Rabu, 06 Agustus 2008

Kontrak

KONTRAK
Oleh Siti Nurrofiqoh

Pagi itu, ia terbangun dari tidurnya yang hanya beberapa menit. Bahkan ia sendiri tak tahu kapan kesadarannya memasuki alam peraduan. Dunia mimpi, meski tak juga membuatnya bisa bermimpi.

Tangannya segera meraih jam yang ia letakkan pada lipatan celana. Itu benda berharga yang ia miliki selama hidup di perantauan. Jam 05.00. Ia melipat kain sarung, meminggirkan bantal pada dinding, tergesa menuju kamar mandi. Tangan kirinya menenteng tempat sabun, tangan kanannya menyambar handuk yang tersampir pada jemuran dari tali rapia.

Di lorong menuju kamar mandi, teman-temannya tampak sedang berjejer sambil menyandar pada dinding. Wajah-wajah kuyu, dengan mata sulit membuka, tak beda dengan dirinya. Sama-sama kurang tidur. Bedanya, teman-temannya habis kerja lembur, sedang dirinya karena memang tak bisa tidur. Satu orang keluar dari kamar mandi, satu orang mendapat giliran masuk.

Maklum kamar mandi yang merangkap WC itu merupakan satu-satunya, yang digunakan ramai-ramai oleh penghuni kontrakan yang berjumlah sepuluh orang.

Semua temannya sudah selesai. Sebagian ada yang sholat, ada yang menjemur pakaian dan ada yang menuju dapur darurat (memanfaatkan lorong di antara kamar yang berhadap-hadapan). Kini giliran dirinya memasuki kamar pas itu. Namun laki-laki itu malah tampak bimbang. Untuk apa mandi sepagi itu? Ia letakkan peralatan mandi di tempatnya semula. Lalu kembali masuk ke kamarnya. Lunglai.

Dari dalam kamar pendengarannya menangkap kesibukan teman-temannya. Bunyi korek api dinyalakan, bau sangit sumbu kompor, aroma bumbu indomie diseduh air panas dan dentingan sendok yang beradu dengan piring.

Tak berapa lama sebuah suara memanggil namanya, “Kak Ahmad,” suara Yugo, salah seorang temannnya.

Ia buru-buru mengambil posisi rebah. Memiringkan badannya. Agar tak terlihat bahwa tidurnya hanya pura-pura. Perasaannya bergemuruh membuat kain sarungnya terlihat bergetar, oleh tarikan nafas tak teratur. Ada kecewa dan putus asa. Ia Memilih diam. Tak ingin bersentuhan dengan teman-temannya. Tak ingin diskusi dan menjawab pertanyaan. Bahkan tidak ingin mendengar ungkapan bernada keprihatinan. Ia memilih menghindar.

Menghindar? Tidak! Dalam dirinya selalu ada yang menyentak-nyentak. Ia ingin lari, mendatangi personalia pabrik itu. Ingin menanyakan kenapa diPHK. Padahal dirinya tak bersalah. Tidak mangkir, tidak melawan atasan, tidak menggelapkan barang milik perusahaan untuk kepentingan pribadi, juga tidak mabuk-mabukkan apalagi berbuat asusila.

Pukul 6.30 WIB. Teman-temannya sudah pergi. Yugo, salah satu teman sekamarnya, masuk kamar sekali lagi. Pandangannya tertumbuk pada tubuh yang berbaring dalam posisi miring. Ia seperti hendak menyampaikan sesuatu, nampak menimbang-nimbang dan pergi setelah meninggalkan dua lembar ribuan di dekat kardus sepatu. Yugo pergi dengan tergesa, mengejar teman-temannya.

Pintu berderit ditutup oleh Yugo. Sunyi. Kini tinggal ia sendiri. Ia berjalan ke dapur.Ada semangkuk indomie yang mekar tanpa air dan sebuah kompor yang lupa dikembalikan ke tempat semula, di samping rak sepatu. Sinar matahari menerobos melalui lobang asbes. Ia gelisah. Disulutnya puntung rokok kretek bermerk Salam yang ia sisakan semalam.

Nafasnya kian memburu, berdesakan tak tertampung oleh dadanya yang tipis. Ia terbatuk-batuk. Pandangannya kembali tertuju pada buku sampul biru, bertuliskan UUK 13/2003 dalam huruf besar. Ia teliti sekali lagi pasal demi pasal, ayat demi ayat, lembar demi lembar. Sebagian ujungnya mulai basah oleh tangannnya yang berkeringat. Kriteria yang membenarkan dirinya di PHK sepihak tak ada di sana. Bahkan selama ini, perusahaanlah yang telah banyak melakukan pelanggaran. Melebihkan jam kerja tidak dibayar, memaksa lembur dengan ancaman pemecatan, membayar upah di bawah UMK, apa lagi memberikan cuti haid, cuti tahunan atau THR yang layak. Tahun kemarin, dirinya hanya menerima uang ketupat sebesar 20.000 rupiah.

Ia juga ingat salah satu kelicikan perusahaan itu, yaitu selalu memanipulasi fakta bila ada buyer Adidas atau Nike. Pembersihan dilakukan hingga ke saluran air. Sabun pencuci tangan dipajangkan di WC. Padahal untuk semua itu, siapa sangka kalau buruh menanggung derita karena harus menahan kencing dan buang air besar, karena tak boleh mondar-mandir mengotori lorong-lorong sekitar WC. juga tak boleh mengambil air minum, supaya lantainya tidak becek.

Wajah Juhendrik, personalia PT.UFU yang telah memecatnya kembali muncul di benaknya. Bahkan seperti hadir begitu dekat, hanya untuk menekankan kalimat pemecatannya sekali lagi, “Kamu sudah tidak dibutuhkan.” Dan ia harus meninggalkan pabrik saat itu juga. Tanpa proses perundingan apalagi peradilan. Argumen yang hendak diajukan pun, telah dipotongnya dengan no coment. Personalia tak melayani perundingan mengenai pemecataan terhadap buruh kontrak.

Di PT. UFU yang mempekerjakan sekitar 4000 buruh itu, tak ada satu peluang pun baginya. Kata personalia, semua departemen sudah tak membutuhkan. Posisi yang ia tempati sudah tak memerlukan tenaganya lagi, meski kenyataannya, posisi yang di tempat dirinya langsung digantikan oleh karyawan lain. Hmm..tak masuk akal.

Ahmad, adalah satu-satunya karyawan kontrak yang aktif tergabung dalam Serikat Buruh Bangkit. Ia juga satu-satunya karyawaan kontrak yang tidak mau menanda tangani surat pelepasan hak ketika menejemen meminta karyawan kontrak untuk membuat pernyataan bersedia dibayar di bawah UMK.

Selama ini, Ahmad memang tidak muncul sebagai pengurus di PT. UFU, yang beralamat di Jl. Pasir Raya, Tangerang. Namun dalam kegiatan di luar PT. UFU, ia banyak melakukan dukungan terhadap proses perjuangan para pengurus. Ia sering dipercaya membuat suarat-surat, selebaran maupun sumbangsih ide-ide dalam rapat.

Puncaknya, ketika pemotongan upah telah berjalan selama hampir setahun. Ketika para pengurus merasa buntu karena perjuangan terganjal surat pernyataan dari karyawan sendiri yang bersedia digaji murah. Ketika Kepala Dinas Tenaga Kerja Tangerang melegitimasi pemotongan upah dengan dalil “pelepasan hak” dari karyawan. Ketika pengawasan tidak berfungsi dan malah menakut-nakuti bahwa pabrik akan tutup jika pengurus menuntut pembayaran upah sesuai UMK. Ketika SPSI berubah fungsi menjadi akuntan public yang ikut menyatakan bahwa pabrik dalam kondisi bangkrut dan menyebarkan angket kepada karyawan pilih lanjut atau tutup. Ia memutuskan terjun dalam aksi yang digelar di pelataran gedung Dinas Tenaga Kerja Tangerang bersama para pengurus untuk menuntut keadilan. Ia juga masuk dalam tim perunding dan ditunjuk oleh pegawai Disnaker sebagai saksi dalam penyidikan yang diagendakan di kemudian hari.

Namun, siapa sangka bahwa sejak itu pula, garis hidupnya telah ditentukan bukan lagi oleh perjuangan, oleh dirinya ataupun oleh takdir Tuhan yang selama ini manusia wajib mempercayainya, melainkan oleh undang-undanag ketenagakerjaan yang mengatur system kontrak, yang diciptakan Menteri Tenaga Kerja dan pemerintah, bahkan oleh serikat buruh yang bermain mata memberi pintu masuk disahkannya undang-undang tersebut.

Di suatu sore di bulan Februari, nama Ahmad tak lagi tercantum di tempat perol. Ia tak dipakai lagi. Tak dibutuhkan lagi. Tanpa perundingan. Tanpa proses peradilan. Apalagi hadir sebagai saksi atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan tempatnya bekerja selama 5 tahun. Ketika ia mendatangi disnaker mengadukan pemecatan dirinya, petugas di sana menjawab. Kamu tidak dipecat, tapi habis kontrak.

Semua ini hanya karena sebuah status yang bernama kontrak. Masa kerja yang sudah dijalani selama lima tahun dihapuskan tanpa bekas, dengan lamaran baru yang harus dibuat setiap perpanjangan tiga bulan, yang entah sudah berapa kali itu dialami sebagai rutinitas keharusan.

Ia pun mulai bertanya, sungguhkah jodoh, rejeki dan kematian ditentukan oleh Tuhan?

Dalam kegamangan perasaanya, jiwa dan raganya ia mulai mempertanyakan. Perutnya yang sejak kemarin sore hanya makan di waktu siang mendadak kembung.

Ia kembali berbaring. Meluruskan badannya yang terasa ampang. Biasanya, saat-saat terlentang seperti itu bayangan kekasihnya akan muncul. Tapi entah kenapa, dalam hatinya tiba-tiba rasa itu sirna. Hambar. Tidak lagi memikirkan cinta, pernikahan, apalagi gambaran keluarga di masa depan. Malah yang muncul adalah angka-angka kasbon di warteg, di warung rokok, di warung indomie dan sewa kontrakan yang sebentar lagi harus dibayar.

Tidak ada komentar: