Jumat, 22 Agustus 2008

Memaknai Kemerdekaan

Oleh Siti Nurrofiqoh

Dua bulan menjelang Agustus. Berbagai kegiatan yang menandai perayaan itu, sudah dilakukan di berbagai belahan wilayah Indonesia, tak terkecuali di perusahaan-perusahaan. Di suatu siang, ketika saya datang ke sebuah pabrik, 30 menit saya lewatkan menunggu usainya pertandingan catur, dimana salah satu pesertanya adalah personalia yang akan saya temui. Selain catur, digelar juga pertandingan lainnya. Ada volly, bulu tangkis, juga bad minton. Personalia itu mengeluh karena kalah.

Bendera merah putih berkibar menempati posisi terdepan sebuah pelataran. Manajemen membentuk kepanitiaan. Semangat untuk mengatur yang lain dan tampil di ajang pementasan tersirat dari wajah-wajah dan cara mereka berkelakar. Beberapa buruh bagian produksi dikerahkan melobangi tanah untuk menancapkan umbul-umbul, di bawah komando si panitia yang selalu meletakkan tangannya di pinggang, macam mandor rodi jaman perang.

Hari demi hari beringsut mendekati Minggu bersejarah, 17 Agustus 2008. Ini perayaan ke 63 sejak kemerdekaan diproklamirkan pada tahun 1945. Ritual upacara memang selalu ditandai berkibarnya sang merah putih ke udara, meninggalkan kerumunan manusia di bawahnya, yang tak jarang mengeluh kepanasan. Berbagai acara pun disusun untuk memeriahkan suasana sesudahnya.

Entah karena cemas pertunjukan tidak mendapat perhatian dari penonton, entah cemas pidato tak mendapat sambutan gemuruhnya tepuk tangan yang mendengar, atau entah karena alasan apa. Dua hari menjelang hari Minggu itu, pesonalia mengeluarkan peraturan bahwa semua karyawan harus masuk pada hari libur nasional itu. Bagi yang tidak masuk mendapat sangsi berupa pemotongan gaji 50 ribu rupiah.

Hal itu tentu berat untuk diterima. Pengurus serikat buruh yang sudah mulai paham tentang arti kemerdekaan pun tersentak. Keputusan itu tidak fair dan menyalahi prinsip kemerdekaan yang di dalamnya memberi kemerdekaan menentukan sikap.

“Rasa nasionalisme, bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Dengan caranya masing-masing dan tidak harus sama. Rasa nasionalisme tidak harus diwujudkan dengan joget-joget. Mensyukuri dan merenungi pun, itu juga bentuk merayakan untuk mengenang pahlawan kemerdekaan bangsa kita.” begitu ungkapan salah seorang pengurus perempuan mengirimkan pesan pendek ke HP saya.

“Tapi manajemen bilang, itu sudah keputusan dan peraturan perusahaan, dan karyawan dituntut harus masuk,” tambahnya dengan nada berapi-api melalui telpon.

Kekuasaan, memang selalu punya cara untuk memaksakan kehendak dan pembenaran, bahkan atas nama peraturan.

Ketidakadilan merambati sukma-sukma buruh yang tak berdaya itu. Tapi ia juga menggugah nurani para pengurus serikat di pabrik itu. Selama dua hari mereka melewatkan malam-malamnya mebentuk kelompok-kelompok kecil menggelar diskusi.

“Setidaknya, sekali ini saja, biarlah buruh-buruh itu berkesempatan menggunakan kemerdekaannya sendiri. Untuk sekali ini saja, biarlah mereka bebas mengekspresikan dan menentukan dengan caranya sendiri. Mungkin mendatangi sudut-sudut perkampungan, atau bergabung bersama kerumunan masyarakat yang tengah menyaksikan panjat pinang. Biarlah mereka tertawa lepas dan bebas dari hegemoni aroma kekuasaan hubungan atasan bawahan, yang mengharuskan mereka menundukkan kepala setiap saat. Biarlah mereka bebas, termasuk harus bergembira atau merenung. Biarlah mereka bebas, untuk sekedar beristirahat di kamar-kamar kontrakan atau pergi bersama tetangga, pacar atau sumai,” kata pengurus serikat tadi seperti berondongan petasan.

Sudah terbiasa, buruh dipaksa untuk selalu berkompromi membunuh nuraninya, rasa kemanusiaannya. Sudah terbiasa buruh dipaksa untuk tega membiarkan orang-orang yang dicintainya sakit tanpa ditengoknya. Sudah terbiasa buruh mendapati mayat bapaknya, ibunya atau anaknya, karena sulit mendapat ijin pulang kampung kalau belum ada alasan orang tua atau anak meninggal dunia. Bahkan buruh yang ijin karena saudaranya meninggal dunia, dikeluarkan dari pabrik karena terlambat memperlihatkan bukti kematian dari keluarahan yang sedang diproses.

Dan hari-hari libur seperti ini, saat yang tepat untuk bisa pulang kampung. Berjejalnya ribuan manusia yang memenuhi stasiun, sering menandai momen itu.

Menjawab pertanyaan mereka, saya balik bertanya. Bagaimana menurut teman-teman? Bagaimana teman-teman memaknai kemerdekaan? Jika yakin Anda benar, tapi tidak mau bertindak, jangan mengeluh. Nikamti saja penindasan itu.

Saya ingatkan slogan kaos yang dikutip dari Clarence Darrow, yang dipakai oleh anggota serikat buruh itu. “Kebebasan berasal dari manusia, tidak ditentukan undang-undang atau institusi.”

Esoknya, saya mendapat pesan pendek. Mereka mengabarkan bahwa perundiangan tahap ketiga selesai dilakukan. Mereka bertanya kepada pengusaha, dasar hukum apa yang mengharuskan buruh-buruh pabrik wajib masuk di hari libur. Dasar hukum apa, yang membenarkan, adanya sangsi bagi buruh yang tidak masuk. Hasilanya? Pihak perusahaan tidak bisa menjawab. Dengan dalih tidak ada dana, rencana peringatan tujuh belas Agustus di perusahaan itu batal dirayakan.

Rupanya, kemerdekaan yang dipahami oleh para pemimpin rakyat berbeda dengan yang dimaknai rakyatnya. Realita ini, begitu kontras dengan slogan presiden kita. Dalam iklannya untuk persiapan pemilu 2009 yang selalu hadir di televisi itu mengatakan, Indonesia tetap tegak berdiri. Dari Sabang Sampai Merauke, dari Miamas sampai Pulau Rote.

Memang benar. Indonesia tetap tegak berdiri. Tapi ia terlalu megah untuk ukuran rakyatnya yang bahkan tak mampu menjangkau melambungnya harga minyak tanah. Ia terlalu kuat memaksakan pendiriannya, sehingga tak memberikan ruang suara lain dalam demokrasinya. Seandainya saja, ia mau menunduk dan melihat ke bawah barang sejenak, betapa singgasana itu sesunguhnya goyah.

Bangunan itu berdiri di antara tulang belulang jutaan rakyatnya yang gemetar karena miskin dan kelaparan. Dari belahan pulau-pulau, berderet jiwa-jiwa kesakitan dan terluka, karena hak-hak kemanusiaannya selalu terkoyak. Seperti buruh-buruh PT. Standar, yang nyaris kehilangan kebebasannya atas nama perayaan kemerdekaan. Jika kemerdekaan itu relatif, sudah saatnya, setiap individu menentukan kemerdekaan dengan caranya sendiri.

Saya ingat pada ucapan Goenawan Mohamad saat kami bertemu dalam sebuah acara Juni lalu. Pak Goen mengatakan, merdeka adalah kebebasan dan tanggung jawab. Dibutuhkan keberanian untuk mengungkap apa saja tanpa ketakutan, menegur apa yang harus ditegur, meluruskan apa yang perlu diluruskan, termasuk doktrin-doktrin yang pernah kita dapatkan. Dan buruh PT Standar, telah melakukannya.


Jakarta, 21 Agustus 2008

1 komentar:

arylangga mengatakan...

Salam kenal ya..pengen sharing nih..klo perusahaan anda butuh kegiatan team building..saya bisa membantu..ato kalo ada contac person perusahaan yang dapat saya hubungi tentang hal tersebut..thanks..ya atas bantuannya…