Oleh Fiqoh
Berbuat kriminal. Siapapun, bisa menjadi pelaku. Namun jeratan pasal-pasal pidana, tidak berlaku pada siapapun, melainkan pada “siapa dia”.
Biasanya, dalam relasi yang tak seimbang, pihak yang kuatlah yang lebih berpotensi melakukan tindak kekerasan itu. Dalam hubungan buruh dan majikan, buruh selalu menjadi pihak yang terus dieksploitasi, diintimidasi, dan dirampas hak-haknya. Dan ironisnya, para pengusaha yang melakukan pelanggaran, justru bebas melenggang di jalur hukum. Di Disnaker mereka lolos, di pengadilan mereka pun menang. Uang, telah menjadi sutradara, ke mana kebenaran dan kesalahan diarahkan.
Hal ini mengingatkan saya pada pada kejadian tujuh tahun silam. Saat itu, delapan terdakwa diintrograsi secara terpisah di ruang pemeriksaan Polres Tangerang. Wajah-wajah sayu, muka-muka pucat dan tubuh yang lunglai berhamburan dari ruang introgasi di tengah malam yang dingin. Semuanya perempuan. Dalam introgasi yang dimulai sejak pukul 11 siang itu, berkali-kali kami dipaksa mengakui perbuatan yang tidak kami lakukan; merusak gerbang pabrik, merobohkan papan nama dan menggulingkan loker-loker besi tempat menaruh alas kaki.
Saya dan delapan teman yang ditangkap hari itu adalah buruh PT Koinus Jaya Garment, dan berstatus sebagai pengurus serikat buruh bernama SPTP. Sebagai pengurus, kami berkewajiban memperjuangkan hak-hak buruh yang dilanggar oleh pengusaha.
Saat kami akan dilepaskan, komandan yang memimpin penangkapan kami menekankan kalimat yang intinya, agar kami jangan sampai mengulangi perbuatan kami lagi. Kalau kami mengulangi perbuatan itu lagi, akan ditangkap lagi. Ancaman telah diberlakukan untuk hal yang tidak jelas: mengulangi apa? Perbuatan yang mana?
Bagaimana mungkin kami tak akan mengulangi perbuatan kami, jika ketidakadilan terus terjadi; upah yang dihutang, iuran Jamsostek digelapkan, dan tindak kekerasan selalu dilakukan oleh pengusaha. Apakah harus didiamkan?
Sejak perusahaan itu berdiri. Pelanggaran terus terjadi, meskipun kami sudah melaporkan ke semua instansi yang terkait; Disnaker, DPRD, Walikota dan Polisi.
Namun pelanggaran yang lebih arogan justru terjadi setelahnya. Pengurus serikat buruh dipecat, anggotanya diusir keluar pintu gerbang. Kebuntuan, ketersudutan, membuat tangan-tangan yang sesungguhnya lemah itu pada akhirnya mendorong kokohnya pintu gerbang. Keesokan harinya kami ditangkap. Meski bukan kami yang melakukan.
Asisah yang lemah hanya mampu meronta-ronta sebantar dan langsung masuk ke dalam mobol setelah salah satu aparat menekuk kepalanya. Siti yang bertubuh mungil dan lemas hanya melwan sebentar dan segera tak berdaya. Lusi yang sempat shock dengan penyeregapan tiba-tiba tanpa surat penangkapan sempat melakukan penolakan. Dan dan penokan yang ia lakukan justru membuat para aparat samakin beringas. Ia ditenteng dan dilemparkan ke mobil. Kancing-kancing bajunyaa copot hingga kutangnya terlihat. Jeritan histeris terdengar di antara bunyi tembakan pasukan PHH yang diterjunkan saat itu.
Mungkin ini hanya babak kecil dari keseluruhan peran yang terus dimainkan oleh para aparat yang berslogan mengayomi rakyat itu. Kita masih bisa membaca catatan panjang yang merwarnai lembaran perjanalan para aktivis di tanah air. Sedari Indah Dita Sari hingga Mohtar Pakpahan, sedari Sunarti hingga Hamdani, Ngadinah, Imas, juga Marsinah yang mati dibunuh.
Saya dan teman-teman pergerakan sering dibuat miris karenanya. Perjuangan yang kami tempuh, laksana menyimpan ranjau. Hubungan antara pemilik modal dan buruh memang tak sebanding. Jangankan hanya dengan buruh. Pemerintah pun, juga dikuasai oleh pemilik modal yang menjanjikan keuntungan. Penindasan dilakukan secara sistematis melalui kebijakan, termasuk melibatkan peran aparat dalam permasalahan perburuhan.
Gulungan benang di tas Imas, Sendal bolong untuk Hamdani, pemenjaraan terhadap Ngadinah, hanyalah titik kecil yang mudah dikais dari pasal keranjang sampah KUHP negeri ini, untuk membelokkan perjuangan aktivis ke penjara. Itulah kriminalisasi perburuhan.
Jakarta, 20 Mei 2009
Jakarta, 20 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar