Kamis, 01 Juli 2010

Emisi di Balik Pepohonan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Di hari menjelang senja, gerimis mengguyur lembut hamparan rumput yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Dari ketinggian, terlihat seperti ular naga yang meliuk-liuk mengapit jalanan hitam beraspal. Kami duduk bertiga di teras Café Daun, sebuah bangunan yang menempati dataran tinggi di Kebun Raya Bogor itu.

“Perjalanan wisata yang buruk,” kata temanku. Ia sudah terlihat kesal ketika pertama menginjakkan kaki di tempat itu.

Di bawah sana, beberapa kendaraan sering melintas. Mobil-mobil sering mengganggu pemandangan dan memberi kebisingan. Tadinya dalam hatiku berharap, begitu memasuki Kebun Raya, mata bisa dimanjakan oleh hijaunya pepohonan, bisa berjalan santai sambil menghirup wanginya dedauan, atau mencium bau tanah kering yang mendadak basah oleh hujan.

Tetapi harapan itu hanya bertahan beberapa meter saja dari loket penjual karcis masuk. Deretan mobil sudah terparkir di sana. Dan emisi terus ditaburkan dari para pengunjung yang berkeliling menggunakan kendaraan. Selain menghirup kepulan asap hitam dari knalpot, pejalan kaki juga selalu dibuat was-was dan harus terus waspada setiap kali mobil-mobil itu melintas.

“Duh, ketemu emisi lagi,” kata temanku dengan raut tegang.

“Ndak tahu nih. Kok pada ndak punya etika sih. Kalau begini, sama saja seperti jalan raya. Benci aku,” temanku yang satu menimpali lagi. Mimik mukanya tampak keruh.

“Hm. Beginilah kalau pergi sama aktivis lingkungan,” kataku mencoba bercanda, mencairkan suasana. Meski hatiku kesal dan tak berselera.

“Bukan begitu. Masak mobil di mana-mana, kayak jalan raya jadinya. Tuh lihat!” katanya seraya menujuk deretan mobil parkir di sepanjang jalanan yang kami lalui. Mirip tempat parkir di DPR-RI.

“Gimana sih pengelolanya? Kok membolehkan mobil-mobil masuk? Emsisinya itu lho,”

Cemberut di muka kedua temanku semakin bertambah, ketika mobil-mobil sering menyalip dan datang dari arah depan.

Akhirnya kami hanya duduk-duduk di tepi kolam sambil memandang tumbuhan teratai. Daunnya yang mirip jamur raksasa itu sebagian terkoyak oleh ranting kering yang jatuh, sebagian tertaburi bunga-bunga yang luruh dari pepohonan.

Ada keheningan menyelusup jiwa dan mengendurkan syaraf-syaraf ketegangan. Tapi semakin siang, semakin sering juga bunyi klakson dan deru kendaraan yang lewat mengusik ketenangan, mengalahkan cicit burung yang terbang di ketinggian. Burung-burung itu, agaknya ketakutan bercengkrama di dahan-dahan yang rendah.

Kami berdiri dan berjalan memasuki hutan kecil di sekitar rerumpunan bambu. Di sepanjang jalan kecil yang membelah perkebunan itu, terkadang telinga masih menangkap bunyi kendaraan. Kedamaian yang alami telah pergi. Tak ada lagi kesenyapan alam, yang mampu memberi jeda pada pikiran, untuk sekedar diam, dan menikmatinya tanpa kata.

Kami memutuskan mendatangi sebuah kafe. Dan memesan beberapa makanan dan minuman hangat. Temanku memesan bandrek untuk bertiga. Hujan masih terus mengguyur kawasan itu. Hujan seperti menyembunyikan kami di balik tirai yang maha luas. Namun entah kenapa, ia menghadirkan perasaan yang lepas.

“Lihat, hujannya lembut. Indah. Aku selalu suka dengan hujan,” kata salah seorang temanku. Kami bertiga menikmati pemandangan itu dalam diam.

Kami berhenti menggerutu. Di bawah sana, orang-orang berlari mencari tempat teduh. Sebagian lagi terlihat sengaja membasahkan diri, melebur bersama anugerah Illahi. Hal itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Mandi hujan selalu ada kenikmatan tersendiri. Meski harus sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi.

Di antara orang-orang yang berlari ingin cepat menemukan tempat berteduh, sebuah sedan warna biru juga memacu kecepatannya. Entah bagaimana awalnya, sedan itu menerobos jalur hijau, melayang meninggalkan jalanan aspal.

“Brakk!”

Mobil masuk ke selokan. Orang-orang berteriak. Para pejalan kaki yang baru melewati tempat itu menoleh dan mengusap dada sambil menggelengkan kepala.

Kami juga menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu. Dan, bergumam: untung, orang-orang itu sudah lewat. Selisih beberapa menit, jiwa-jiwa bisa melayang sia-sia.

Jakarta 31 Januari 2009


Tidak ada komentar: