Rabu, 06 Agustus 2008

Pelepasan Hak

PELEPASAN HAK
(Oleh Siti Nurrofiqoh)

Pelepasan hak. Kalimat itu ternyata lebih sakti dibanding keputusan Gubernur Propinsi Banten no 561/kep. 55-HUK/2006 yang telah menetapkan upah minimum kota (UMK) Kota Tangerang sebesar Rp.882.500 bagi seluruh buruh di Tangerang untuk tahun 2007.

Begitu, kurang lebih isi yang tertuang dalam surat keputusan yang ditanda tangani oleh Atut Chosiyah, gubernur Banten dengan masa bakti 2007-2012. Namun, tanda tangan Atut, tetap hanya coretan tinta berukir di atas kertas.

Buruh seperti melihat iklan di televisi yang menawarkan harga murah, menawarkan kedadilan, tetapi di alam maya. Bukan di dunia nyata. Jangan harap kita mendapatkannya sesuai iklan itu. Entah itu soal tersendatnya bantuan bencana yang disunat, ingkar janjinya pejabat yang suka ngember, sampai harga produk yang nilainya jauh lebih mahal dari bandrol di iklan. Apa jawabnya? Kalau ingin murah, kalau ingin mendapat santunan, ambil aja di TV. Itu ungkapan pedagang dan pejabat di lapangan.

UMK tidak berlaku bagi buruh berstatus kontrak di PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU) di Tangerang. Karena buruh-buruh kontrak tersebut telah menanda tangani surat yang menyatakan bersedia dibayar dibawah UMK. Surat pernyataan, yang dibuat dengan sadar tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Lembaran kertas itu, menjadi senjata perusahaan dan mendapat legitimasi Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang.

Secara hitam putih, memang tidak bisa disangkal bahwa berlembar-lembar kertas itu benar ditanda tangani oleh karyawan yang bersatus kontrak, bahkan tertulis: Dibuat dengan sadar dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Benarkah?

Secara logika, orang-orang yang masih berpikiran normal, tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Tapi kenapa buruh yang jumlahnya ribuan itu bisa bersama-sama melakukan tindakan untuk merugikan diri mereka? Sungguhkah mereka sudah tak punya harapan akan kesejahteraan dalam hidupnya?

Indah dan Santi, mengaku tidak berdaya. Indah dan Santi, bahkan dengan sesadar-sadarnya menandatangani surat itu. Karena kesadaran yang lebih besar telah bersarang di alam bawah sadarnya, bahwa mereka dihadapkan pada dua pilihan, menandatangani pernyataan untuk dibayar murah atau dipecat.

Sejak Januari 2007, pengurus Serikat Buruh Bangkit (SBB) sudah mengajak menejemen PT. UFU untuk bipartit. Namun perusahaan tetap tidak mau membayar sesuai UMK dengan alasan pabrik rugi.

Ketika perundingan tak membuahkan hasil karena sikap keras kepala pengusaha PT. UFU, pangurus melayangkan surat pengaduan ke bagian pengawasan Disnaker Kota Tangerang.

Apa boleh dikata. Lagi-lagi, para penghuni gedung Dinas Tenaga Kerja berseragam coklat itu mengatakan bahwa sudah ada pelepasan hak dari karyawan, kendati mereka tak menampik adanya pelanggaran yang dilakukan pengusaha PT. UFU. Kalimat itu disampaikan oleh, Jamal, Ibnu dan Mardiah di ruang kerja kepala pengawasan. Mereka juga mengatakan bahwa beberapa hari sebelum kedatangan saya bersama pengurus SBB PT. UFU, SPSI telah datang bersama pihak menejemen, membawa surat-surat tersebut.

Lebih aneh lagi, petugas Disnaker yang belakangan datang ke perusahaan untuk melakukan penyidikan (Afrida Arimuri Agung) membuat pernyataan yang intinya, jika ketentuan undang-undang itu dijalankan, semua pabrik di Tangerang ini akan tutup. Sepanjang tahun 2007, buruh PT. UFU tidak menerima upah sesuai UMK.

Setahun telah berlalu. Seiring usainya pesta penyambutan tahun baru yang dirayakan meriah disertai ucapan selamat ke sesama teman untuk saling memberi pengharapan yang lebih baik. Tujuh hari berselang, Gubernur Banten, Atut Chosiyah telah menetapkan SK bernomor: 563/KEP.736-HUK/2007 tentang penetapan UMK Kota Tangerang Propinsi Banten tahun 2008, yang dikeluarkan pada 7 Desember 2008, sebesar Rp 958. 782.

Sesaat, buruh menyambut kenaikan ini dengan gembirra, meski gambaran hidup layak masih jauh panggang dari api. Menurut penuturan Saryadi, yang berstatus karyawan tetap dan merasakan perubahan nilai atas kenaikan tersebut, ternyata sama saja. Dia mengibaratkan hanya naik angkanya tapi tak memberi nilai. Karena barang-barang kebutuhan hidup harganya melambung. Gali lobang tutup lobang, selalu menyertai perjalanan buruh meniti hari demi hari untuk sekedar bertahan hidup.

“Yang penting masih bisa hidup mbak,” kata Yadi dengan nada lirih. Ada ungkapan istilah yang cukup populer di kalangan buruh pabrik yang belum juga berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka bilang, “Belum gajian pusing, sudah gajian bingung”.

Pelanggaran pun berulang dilakukan oleh pengusaha PT. UFU. Di tahun 2008 ini, PT. UFU memberlakukan UMK 2007 untuk buruh-buruhnya yang berstatus kontrak. Jika karyawan berstatus tetap dengan upah sesuai UMK saja masih kepayahan, bagaimana dengan karyawan kontrak yang upahnya di bawah UMK?

Entahlah. Saya tak mendapatkan jawaban dari mulut Santi dan Indah. Bibir mereka terkatup rapat, hanya mata yang berbicara melalui tetesan bening yang terus bergulir di kedua pipinya tanpa kendali. Mereka menangis sesenggukan.

Selama ini anak kontrak tidak saja menerima diskriminasi soal upah. Dalam kondisi kerja, mereka selalu menerima perlakukan yang tidak adil. Harus bekerja lebih awal dari jam kerja yang seharusnya, harus menjalani tambahan jam kerja hingga dua jam dan tidak dibayar alasan tuntuan target yang belum terpenuhi, meskipun kalau targetnya terpenuhi, besoknya pihak perusahaan menaikkannya lagi. Tidak boleh menolak lembur, tidak boleh ijin, meski anak, suami, istri atau orang tua dalam keadan sekarat. Begitulah kepala regu selalu mengancam.

Ketika para pengurus SBB dan Komite Buruh Cisadane (KBC) melakukan aksi di pelataran gedung Dinas Tenaga Kerja Kota Tengerang, Santi dan Indah termasuk di dalamnya. Esoknya, perusahaan memutuskan kontraknya. Mereka dipecat. Apakah ini pelanggaaran normatif?

“Bukan. Karena telah ada pelepasan hak dari karyawan kontraknya dan hal tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi,” begitu kata Adang Turwana (Kadisnaker ) Tangerang.

Tidak ada komentar: