Jalan Raya Bitung, Tangerang menjelang 00:00
Hampir tengah malam,sopir angkot hanya mengankut dua penumpang. Bertiga kami menyusuri jalan raya Cimone - Balaraja. Sopir nampak lelah fisik dan mencemaskan setoran. Aku melihatnya ia sering menghitung-hitung uang lembaran lusuh, menggelang, menerawang, dan menggumam.
Angkot tua rawan ngadat dan rem yang tak pakem.
Di depan, di bawah jembatan layang, sepeda motor melenggang di tengah jalan raya lintas cepat. Pengendaranya seorang bapak membawa anak kecil dan perempuan.
Motor hanya berjarak sekitar satu meter di depan angkot, di posisi tengah, di antara laju cepat kendaraan lain yang menyalip kagok dari kiri dan kanan. Supir angkot mengira motor akan menambah laju begitu mendengar klakson dan suara rem. Tapi berondongan klakson dari sopir angkot yang panik, injakan rem yang menimbulkan suara berdecit-decit, tak membuat motor itu menambah laju atau bergeser menepi.
Pengendara motor tetap bergeming – hanya menoleh, tetap di tengah, dan kembali melenggang santai dengan kaki lebih mengangkang.
Sopir angkot hanya diam. Tapi tenaga dikerahkan habis-habisan untuk mengerem dan menginjak kopling hingga mata cekungnya mendelik. Seluruh energi bagai tersedot dalam perjuangan menahan laju. Semua dilakukan dalam diam – mungkin sudah kehabisan energy untuk marah, atau memang dia bukan tipe gampang marah. Dan mulutku yang reflek mendamprat “nggak pake otak itu orang! Kalau mau jalan santai, di pinggir dong!!!”
Ahhh! Dalam kemangkelan, hatiku terus berbicara, bahkan berpidato di antara kesunyian tanpa pendengar.
Biinatang lebih peka terhadap suara atau bunyi-bunyian seperti dor, dug, atau gesrek dari langkah yang tertahan atau bayangan samar sosok yang mendendap-endap. Kenapa manusia malah tuli dan buta dari bunyi klakson yang memekakkan telinga dan bisa mencelakakannya???
Andai aku jadi istri yang nyemplak di boncengan itu, pasti nafsuku akan hilang di tempat tidur. Aku tak akan nyaman bercinta dengan lelaki yang telah bersifat sembrono dan arogan.Cinta itu bersyarat -- baik dibalas baik. lembut dibalas lembut, hormat dibalas hormat, dan tak setia disuruh ke LAUT.
Bukan artinya kita jadi tanpa prinsip, tapi ini bagian dari sangsi sosial antarmanusia dan bagaimana kecerdasan emosi berfungsi. Kita perlu punya sikap terhadap sesuatu, agar ajaran, hukum dan peraturan memang berjalan. Anggap saja kita berlatih mencicil proses "hari pembalasan" bahwa manusia tak bisa mengelak untuk menerima akibat atau imbalan sesuai amal perbuatan.
Banyak manusia celaka lebih karena ulahnya atau sering kita sebut human error. Tapi binatang tidak, kecuali dilukai oleh manusia. Karena binatang memiliki kejernihan untuk memelihara ketajaman instingnya, dengan menjaga karunia dan anugerah dari-Nya (berupa insting), tanpa menghalanginya dengan sifat keegoan atau sifat BE-LA-GU.
Intuisi, anugerah, wisik,feeling hingga ilham sejatinya bagai atmosfir yang berseliweran di sekeliling kita dalam udara yang kita hirup. Tapi semua bisa sirna karena kitalah yang menutupnya dengan berbagai kesombongan, keegoisan, KE-A-KU-AN.
Hingga anugerah itu sirna, bagai udara bersih yang dicemari polusi.
Tangerang, 19 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar