma di sembarang tempat. Maka tak asing lagi kita mengenal istilah musim kawin bagi binatang di sekitar kita – saat purnama penuh musimnya kucing kawin misalnya. Tapi manusia, kawin tak mengenal musim.

Gerombolan burung-burung camar menarik perhatian temanku minggu-minggu belakangan ini. Lebih dari 50 sarang mereka bergerandulan di pelapah-pelapah pohon palem yang menaungi kran air yang biasa kami ambil untuk keperluan memasak.

Tiap pagi saat aku dan temanku mengambil air, burung-burung itu sudah bercericit, terbang jauh dan kembali ke sarang membawa makanan. Mereka bangun lebih awal dariku, sekitar pukul 5:30.

Pohon palem yang menjulang di pelataran masjid di perumahan Taman Adiyasa Tangerang itu hampir didominasi oleh sarang mereka. Sekilas segalanya nampak biasa.

***
Dua minggu sudah kulalui sebagai warga baru di dalam masyarakat itu. Dua minggu tanpa absen mengantri air bersama para ibu-ibu dan bapak-bapak, juga pemuda-pemuda tanggung. Mareka datang dari berbagai blok perumahan itu. Dua minggu baru kusadari kertas-kertas yang menempel di berbagai tempat, berisi pengumuman dan himbauan, bahwa bagi warga yang ingin mengambil air untuk kepentingan pribadi agar mengambil sebelum dan sesudah jam-jam sholat -- subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya. Maksudnya agar kepentingan masyarakat yang ingin beribadah tetap terpenuhi. Dua minggu itu juga aku menyaksikan ada warga yang tak mengindahkan himbauan itu, termasuk diriku.

Di pagi yang masih petang, aku dan temanku Nur menjadi pengambil air yang datang paling awal. Selanjutnya dua bapak dan tiga anak menyusul ditambah ibu-ibu. Sambil mengantri Nur memandang sarang-sarang burung camar yang menjuntai-juntai di setiap pelapah pohon. Aku menghitungnya, satu pelapah ada 12 sarang. Dan pelapah lainnya dihuni rata-rata tiga sampai sembilan sarang..

“Kenapa burung-burung itu lebih suka membuat sarang di pelapah yang itu?” tanyakau pada Nur.

Nur memperhatikan sarang-sarang itu beberapa saat.

“Sepertinya, mereka lebih merasa nyaman dan aman di pelapah itu,” jawabnya tanpa melepaskan pandangannya ke atas.

“Alasannya?”

“Coba perhatikan. Pelapah itu tepat di atas pintu masjid. Otomatis, orang tidak akan mengusik karena di pintu utama ini orang sering lalu-lalang. Mungkin pikir burung, orang-orang juga akan menegur si pengusik sarang dengan berbagai alasan -- karena akan bikin kotor halaman dan mungkin yang lain akan melarang karena empati terhadap binatang-bintang itu.”

Kini aku lebih cermat mengamati pelapah yang menghadap ke luar pagar di atas jalanan lepas. Di sana hanya ada tiga sarang menempati puncak paling atas dan tertutup daun yang menekuk. Kuamati sarang-sarang lain, di pelapah yang lain, dan kecenderungannya hampir sama. Benar-benar perhitungan yang cantik dan cerdik. Sebuah naluri yang hidup dan peka.

Pada saat itu, tiba-tiba aku teringat berbagai kasus kecelakaan di jalan raya yang sering kusaksikan sendiri. Di suatu malam, seorang bapak dengan istri dan dua anaknya tergeletak mandi darah di dekat pembatas jalan di Tangerang. Di tempat terpisah seorang bapak dengan istri dan anaknya yang masih kecil meninggal di tempat dalam kecelakaan di perempatan lampu merah, karena motor yang dikemudikan oleh bapak-bapak itu tancap gas saat lampu rambu-rambu sedang menyelesaikan hitungan detik keenam puluh dari merah berganti hijau.

Kembali kulihat sarang burung camar. Kejelian binatang membidik pelapah yang aman untuk bersembunyi, saya yakini bukan sebuah kebetulan. Mereka menggunakan intuisi dan nalurinya. Naluri yang penuh perasaan, dan kasih. Peletakan sarang, rumput pilihan, pembuatan lobang pintu yang diatur sedemikian rupa, semua bertujuan agar keluarga kecilnya hidup nyaman dan aman. Tapi, kenapa manusia sering ceroboh saat membawa nyawa orang-orang yang katanya ia cintai?

Saat aku memikirkan itu, Nur bilang, manusia kalah dengan burung.

“Kenapa?” begitu tanyaku untuk iseng-iseng menyelidik.

“Burung-burung itu lebih tertib dan disiplin,” katanya sambil memandangku dengan tatapan mengejekku.

“Mereka pagi-pagi sudah bangun untuk mencari makan buat anak-anaknya. Mencari rumput-rumput pilihan untuk sarang. Tidak seperti...,” Nur tak melanjutkan kalimatnya dan lagi-lagi menatapku dengan penuh kemenangan saat aku merasa tersindir. Tawa kami pun berderai.

“Aku mengerti arah pembicaraanmu, kamu akan bilang tidak seperiku yang suka bangun kesiangan kan? Puasss…?” Jawabku berkelakar.

“Selain itu, banyak nilai-nilai pada binatang itu yang tak dimiliki kebanyakan manusia. Sebelum punya anak, burung-burung berpikir mempunyai rumah. Sedang manusia, sudah punya anak banyak tapi tak berpikir bikin rumah. Ada yang keenakan numpang di tempat mertua, dan bahkan malas bekerja.”

“Betul,” kataku.

“Manusia tidak konsisten terhadap kemanusiaannya. Betapa banyak dari kita yang terus melemparkan perilaku buruknya dengan menggunakan istilah “kebinatangan”? Tapi Binatang tetap konsisten akan kebinatangannya. Tidak ada binatang yang memakai istilah “kemanusiaan” untuk menghindar dari perilakunya bukan?”

“Betul juga.”

Berantem tetangga kost di Jakarta kembali terngiang. Suara gaduh karena percekcokan, benturan tubuh ke dinding disertai jeritan yang menyayat, gemerincing pecahan cermin dan piring yang dilempar, juga makian satu sama lain yang bersahutan-sahuatan.

Sang suami selingkuh dan lama tak pulang. Menelantarkan istri dan anak-anak. Si istri dan anaknya berhari-hari dirundung kesengsaraan, makan dari pemberian tetangga, kadang juga makan dari hasil menjual jasa mencuci dan menyetrika. Suaminya kasar dan suka memukul, menonjok, menendang. Sang istri yang depresi sering melampiaskan kemarahan pada anaknya.

Untuk semua perilaku keji yang tak terperi, perilaku yang melukai hati dan perasaan, penganiayaan itu, para tetangga menyebut sifat suaminya benar-benar seperti binatang!

Tadinya aku turut membenarkan ungkapan itu. Tapi burung-burung dan percakapanku dengan Nur membuatku harus berpikir ulang. Kenapa di saat manusia berbuat kesalahan mereka akan menyebut itu manusiawi. Dan jika manusia berbuat kebaikan kita akan menyematkan predikat humanis – sangat mulia, luhur, agung.

Apa sejatinya hakekat kemanusiaan dan kebinatangan? Ketika, manusia gagal menjadi humanis kita timpakan perilaku buruk itu pada binatang?

Beranikah kita menciptakan sebuah ungkapan yang berasal dari kata dasar manusia, untuk menggambarkan titik balik dari apa yang kita sebut mulia?

Semakin nampak betapa manusia memang licik. Meminjam istilah kebinatangan, agar manusia tetap bisa menyandang makhluk paling sempurna dan mulia dari makhluk lainnya. Padahal mulia dan sempurna adalah soal akhlak, bukan soal bentuk tubuh dan rupa kita dari binatang-binatang itu.

Jakarta, 13 September 2011 pkl 05:30

Tidak ada komentar: