Akhir-akhir ini, kita merasa riskan dengan perbedaan.
Meski pilar dan semboyan bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. Di televisi dan
ruang di berbagai sosial media dimana demokrasi berproses, kita melihat
perbedaan adalah benturan.
Bisakah kita, para Tim Sukses dan pendukung masing-masing
kubu untuk tak kehilangan tawa, sekedar melihat bagaimana pasangan
Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang justru menjadi sangat lucu dengan
keseriusannya?
Saya dan teman saya terkekeh-tekeh menyaksikan Jusuf Kala
yang berbicara tak jelas menghilangkan huruf-huruf kalimatnya. Juga Hatta
Rajasa yang saking seriusnya sehingga bermaksud sempurna malah menjadi cempurna.
Sebentar saja kita tanggalkan kenaifan diri kita sendiri,
bahwa sebagus apapun visi dan misi, kita terlanjur dilukai oleh janji-janji
yang tak pernah ditepati. Juga muaknya mendengar muluknya jargon, atau akting
dari wajah-wajah yang terlatih menyatakan empati. Lalu apa pentingnya
habis-habisan berkelahi?
Di ruang kehidupan dimana kita bersinggungan langsung
antarwarga, saya mencoba menanyakan pandangan mereka. Dan tetangga saya bilang,
“Saya tidak memilih Prabowo! Dia tak menutup salam dengan benar dan salamnya
dicampur-campur. Dia juga tak punya istri, itu kepemimpinan yang cacat!”
”Ngapain saya memilih Jokowi. Dia itu manusia kemaruk.
Masak, menjabat gubernur saja belum selesai kok sudah mencalonkan presiden.
Saya tidak suka melihat manusia yang serakah,” kata seorang sopir taksi.
Dua orang itu terpisah jarak dan tak saling mengenal.
Entah perdebatan itu akan sesengit apa andai mereka bertemu muka. Apakah sama
dengan perilaku para tim sukses dan pendukung capres-cawapres yang sering kita
saksikan televisi? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua orang punya penafsiran,
semua memiliki bias.
Berikutnya saya mendapat sms dari seorang yang saya
anggap senior, ”Yuk, dukung nomor 1 dan
pilih nomor 2...”, dan kalimat ditutup
simbol penanda senyum.
”Bagaimana kalau saya mendukung nomor 2, dan memilih
nomor 1?” kemudian saya tambahkan: ha ha ha.
Detik selanjutnya, sms kami tanpa kata, kecuali
simbol-simbol penanda tawa.
Saya atau dia, tidak mengemukakan argumen kenapa memilih
ini dan kenapa memilih itu. Barangkali dia sedang capek atau jenuh untuk
berceramah, dan saya sedang tak ingin menanyakan apa-apa. Mungkin juga, kami
sadar bahwa penjelasan atau dasar-dasar yang diargumenkan tak akan
merepresentasikan dari figur pilihan kita. Visi dan misi lebih sering tak
terbukti, juga kesadaran bahwa kita tidak bisa mereduksi pribadi lain, apalagi
kelompok besar yang sedang lebur dalam koalisi.
Kita boleh melihat gaya menyukseskan yang berapi-api,
dengan tetap menjaga skeptis dan belajar realistis.
Cawapres pasangan Jokowi (Jusuf Kalla) yang berwajah dua.
Di sisi lain mengkritik keras Jokowi dan kini menyanjung, sungguh mengganjal
rasionalitas yang lahir dari perasaan normal.
Saya merasa tak menemukan unsur keteladanan pada sosok JK
yang mencla-mencle. Yang tak kalah
unik adalah menyaksikan Para Tim Sukses dari partai-partai koalisi pendukung
kedua kubu baik Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mereka bagai sedang berjualan
dan berebut wilayah, sibuk memoles, sibuk saling menjatuhkan.
Dasar-dasar argumentasi semakin liar. Berawal dari soal
visi dan misi yang tak tuntas, bergeser pada koalisi gemuk dan kurus, kini
meruncing pada sikap, gestur tubuh, hingga intonasi. Yang unggul dalam pidato
dicurigai hanya bisa pidato tak bisa bekerja, yang sudah terbukti kinerjanya
masih kurang sempurna karena kurang cakap berpidato. Isu kian meruncing dan sempit
dalam kemasan tema program televisi berjudul ”Presiden Orator dan Eksekutor”.
Ah, seberapa penting semua perdebatan dan ”perkelahian”,
andai kesempurnaan membuat pihak lain cacat? Seberapa penting sebuah kemenangan
yang diraih dengan cara saling menjatuhkan? Dalam koalisi, nilai-nilai
perbedaan lebur dalam sekejap dan mereka segera lupa. Tapi yang terjadi dalam
kehidupan para pendukung, fanatisme bisa melahirkan sifat primordialisme yang melahirkan
sikap kontra produktif dalam konteks kedaulatan menuju perubahan.
Siapapun yang akan menang dari kedua kubu, mereka
bukanlah tukang sulap mengubah bangsa ini. Bukankah sejatinya kedaulatan dan
perubahan harusnya lahir dari tangan rakyat? Jika berbeda adalah oposisi, ia
diperlukan agar tetap ada kekritisan bagi kekuasaan, dan itu biasa, andai kita
menyadari bahwa perbedaan adalah kita.
Dan yang lebih penting dari perbedaan, bahwa kita masih
bisa tertawa bersama.
Cikuya, 11 Juni 2014 [diposting di
KabarJakarta.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar