Oleh Siti Nurrofiqoh
Beberapa orang bergegas memasuki ruang teater Utan Kayu. Ketika itu jarum jam hampir mendekati angka dua siang.
Di ruangan berpenerangan redup itu, di seberang meja sederhana, dua laki-laki segera menempati kursi masing-masing, menghadap ke para hadirin yang duduk di lantai kayu menyerupai anak tangga.
Dalam keheningan suasana, salah satu dari dua laki-laki itu membuka pembicaraan. Ia adalah Andreas Harsono, salah satu pengampu kursus Jurnalisme Sastrawi bersama Janet Steele, Profesor dari George Washington University. Janet juga spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism, telah mengajar di Pantau lebih dari 14 kali.
Andreas meminta Goenawan Mohamad menceritakan suka-dukanya sebagai pendiri majalah Tempo dan menulis kolom Catatan Pinggir yang sudah dilakukan sejak 1970-an.
Pak Goen langsung meraih mikrofon di depannya.
“Saya tidak siap untuk memberikan pengalaman pribadi tentang menulis, karena saya tidak pernah mengingat-ingat saya menulis. You harus nulis dan tak punya waktu untuk memikirkannya, seperti halnya kalau kita naik sepeda, kita tidak pernah berpikir bagaimana naik sepeda. Jadi sebenarnya tidak pernah ada teori naik sepeda, kecuali kalau saudara-saudara mau membikin teori naik sepeda,” kata Pak Goen sambil memandang berkeliling ke para hadirin yang kurang lebih berjumlah 30 orang.
Banyak hal untuk digaris bawahi dari diskusi itu. Ada yang harus didahulukan oleh seorang penulis karya jurnalistik atau karya non fiksi, yaitu sikap empiris. Penulis harus berangkat dari data-data alami hasil riset dan pengalaman-pengalam an di lapangan. Penulis, tidak berangkat dari asumsi.
Bukan berarti penulis tidak bisa menggunakan asumsi atau hipotesa, tetapi hipotesa tentatif. Ia selalu diletakkan dalam kedudukan tidak tetap. Boleh ada teori, ada dugaan-dugaan, tetapi harus dibuktikan secara mendasar dan secara habis-habisan. Jika ternyata tidak benar, harus dibatalkan.
“Kalau kita mulai dengan teori konspirasi, semua data yang kita temukan dicocok-cocokkan. Di kalangan militer, mudah mencocokkan itu dengan menyiksa orang untuk mengaku. Berpikir secara teori konspirasi mengenai hal ikhwal, sungguh berbahaya karena mudah meinmbulkan distorsi dan penyesatan. Dan lebih berbahaya karena ada kemalasan berpikir. Tidak mau berpikir analitik,” tegas Pak Goen.
Pak Goen juga menekankan pentingnya bahasa dalam penulisan. Bahasa bukan sekedar ornamen agar tulisan menjadi bagus. Tapi bahasa adalah cara berpikir, dan bukan sesuatu yang abstrak. Hal tersebut kurang diperhatikan oleh sastrawan kebanyakan.
Memang tidak semuanya begitu. Beberapa nama seperti Ayu Utami dan Nukila Amal disebut Pak Goen sebagai pengarang yang mulai mencari kesadaran akan kraft, yaitu ketrampilan, kebagusan dan kerajinaan dalam menyusun bahasa. Dan terlalu dangkal rasanya, jika menilai “Cala Ibi”-nya Nukila Amal sebatas seks.
Abstrak artinya, kita tidak hanya bisa menyebut ular, tapi macam-macam ular. Bukan hanya menyebut kota, tapi juga nama jalan. Jika hanya mengatakan hutan, tumbuh-tumbuhan, itu abstrak.
Bahasa yang konkrit diperlukan untuk mengeratkan dengan kondisi riil sehari-hari, yang bahkan tak diduga-duga. Bahasa konkrit diperlukan, untuk melawan bahasa yang mengabstraksikan realita, seperti reformasi, pembangunan atau stabilitas.
Bahasa konkrit, bisa membukitkan bahwa sesuatu benar-benar terjadi. Maka itu, penting untuk mengapresiasi sesuatu yang berbeda dan memvareasi bahasa, supaya kita tidak hanya mengulang terhadap semua hal yang seolah-olah segalanya selalu bisa diatur. Membaca dan mendengar sesuatu yang terus diulang, akan membuat bosan.
Mengapresiasi sesuatu yang berbeda, gunanya mengajak pembaca untuk berpikir, memahami dan mempertanyakan. Penulis harus memberikan respek kepada pembaca sebagai subyek yang tidak hanya menerima ide-ide jadi atau jawaban yang disodorkan, tetapi melibatkan mereka bertanya dan mengajaknya berproses mencari jawabannya.
“Jangan berpretensi kita tahu kebenaran. Kita mungkin hanya tahu sedikit tentang kebenaran itu dan kita mengajak, barangkali pembaca bisa menjawab dengan lebih baik. Tulisan yang bagus, juga bukan formula dari eksakta, tulisan yang bagus bukan fatwa Majelis Ulama, ini haram dan ini tidak haram, tapi selalu membuat kita bertanya, betul enggak?” tandasnya.
Di dalam toeri sastra terakhir menurut Pak Goen, justru disebut pengarang itu mati. Karena begitu kita menulis, kita sudah tidak bisa mengontrol apa yang kita tulis lagi. Penulis akan bertolak dan pembaca tidak bisa bertanya lagi kepada pengarang.. Akhirnya, sebuah teks hanya pada teks itu dan tafsir kita. Pengarang, hanya mengulangi pencarian pada proses mencari kebenaran, dan yang lainnya diserahkan pada pembaca. Penulis hanya membuka pintu baru untuk sama-sama mencari kebenaran.
“Itu juga yang terjadi mengapa tafsir kitab suci menjadi berbeda-beda. Tuhan satu, tetapi Tuhan tidak berbicara dengan bahasa-Nya. Bahasa manusia yang terbatas itulah yang menafsirkan. Dan bahasa kita ini terbatas, saudara menggambarkan burung yang cantik saja repot sekali. Bagaimana kita merasa benar kalau hanya mamakai bahasa. Jadi kalau ada yang mangatakan tafsir saya paling benar, itu adalah asumsi yang berlebihan. Mensekutukan diri dengan Tuhan. Syirik kalau dalam Islam,” katanya serius.
Pertemuan sore itu berlangsung khidmat. Para hadirin, nampak serius mendengarkan pemapaparan Pak Goen yang menyerupai ceramah itu. Kadang satu dua orang melintasi ruangan untuk pergi ke kamar kecil. Dan Pak Goen, terus bertutur tentang menulis.
Tema Lama, Ide Baru
Slamet dan Sukardal. Ketika Pak Geon menulis soal Slamet, penjual gorengan di Sumedang yang bunuh diri pada tema Catatan Pinggir-nya, ada yang mengatakan tema tersebut sama dengan Sukardal yang ia tulis sekitar 7 tahun lalu. Artinya tema lama. Mengisahkan itu, ia termenung untuk beberapa saat.
Kemuadian, ia mengatakan bahwa dalam hidup ini banyak hal sama yang selalu berulang.. Penderitaan, cinta, patah hati, kematian, semua sama. Apa yang ditulis oleh Mahabarata dan oleh pengarang sekarang juga sama. Intinya, bagaimana kita menghayati kembali tema yang lama itu karena menyangkut sesuatu yang konkrit, yaitu manusia. Manusia tidak bisa disamakan satu sama lain. Tidak bisa disamaratakan bahwa semua orang Islam adalah teroris, orang Ahmadiyah adalah murtad, jenderal adalah koruptor, dan sebagainya.
Setiap orang selalu penuh dengan berbagai kemungkinan. Dengan tema lama itu, penulis hanya perlu menghindar dari hal-hal yang prediktable. Pak Goen mencontohkan respon yang ia terima dari Catatan Pinggir-nya. Kadang bagian yang ia sukai, justru tidak disukai orang, dan sebaliknya. Hal itu, meski terkadang membuatnya tercengang, namun tetap harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Berhubungan dengan manusia memang selalu problematik. Justru itulah demokrasi harus berjalan dan percakapan harus terus berlangsung. Menulis, penting untuk menghidupkan percakapan.
Dalam sejarah, revolusi dimulai dengan tulisan-tulisan, meski revolusi tidak terjadi hanya karena tulisan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, membiarkan argumen lawan yang sewenang-wenang, artinya kita ikut membenarkan. Kemerdekaan adalah hak, sekaligus tanggung jawab untuk mengungkap apa saja tanpa ketakutan, menegur apa yang perlu ditegur, termasuk meninggalkan doktrin-doktrin yang pernah kita dapatkan, ketika kita menemukan hal-hal yang baru.
Jarum jam terus bergerak meninggalkan angka dua. Andreas mengingatkan Pak Goen bahwa waktunya sudah hampir habis. Menjelang pukul empat sore itu, Pak Goen masih menjawab pertanyaan para peserta kursus.
Kata Pak Goen, keinginan belajar Jurnalisme Sastrawi, adalah panggilan untuk menghidupkan percakapan. Karena tulisan kita tidak pernah lengkap menceritakan sesuatu. Apalagi tulisan-tulisan pendek seperti straight news di koran-koran, hanya short memory saja. Hari ini menulis gempa, esoknya tsunami, besoknya lagi BBM dll.
Jurnalisme Sastrawi, mengubah semua itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar