Minggu, 15 Juni 2014

Perbedaan Adalah Kita




Akhir-akhir ini, kita merasa riskan dengan perbedaan. Meski pilar dan semboyan bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. Di televisi dan ruang di berbagai sosial media dimana demokrasi berproses, kita melihat perbedaan adalah benturan.

Bisakah kita, para Tim Sukses dan pendukung masing-masing kubu untuk tak kehilangan tawa, sekedar melihat bagaimana pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang justru menjadi sangat lucu dengan keseriusannya?

Saya dan teman saya terkekeh-tekeh menyaksikan Jusuf Kala yang berbicara tak jelas menghilangkan huruf-huruf kalimatnya. Juga Hatta Rajasa yang saking seriusnya sehingga bermaksud sempurna malah menjadi cempurna.

Sebentar saja kita tanggalkan kenaifan diri kita sendiri, bahwa sebagus apapun visi dan misi, kita terlanjur dilukai oleh janji-janji yang tak pernah ditepati. Juga muaknya mendengar muluknya jargon, atau akting dari wajah-wajah yang terlatih menyatakan empati. Lalu apa pentingnya habis-habisan berkelahi?

Di ruang kehidupan dimana kita bersinggungan langsung antarwarga, saya mencoba menanyakan pandangan mereka. Dan tetangga saya bilang, “Saya tidak memilih Prabowo! Dia tak menutup salam dengan benar dan salamnya dicampur-campur. Dia juga tak punya istri, itu kepemimpinan yang cacat!”

”Ngapain saya memilih Jokowi. Dia itu manusia kemaruk. Masak, menjabat gubernur saja belum selesai kok sudah mencalonkan presiden. Saya tidak suka melihat manusia yang serakah,” kata seorang sopir taksi.

Dua orang itu terpisah jarak dan tak saling mengenal. Entah perdebatan itu akan sesengit apa andai mereka bertemu muka. Apakah sama dengan perilaku para tim sukses dan pendukung capres-cawapres yang sering kita saksikan televisi? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua orang punya penafsiran, semua memiliki bias.

Berikutnya saya mendapat sms dari seorang yang saya anggap senior,  ”Yuk, dukung nomor 1 dan pilih nomor 2...”,  dan kalimat ditutup simbol penanda senyum.

”Bagaimana kalau saya mendukung nomor 2, dan memilih nomor 1?” kemudian saya tambahkan: ha ha ha.

Detik selanjutnya, sms kami tanpa kata, kecuali simbol-simbol penanda tawa.

Saya atau dia, tidak mengemukakan argumen kenapa memilih ini dan kenapa memilih itu. Barangkali dia sedang capek atau jenuh untuk berceramah, dan saya sedang tak ingin menanyakan apa-apa. Mungkin juga, kami sadar bahwa penjelasan atau dasar-dasar yang diargumenkan tak akan merepresentasikan dari figur pilihan kita. Visi dan misi lebih sering tak terbukti, juga kesadaran bahwa kita tidak bisa mereduksi pribadi lain, apalagi kelompok besar yang sedang lebur dalam koalisi.

Kita boleh melihat gaya menyukseskan yang berapi-api, dengan tetap menjaga skeptis dan belajar realistis.

Cawapres pasangan Jokowi (Jusuf Kalla) yang berwajah dua. Di sisi lain mengkritik keras Jokowi dan kini menyanjung, sungguh mengganjal rasionalitas yang lahir dari perasaan normal.

Saya merasa tak menemukan unsur keteladanan pada sosok JK yang mencla-mencle. Yang tak kalah unik adalah menyaksikan Para Tim Sukses dari partai-partai koalisi pendukung kedua kubu baik Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mereka bagai sedang berjualan dan berebut wilayah, sibuk memoles, sibuk saling menjatuhkan.

Dasar-dasar argumentasi semakin liar. Berawal dari soal visi dan misi yang tak tuntas, bergeser pada koalisi gemuk dan kurus, kini meruncing pada sikap, gestur tubuh, hingga intonasi. Yang unggul dalam pidato dicurigai hanya bisa pidato tak bisa bekerja, yang sudah terbukti kinerjanya masih kurang sempurna karena kurang cakap berpidato. Isu kian meruncing dan sempit dalam kemasan tema program televisi berjudul ”Presiden Orator dan Eksekutor”.

Ah, seberapa penting semua perdebatan dan ”perkelahian”, andai kesempurnaan membuat pihak lain cacat? Seberapa penting sebuah kemenangan yang diraih dengan cara saling menjatuhkan? Dalam koalisi, nilai-nilai perbedaan lebur dalam sekejap dan mereka segera lupa. Tapi yang terjadi dalam kehidupan para pendukung, fanatisme bisa melahirkan sifat primordialisme yang melahirkan sikap kontra produktif dalam konteks kedaulatan menuju perubahan.

Siapapun yang akan menang dari kedua kubu, mereka bukanlah tukang sulap mengubah bangsa ini. Bukankah sejatinya kedaulatan dan perubahan harusnya lahir dari tangan rakyat? Jika berbeda adalah oposisi, ia diperlukan agar tetap ada kekritisan bagi kekuasaan, dan itu biasa, andai kita menyadari bahwa perbedaan adalah kita.

Dan yang lebih penting dari perbedaan, bahwa kita masih bisa tertawa bersama.


 Cikuya, 11 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]

Tidak ada komentar: