Handuk sudah kulilitkan ditubuh kuputar gagang pintu untuk keluar. Tapi…..eit!
Kutarik tahan gagang pintu kamar mandi itu. Dan meskipun mengintip itu perbuatan tidak baik, tapi aku melakukannya.
Dua perempuan yang besarnya hampir sama sedang berhadap-hadapan di ruang belakang, ruang yang akan aku lewati. Yang bertubuh agak kecil sedang khusuk melakukan “ritualnya” menjulurkan lidah, mendorongkan tubuh, menyapu bagian leher bawah, samping hingga lekuk di bawah dagu perempuan satunya.
Perempuan yang usianya jauh lebih tua itu memejamkan mata sambil tiduran. Tubuhnya condong ke belakang setengah terdorong oleh gerakan Si Enis -- panggilanku padanya.
Aku hampir tak bisa menahan diri karena gemas, dan gregetan! Betapa tidak, seumur hidupku baru aku menyaksikan hal seperti ini. Tapi kuatur nafasku agar tak mengusik kebersamaan mereka.
Adegan terus berlangsung. Si Enis lebih agresif mendorong-dorong perempuan yang nampak pasrah itu. Dengan lidahnya yang kecil, sapuannya beralih ke pipi kiri, kanan, hidung, dan pinggiran mulut – kosat…kasut…kosat…kasut.
“Idih, opo to iki…?” gumamku sendiri sambil nyengir sendiri pula.
Seiring itu perempuan tengah baya mendongak, menunduk, miring ke kiri dan kanan. Ia seperti menyesuaikan gerakan untuk memudahkan aktivitas Si Enis yang masih sangat belia dan belum berpengalaman.
Lagi-lagi, aku hampir tak bisa mendiamkan hal itu terus berlangsung. Apalagi kini keduanya malah saling memeluk, bergumul dan nampak semakin hangat. Dalam rangkulan tangan yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, jilatan Enis tak berhenti, dan berpindah ke telinga yang mirip contongan daun pisang(seperti kue pasung tradisional). kini ia tak hanya kosat-kasut, tapi juga mulai mengigit, dan memasukkan moncong kecilnya ke dalam contong. Jelas saja si pemilik kuping berbentuk contong tak kuasa menahan geli.
“Eh, kok begitu nak? Ibu kan geli..hihihi” kata perempuan yang lebih pantas jadi ibunya kira-kira.
“Kok geli. Kan itu pula yang sering Ibu lakukan ke aku. Aku berusaha menirukan Ibu,hiks…hiks.” Jawab Enis sambil merajuk (mungkin) karena aku hanya melihat wajah mereka yang embas-embis sambil saling melepas pelukan tanpa engerti kata-katanya.
“Tapi moncongmu itu bikin geli nak…heheheh….heheheh…heheheh”
“Ya udah, enggak gitu lagi deh. Beneran…!”, Jawab Enis bersikukuh -- masih menurut perkiaraanku Enis bilang begitu, sambil tetap tak melepas pelukan dan ngotot meneruskan ritual di sekitar kuping.
Tapi…adegan itu segera terhenti karena perempuan setengah baya langsung menarik kepalanya dan memukul-mukul (terlihat bohongan memukulnya) sambil bangkit. Ia berjalan meninggalkan ruang belakang seiring derit pintu kamar mandi yang aku buka.
Jejak-jejak mirip buah brenuk ukuran kecil nampak di lantai berkeramik putih. Si Enis kecil berlari-lari menyusul. Mereka saling mengejar sambil terus bercanda, melompati tembok pembatas kamar menuju bawah jemuran, sambil sesekali melipat dan menekuk ekornya.
Keduanya adalah (ibu dan anak), induk kucing dengan anak satu-satunya. Mereka tinggal di sekitar tempat kost dan sering bertamu ke kamarku. Karena aku sering memberinya makan malam bervareasi sedari kepala lele, tulang ayam, dll.
Mungkin karena anak satu-satunya itulah Si Enis jadi sangat manja, masih ngempeng meski ia sudah besar. Tapi, pagi ini dia menjadi anak yang berbakti. Memperhatikan dan memandikan ibunya.
5 Agustus 2011 (Hiburan pagi hari saat mata ngantuk kurang tidur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar