Plang bertuliskan “Taman Renganis” menyembul di antara dedaunan, berhimpit dengan pohon palem berukuran besar di ujung gapura. Sebuah jalan selebar setengah meter berlapis bebatuan membentang di depan mata, dengan hamparan rumput hias di kiri kanannya.
Harum cemara tercium semerbak. Kadang terasa pekat, kadang samar-samar terbawa hembusan angin. Tak jauh dari situ, seorang lelaki dalam pakaian abu-abu, berdiri dalam posisi siap melakukan penyambutan. Sambil terus tersenyum, ia menyalami tamu-tamunya. Ia adalah Putu Oka Sukanta, salah satu pembicara tamu dalam “Kursus Narasi” yang diadakan oleh Pantau di Cipaku, Bogor.
Penampilan Putu yang sudah berusia 69 tahun itu masih tampak muda dan enerjik. Ia mempersilahkan kami duduk di deretan bangku yang menghadap ke taman. Tepatnya bukan taman melainkan kebun tanaman obat. Sekitar 400 jenis tanaman obat miliknya tumbuh di sana.
Di depan kami, tiga jenis minuman disajikan dingin dan hangat. Ada kombucha, wedang secang dan bunga rosela. Sambil menikmati minuman, mataku memandang sekeliling.
Pada bangunan yang lain, terdapat ruang macam toko obat bertuliskan “Rumah Jamu”, menyediakan obat-obatan herbal. Di bawahnya, sebuah tulisan warna putih kekuningan berbunyi, “Dalam setahun, 20.000 orang meninggal karena rokok”.
Hatiku bergetar, terbersit niat berhenti merokok. Kutuang jenis minuman yang lain. Kombucha yang dihidangkan dalam keadaan dingin itu, sungguh menyegarkan dengan paduan asam manisnya yang khas. Keterangan khasiat dari minuman itu, tertulis pada lipatan karton yang di antaranya berbunyi: membuang racun, menurunkan kolesterol, dan menguatkan stamina.
Hampir tengah hari. Ini tak kusadari, kalau bukan karena melihat jam. Sesi yang kami jadwalkan pada pukul 10:00 molor karena menunggu para peserta yang belum datang. Mungkin pada nyasar, seperti perjalananku tadi. Siang itu suasananya masih teduh.
Setelah semuanya berkumpul, kami bersantap. Ternyata, bukan hanya mata yang dimanjakan oleh pemandangan bernuansa alam. Hidangan yang disuguhkan hari itu hampir semuanya berjenis tumbuh-tumbuhan. Ada tumis daun mengkudu, sup bunga teratai, urap daun kemangi, pohon konje, rebusan kecipir, pare, bayam dan ketimun. Hanya ayam dan teri yang menandai bahwa hidangan hari itu tidak murni vegetarian.
Setelah mengambil hidangan kesuakaan masing-masing, para peserta mencari tempat masing-masing pula. Ruangan luas yang dihampari karpet hijau yang sedianya digunakan tempat bersantap, hanya dilintasi saja oleh sebagian peseta. Mereka lebih memilih ke kebun belakang.
Seusai santap siang, sesi pun dimulai. Budi Setiyono, salah satu pengampu kursus narasi ini membuka acara. Secara singkat ia menjelaskan siapa Putu. Putu seorang penulis esai, puisi, novel, juga bergabung dalam kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disebut Lekra. Kegiatan yang pernah membuatnya dikirim ke penjara Salemba dan Tangerang tanpa diadili. Saat ini, selain menulis, ia juga membuat film-film dokumenter. Proses kreatif itulah yang oleh Buset, panggilan Budi Setiyono diminta diceritakan Putu.
“Itu sumber tulisan yang tak habis-habisnya. Kalau anda punya waktu sedikit saja, untuk melihat secara berjarak dengan peristiwa 1965 dan kelanjutannya, itu sumber inspirasi yang tak pernah kering. Hampir semua tulisan puisi dan novel-novel saya bersumber dari situ,” kata Putu.
Di hadapan peserta yang duduk melingkar, Putu mempersilahkan para peserta untuk bertanya. Aku yang sudah mulai ngantuk, sesekali mencuri pandang ke gambar telanjang seorang pria. Di sana ada bagian-bagian organ tubuh yang dilingkari tanda merah sebagai titik cakra dalam istilah ilmu prana, sebuah metode pengobatan dengan menggunakan energi dari alam.
Salah seorang peserta bertanya soal teori menulis. Tapi rupanya, Putu termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan teori. Ia mengatakan bahwa ia menulis, karena berangkat dari ketidaktahuan, yang ingin ia cari jawabnya. Ketidaktahuan atas berbagai ketidak adilan, penistaan dan diskriminasi terhadap sesama, yang menyentak jiwanya dan menggugah kesadarannya untuk memberantas musuh besar yang menyebakan semua itu. Untuk itu ia menulis.
Putu mengisahkan sistem depolitisasi di era pemerintahan Soeharto, dimana orang dilarang berpikir secara politis, tidak boleh mengkaitkan adanya pelanggaran HAM dengan perjuangan, atau kelaparan dianalisa sebagai kegagalan pemerintah, dan sebagainya. Hal itu, mengakibatkan generasi kita tidak mampu beradaptasi dalam hubungan sosial dan cenderung individualis.
Padahal menurut Putu, kalau ingin menjadi penulis, kita perlu membuka mata dan nurani kita terhadap berbagai ketidakadilan yang ada di sekeliling kita dan berempati terhadap sesama. Atau setidaknya, kita merasa sama-sama menjadi korban atas sesuatu yang salah dan perlu diluruskan.
Metode kerja “Tiga sama” yaitu makan sama, kerja sama, tidur sama sering dilakukan oleh Putu dan teman-temannya di Lekra. Setidaknya, kita bisa memahami dan merasa menjadi satu dengan nasib obyek kita.
“Jika kita sudah merasa bahwa semuanya baik-baik saja, jika kita menganggap hidup sudah selesai dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan, artinya tidak ada yang perlu ditulis, kecuali kenyamanan itu sendiri,” tandas Putu.
“Pada titik apa, kita memutuskan ini mau jadi novel atau jadi non fiksi?” tanya Buset.
“Saya menulis non fiksi kalau membuat report project. Saya berpendapat bahwa realita adalah ibu kandungnya kesenian. Jadi seni tidak bisa dipisahkan dari realita. Pekerjaan seniman mengolah realita itu menjadi sesautu yang disebut art. Aritnya, ada bentuk-bentuk metafora, ada bentuk-bentuk si penulis, dan bentuk-bentuk yang lain supaya dibacanya enak, menyentuh hatinya, tidak menyentuh otaknya pertama kali, dan bisa membantu proses yang ada di dalam jiwa pembaca,” jawab Putu.
“Apa bisa realita dibuat tulisan fiksi, macam novel?” tanya Taufan.
“Kapan sebuah realitas bisa ditulis secara fiksi dan non fiksi, itu tergantung anda mau menyampaikannya dengan cara apa, sebab ibu kandungnya sama, yaitu realitas. Ada realita yang disebut substansial, hakikat yang ada di belakang fenomena. Dan sebagai penulis, kita harus mampu menembus tembok fenomena itu untuk menyentuh sampai pada substansi. Tanpa itu, kita hanya mempermainkan kata,” tegasnya.
Putu mengatakan bahwa untuk seniman-seniman Lekra mengajarkan “Dua tinggi” dalam menulis. Tinggi ideologi dan tinggi artistik.
Realita bisa dijadikan seting menulis fiksi. Banyak fakta yang sering tak terungkap karena penulis mempertimbangkan berbagai resiko. Dalam tulisan fiksi, penulis bebas bereksplorasi untuk menyuguhkan keindahan tanpa kehilangan hakikat.
“Untuk bisa menulis, ya menulislah supaya mempunya tujuan. Karena menulis itu proses yang berkesinambungan,” ucap Putu di akhir pertemuan sore itu.
Dan untuk bisa berkesinambungan, kita perlu ada dalam proses itu. Proses pencarian, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita.
“Roh, kekuatan saya menulis, karena ketidaktahuan, yang ingin saya cari tahu jawabnya,” tandasnya.
Jakarta, 9 Agustus 2008
Penampilan Putu yang sudah berusia 69 tahun itu masih tampak muda dan enerjik. Ia mempersilahkan kami duduk di deretan bangku yang menghadap ke taman. Tepatnya bukan taman melainkan kebun tanaman obat. Sekitar 400 jenis tanaman obat miliknya tumbuh di sana.
Di depan kami, tiga jenis minuman disajikan dingin dan hangat. Ada kombucha, wedang secang dan bunga rosela. Sambil menikmati minuman, mataku memandang sekeliling.
Pada bangunan yang lain, terdapat ruang macam toko obat bertuliskan “Rumah Jamu”, menyediakan obat-obatan herbal. Di bawahnya, sebuah tulisan warna putih kekuningan berbunyi, “Dalam setahun, 20.000 orang meninggal karena rokok”.
Hatiku bergetar, terbersit niat berhenti merokok. Kutuang jenis minuman yang lain. Kombucha yang dihidangkan dalam keadaan dingin itu, sungguh menyegarkan dengan paduan asam manisnya yang khas. Keterangan khasiat dari minuman itu, tertulis pada lipatan karton yang di antaranya berbunyi: membuang racun, menurunkan kolesterol, dan menguatkan stamina.
Hampir tengah hari. Ini tak kusadari, kalau bukan karena melihat jam. Sesi yang kami jadwalkan pada pukul 10:00 molor karena menunggu para peserta yang belum datang. Mungkin pada nyasar, seperti perjalananku tadi. Siang itu suasananya masih teduh.
Setelah semuanya berkumpul, kami bersantap. Ternyata, bukan hanya mata yang dimanjakan oleh pemandangan bernuansa alam. Hidangan yang disuguhkan hari itu hampir semuanya berjenis tumbuh-tumbuhan. Ada tumis daun mengkudu, sup bunga teratai, urap daun kemangi, pohon konje, rebusan kecipir, pare, bayam dan ketimun. Hanya ayam dan teri yang menandai bahwa hidangan hari itu tidak murni vegetarian.
Setelah mengambil hidangan kesuakaan masing-masing, para peserta mencari tempat masing-masing pula. Ruangan luas yang dihampari karpet hijau yang sedianya digunakan tempat bersantap, hanya dilintasi saja oleh sebagian peseta. Mereka lebih memilih ke kebun belakang.
Seusai santap siang, sesi pun dimulai. Budi Setiyono, salah satu pengampu kursus narasi ini membuka acara. Secara singkat ia menjelaskan siapa Putu. Putu seorang penulis esai, puisi, novel, juga bergabung dalam kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disebut Lekra. Kegiatan yang pernah membuatnya dikirim ke penjara Salemba dan Tangerang tanpa diadili. Saat ini, selain menulis, ia juga membuat film-film dokumenter. Proses kreatif itulah yang oleh Buset, panggilan Budi Setiyono diminta diceritakan Putu.
“Itu sumber tulisan yang tak habis-habisnya. Kalau anda punya waktu sedikit saja, untuk melihat secara berjarak dengan peristiwa 1965 dan kelanjutannya, itu sumber inspirasi yang tak pernah kering. Hampir semua tulisan puisi dan novel-novel saya bersumber dari situ,” kata Putu.
Di hadapan peserta yang duduk melingkar, Putu mempersilahkan para peserta untuk bertanya. Aku yang sudah mulai ngantuk, sesekali mencuri pandang ke gambar telanjang seorang pria. Di sana ada bagian-bagian organ tubuh yang dilingkari tanda merah sebagai titik cakra dalam istilah ilmu prana, sebuah metode pengobatan dengan menggunakan energi dari alam.
Salah seorang peserta bertanya soal teori menulis. Tapi rupanya, Putu termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan teori. Ia mengatakan bahwa ia menulis, karena berangkat dari ketidaktahuan, yang ingin ia cari jawabnya. Ketidaktahuan atas berbagai ketidak adilan, penistaan dan diskriminasi terhadap sesama, yang menyentak jiwanya dan menggugah kesadarannya untuk memberantas musuh besar yang menyebakan semua itu. Untuk itu ia menulis.
Putu mengisahkan sistem depolitisasi di era pemerintahan Soeharto, dimana orang dilarang berpikir secara politis, tidak boleh mengkaitkan adanya pelanggaran HAM dengan perjuangan, atau kelaparan dianalisa sebagai kegagalan pemerintah, dan sebagainya. Hal itu, mengakibatkan generasi kita tidak mampu beradaptasi dalam hubungan sosial dan cenderung individualis.
Padahal menurut Putu, kalau ingin menjadi penulis, kita perlu membuka mata dan nurani kita terhadap berbagai ketidakadilan yang ada di sekeliling kita dan berempati terhadap sesama. Atau setidaknya, kita merasa sama-sama menjadi korban atas sesuatu yang salah dan perlu diluruskan.
Metode kerja “Tiga sama” yaitu makan sama, kerja sama, tidur sama sering dilakukan oleh Putu dan teman-temannya di Lekra. Setidaknya, kita bisa memahami dan merasa menjadi satu dengan nasib obyek kita.
“Jika kita sudah merasa bahwa semuanya baik-baik saja, jika kita menganggap hidup sudah selesai dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan, artinya tidak ada yang perlu ditulis, kecuali kenyamanan itu sendiri,” tandas Putu.
“Pada titik apa, kita memutuskan ini mau jadi novel atau jadi non fiksi?” tanya Buset.
“Saya menulis non fiksi kalau membuat report project. Saya berpendapat bahwa realita adalah ibu kandungnya kesenian. Jadi seni tidak bisa dipisahkan dari realita. Pekerjaan seniman mengolah realita itu menjadi sesautu yang disebut art. Aritnya, ada bentuk-bentuk metafora, ada bentuk-bentuk si penulis, dan bentuk-bentuk yang lain supaya dibacanya enak, menyentuh hatinya, tidak menyentuh otaknya pertama kali, dan bisa membantu proses yang ada di dalam jiwa pembaca,” jawab Putu.
“Apa bisa realita dibuat tulisan fiksi, macam novel?” tanya Taufan.
“Kapan sebuah realitas bisa ditulis secara fiksi dan non fiksi, itu tergantung anda mau menyampaikannya dengan cara apa, sebab ibu kandungnya sama, yaitu realitas. Ada realita yang disebut substansial, hakikat yang ada di belakang fenomena. Dan sebagai penulis, kita harus mampu menembus tembok fenomena itu untuk menyentuh sampai pada substansi. Tanpa itu, kita hanya mempermainkan kata,” tegasnya.
Putu mengatakan bahwa untuk seniman-seniman Lekra mengajarkan “Dua tinggi” dalam menulis. Tinggi ideologi dan tinggi artistik.
Realita bisa dijadikan seting menulis fiksi. Banyak fakta yang sering tak terungkap karena penulis mempertimbangkan berbagai resiko. Dalam tulisan fiksi, penulis bebas bereksplorasi untuk menyuguhkan keindahan tanpa kehilangan hakikat.
“Untuk bisa menulis, ya menulislah supaya mempunya tujuan. Karena menulis itu proses yang berkesinambungan,” ucap Putu di akhir pertemuan sore itu.
Dan untuk bisa berkesinambungan, kita perlu ada dalam proses itu. Proses pencarian, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita.
“Roh, kekuatan saya menulis, karena ketidaktahuan, yang ingin saya cari tahu jawabnya,” tandasnya.
Jakarta, 9 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar