SUTIRAH
Oleh Siti Nurrofiqoh
Cahaya Matahari pagi menerobos celah bilik tua. Sejak dua bulan yang lalu, sinar mentari selalu rutin meyapanya setiap pagi. Kehangatan yang sering ia rindukan sejak dulu. Hampir lima tahun, semenjak ia bekerja di pabrik, tak pernah merasakan sinar surya itu, yang kata orang bermanfaat untuk kesehataan.
Ini semestinya menghangatkan. Menggairahkan. Tapi entah kenapa, wajah itu murung, bahkan tampak layu. Kehangatan mentari pagi, sebagai bayangan yang menakutkan. Menyilaukan dan terasa tak ramah. Kegundahan selalu menghadang menjelang kemunculannya. Jika mungkin, rasanya ingin memutar waktu agar tak pernah ada pagi hari.
Setiap pagi, dimana geliat kehidupan dimulai, ia mendapati dunia yang hilang. Dunia yang hampa. Resah tanpa kepastian. Ia hanya bisa menyaksikan teman satu kontrakannya bernama Tini, pergi meninggalkannya, membaur bersama teman-temannya yang lain dalam balutan seragam biru telor asin melewati gang kecil samping kontrakannya. Ia juga hanya menjadi penonton, ketika Tini menghitung beberapa lembar uang sehabis gajian. Juga keluhan Tini, karena pabriknya tidak membayar upah sesuai UMK (upah minimal pokok) sebesar Rp 958 782 untuk 2008.
Seperti hari-hari sebelumnnya, ia tak lagi melakukan rutinitas bangun jam 4 pagi untuk mengantri di MCK, berebut kamar mandi atau kakus.
Tini saja yang masih bangun jam 4 pagi. Kadang juga jam 4.30. Ia sering juga menemani Tini mengantrikan ember dari selang. Maklum airnya dijatah dan hanya dialirkan setiap sore dan pagi. Jika yang punya kontrakan kelupaan, kadang kran masih mengalir hingga malam. Kalau hal itu terjadi, Sutirah paling rajin mempergunakan kesempatan itu.
MCK (mandi kuci kakus) hanya disediakan dua tempat oleh pemilik kontrakan yang berjumlah sepuluh pintu. Ngantri untuk mendapatkan air, kakus, mandi atau mencuci, merupakan tiga persoalan, yang harus dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan tahap demi tahap.
Taka jarang, percekcokan terjadi di saat-saat seperti itu. Beberapa petak kamar yang dihuni orang-orang yang sudah berkeluarga, kadang mengerahkan suami atau istri dan anaknya untuk mendapatkan air. Hal ini kadang membuat yang lain merasakan adanya ketidakadilan. Muka-muka cemberut dan bibir-bibir manyun sering terlihat di ajang yang penuh persaingan ini. Di sepanjang depan kontakan tersebut, yang dominan terlihat adalah tumpukan ember dalam posisi saling tumpang dan tindih. Tirah hanya punya dua ember.
Dua tahapan sudah dilalui Tini pagi itu. Ia sudah buang hajat di wc dan sudah selesai mandi. Ia tak harus mengantri untuk mendapatkan air, karena Tirah sudah mengantrikannya semalam. Tini adalah teman satu kontrakan yang baru tiga bulan mengontrak dengannya. Tini berasal dari Pandeglang - Banten. Sutirah berasal dari Magelang. Mereka sama-sama datang ke Tangerang untuk satu alasan yang sama, meski dengan latar belakang yang berbeda. Mereka sama-sama mengadu nasib. Tini mencari kerja ke Tangerang, karena harus menghidupi anaknnya. Suaminya menikah lagi. Meski agak cuek, tapi dia baik. Mengetahui Tirah dipecat, Tini sering berbagi makanan dengan Tirah. Sebungkus nasi sering dimakan berdua. Tini, sebenarnya termasuk orang yang royal. Tapi ia selalu irit dalam membelanjakan uanganya, karena sebulan sekali, Tini harus mengirimkan uang 200.000 ribu ke kampungnya. Biasanya adiknya yang datang memgambil.
“Sok atuh, cuek aja Rah, yang penting kita masih bisa makan…” bujuknya ketika Tirah terlihat ragu-ragu menyuap nasi yang dibeli Tini dari warteg.
Sambil menghanduki tubuhnya, Tini menarik kompor dari sela-sela rak dan container plastic yang digunakan sebagai lemari pakaian. Ia membakar lidi yang sudah memendek. Tangannya memutar-mutar lidi mengikuti lingkar kompor. Namun sumbu-sumbu kompornya tak juga menyala.
“Duh, entek lengane euy,” gerutunya dalam bahasa Jawa berlogat Sunda, yang artinya minyakya habis. Tini memang kadang suka meniru dialeg Jawa Sutirah.
Tirah tergugu di pojok ruangan. Ia berpura-pura masih melafalkan bacaan sholat, meski sebenarnya sebelum Tini masuk ia sudah mengucapkan salam. Perasaan tak enak hati menjalari dadanya. Membuat livernya terasa ngilu, seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum. Ia dekap sajadah dan mukena yang habis digunakan sholat subuh. Ia menekur lebih serius, namun konsentrasinya pada kompor yang kehabisan minyak.
Tergesa Tini menyapukan bedak tabur Viva kemasan sachet ke wajahnya, juga memoleskan lipstik ke bibirnya. Lipstik, 5000-an yang dibeli di depan pabrik, yang sering disulap menjadi pasar kaget oleh para pedagang musiman di saat karyawan gajian. Lipstik warna hijau mengkilat, namun setelah disapukan ke bibir ia akan menghsilkan warna merah pekat dan lama-lama membuat bibir nampak kebiruan.
“Cepat Nik, ini sudah mau lewat setengah enam, ntar ketinggalan jemputan lho,” kata Maryani yang menunggu di luar.
“Sakeudeung uey,” jawabnya, sambil tangannya meraih cermin berbentuk love, ke bawah lampu neon 15 watt. Ia melihat wajahnya di cermin, memastikan bedaknya tersapu secara rata di wajahnya. Buru-buru ia memakai sendalnya dan menyambar tas.
“Sopir jemputan memang suka reseh. Kalau kita terlambat sedikit aja, ditinggal. Tapi kalau dia yang kesiangan, molor berjam-jam nggak mau diprotes. Selalu beralasan ini dan itu. Malahan lebih galakan dia. Ayo buruan!” kata Yani. Berdua segera berlari menuju ujung gang.
Tirah memasuki dunia yang lain. Hanya ia sendiri, di dalam sepetak kamar kontrakan. Memandanng berkeliling, hanya ada dua bungkus sarimie, kompor tanpa minyak, dua pasang sandal teplek, beberapa potong baju, seplastik kantong kresek yang selalu rajin ia lipat membentuk segitiga dan dikumpulkan setiap belanja hingga tampak menggelembung, dan tumpukan karet gelang yang mulai membuluk pada ujung-ujung paku.
Di saat sendiri seperti itu, wajah ibu dan dua adiknya bermunculan. Ipah sebentar lagi masuk SMP, Nur sebentar lagi lulus SD. Muka ibunya yang gosong, selalu melintas di benaknya. Ibu yang rela untuk berjemur di sawah berhari-hari bahkan berbulan-bulan sebagai buruh pemotong padi jika musim panen tiba. Ibunya yang tinggal di Magelang sering pergi hingga ke luar daerah, di Purworejo. Kalau musim panen belum tiba, yang bisa dilakukan hanya membuat keranjang pot bibit tanaman, yang akan dibeli pedagang dengan harga 30 perak perkeranjang. Begitulah cara bertahan hidup semenjak bapak Tirah meninggal dunia.
Lebaran kemarin, sambil membantu ibunya di dapur, hati Tirah merasa teriris. Adonan peyek kacang yang hanya dua kilo tak bisa dimatangkan semua. Minyak gorengnya habis. Uang tiga ratus ribu yang ia berikan tak mencukupi untuk membeli kebutuhan lebaran, termasuk membelikan baju adik-adiknya. Padahaal ia sudah mengumpulkan gaji satu bulan dan THR. Sayang, THR-nya hanya 200 ribu. Karena ia baru saja diperpanjang kontrak dan dianggap karyawan baru, meski masa kerjanya sudah empat tahun lebih. Hampir satu juta berhasil dikumpulkan. Rp170 disisihkan untuk jatah kontrakan sekembalinya dari kampung. Rp 400 untuk jatah pulang pergi mudik yang harganya melambung selangit di saat lebaran.
Kala itu, ibunya terpaksa menurunkan penggorengan dan mematikan kayu bakar. Ibu dan anak sama-sama terdiam, sambil membereskan hasil gorengan yang sebagian nampak gosong.
“Sabar yo mbok…bodo tahun ngarep, tidak akan lagi seperti ini…” Tirah berjanji, yang tentu saja tidak didengar ibunya. Karena ucapan itu di dalam hati. Intinya Tirah berjanji bahwa lebaran tahun depan, semuanya akan lebih baik lagi. Dia berjanji tidak akan pergi ke supermarket sehabis gajian, tidak akan tergoda membeli baju, dan membatasi jatah makan cukup sepuluh ribu saja sehari. Supaya bisa mengumpulkan uang untuk lebaran. Supaya bisa membeli kebutuhan dapur, minyak goreng, astor dengan toplesnya, telor, kentang dan kebutuhan lain. Supaya lebaran dilalui dengan nyaman. Supaya bisa menjamu sanak saudara yang berkunjung. Supaya…
Seperti tayangan dalam video, khayalan tentang kampungnya terpenggal oleh ruang sidang di disnaker. Kemarin, ketika sidang kedua digelar, pegawai disnaker Tangerang yang dipimpin oleh Ramayanti, belum punya sikap yang jelas. Bahkan saat sidang ketiga juga digelar, yang ada justru ketidakpastian. Kata personalia pabrik, yang namanya anak kontrak, sudah habis kontraknya ya sudah. Mau apa lagi? personalia menyeringai penuh kemenganan, di depan para Dinas Ketenagakerjaan yang membisu.
Petakan kontrakan itu terasa makin sempit saja. Hanya dinding kusam menjadi saksi bisu setiap tetesan air matanya. Kegalauannya. Keputusasaannya. Tangannnya yang lemah berkali-kali menyeka sudut-sudut matanya yang kian kering. Urat-urat kebiruan nampak bertonjolan di punggung telapak tangan.
Katanya, kontrak itu harus ada perjanjian. Katanya, perjanjian itu harus ada kesepakatan, harus memuat soal masa berlaku kontrak, jenis pekerjaan, dan besarnnya upah. Dan yang paling diingat Tirah adalah, tidak boleh diperpanjang lebih dari dua kali. Perjanjian yang dibuat melanggar hukum, katanya batal demi hukum.
Ia mendesah. Semua kriteria yang ada di undanag-undang ketenegakerjaan, tidak ada yang sesuai dengan apa yang ia alami. Bahkan Tirah sampai tak ingat lagi berapa kali ia diminta menandatangai surat kontrak dan membuat lamaran baru setiap tiga bulan sekali. Belakangan enam bulan sekali. Kok pabrik tetap dianggap tak bersalah?
Kalau disnaker saja tidak bisa menegakkan hukum, lalu di mana lagi hukum ini bisa berlaku sesuai yang ditulis di buku ini..? Apakah di akherat..?
Sebuah torehan terpahat pada dinding. Ada bagian yang tebal dan tipis terputus-putus dalam timpaan warna pulpen yang berbeda. Pulpen warna hitamnya rupanya habis dan disambung dengan krayon merah yang tintanya juga tersendat keluar.
Dinding tetaplah dinding. Ia tidak bisa menjawab, apalagi berbuat sesuatu. Dinding hanyalah benda mati, yang bahkan tak kuasa atas keberadaannya. Tak berhak memilih apakah harus dipasang untuk atap, untuk pintu wc, atau untuk penyekat ruangan. Bahkan benda mati itu, tak memiliki daya apapun ketika ia harus lapuk karena rayap atau kelembaban akibat udara dan terik matahari yang menerpanya secara bergantian.
Hanya dua bulan, triplek itu sudah tak bisa lagi memberi tempat untuk menerima keluhan-keluhan Tirah. Sisi di bagian dalamnya sudah penuh coretan. Spidol, pulpen hingga pensil bermuara di sana. Sebagian mulai mengering dan terlihat lamat-lamat, tertimpa oleh coretan-coretan yang datang menyusul berikutnya, menggambarkan pergulatan emosi yang timbul tenggelam dan luruh dalam kesunyian. Perih.
Kehilangan pekerjaan, membutnya tidak hanya kehilangaan pengharapan atas dirinya. Sebagai perempuan, ia tidak lagi memikirkan memelihara dirinya dalam hal pakaian, bedak, shampo, apalagi parfum. Mencuci rambut pun ia memakai sabun cuci Wings. Bagian terberat adalah, ia melihat pengharapan adik-adiknya di kampung turut sirna. Adik-adiknya yang mungkin tak bisa lagi melanjutkan sekolah, juga ibunya yang mulai tua dan berkurang tenaganya.
Ia menimang-nimang kain biru telor asin, seragam pabrik yang telah setia melekat di tubuhnya sekian lama, seragam yang bukan saja mendominasi bagian penampilannya. Lebih dari itu, ia turut membentuk statusnya sebagai kaum pekerja, yang meskipun gaji kecil tapi berpenghasilan. Seragam itu kini sudah terbungkus koran dan teronggok tak berrdaya di pojok ruangan dalam kepasrahan yang tak pasti.
Sore itu, Tini tidak akan kembali ke kontrakan dan tinggal bersamanya lagi. Kepala regu yang memasukkan Tini bekerja, melarangnya ia tinggal bersama orang yang dianggap melawan perusahaan, karena ikut aksi menuntut upah dibayar sesuai UMK dan rapat-rapat organisai. Tini diberi ultimatum, pilih pindah atau di bernasib sama sepeti dirinya.
Menjelang tengah hari, terik sang surya memanggang kontrakan Tirah yang beratap seng. Baju yang ia kenakan mulai basah. Wajahnya pias. Ia nampak berjalan terbungkuk memasuki kontrakannya. Membawa bungkusan nasi uduk pemberian tetangganya sisa dagangan yang tak habis. Ia mengambilnya separoh, lalu mengikatkannya lagi untuk dimakan sore nanti.
Ia duduk mencangkung sambill sesekali menyeka keringat yang merembes di kening dan pelipisnya. Dari dalam perutnya mengeluarkan bunyi kriuk kriuk. Namun ia tidak segera meyuapkan nasi ke mulutnya. Tiba-tiba…mulutnya bergerak-gerak. Di lehernya urat-urat besar bertonjolan, ada tarik menarik yang ditimbulkan oleh usaha Tirah membendung desakan air dari kedua matanya. Bibir atasnnya digigit kuat-kuat menahan lelehan air mata yang ternyata gagal dibendung. Air itu tumpah dan terus menngalir deras di pipinya yang tirus. Mengalir… dan terus mengalir tanpa kendali.
Sore itu, ia sudah mengemasi semua barang miliknya. Seluruhnya ada dua kardus bermerk mie sedap. Satu kardus untuk baju-baju, satunya lagi digunakan untuk menaruh benda-benda yang menururtnya berharga. Ada jam beker, tas kecil berbordir Winny the Pooh, dan terakhir adalah foto dirinya bersama teman-temannya ketika tour di pabrik. Foto dalam bingkai itu, dibungkus dengan beberapa lembar Koran, agar tidak pecah. Juga boneka tikus, yang dibeli tiga pasag sepuluh ribu di depan gerbang pabrik.
“Maafkan anakmu mbok…mungkin lebaran nanti anakmu tak bisa belikan apa-apa. Anakmu telah gagal..”
Itu kalimat terakhir, yang turut berdesakan di lembar dinding triplek yang sudah penuh coretan. Matahari mengakhiri perjalanannya sore itu, ia menuju ke barat. Udara berdesir lirih disertai redup yang mulai merayap. Seiring azdan magrib dikumandangkan, di dalam kamar petakan itu mulai gelap. Ia terpekur. Mematung. Ia ingin beranjak, namun tak tahu harus pergi ke mana. Air mata kembali mengalir. Dalam kebisuan. Dalam kesunyian. Tanpa isak, tanpa sedu sedan.
Ini semestinya menghangatkan. Menggairahkan. Tapi entah kenapa, wajah itu murung, bahkan tampak layu. Kehangatan mentari pagi, sebagai bayangan yang menakutkan. Menyilaukan dan terasa tak ramah. Kegundahan selalu menghadang menjelang kemunculannya. Jika mungkin, rasanya ingin memutar waktu agar tak pernah ada pagi hari.
Setiap pagi, dimana geliat kehidupan dimulai, ia mendapati dunia yang hilang. Dunia yang hampa. Resah tanpa kepastian. Ia hanya bisa menyaksikan teman satu kontrakannya bernama Tini, pergi meninggalkannya, membaur bersama teman-temannya yang lain dalam balutan seragam biru telor asin melewati gang kecil samping kontrakannya. Ia juga hanya menjadi penonton, ketika Tini menghitung beberapa lembar uang sehabis gajian. Juga keluhan Tini, karena pabriknya tidak membayar upah sesuai UMK (upah minimal pokok) sebesar Rp 958 782 untuk 2008.
Seperti hari-hari sebelumnnya, ia tak lagi melakukan rutinitas bangun jam 4 pagi untuk mengantri di MCK, berebut kamar mandi atau kakus.
Tini saja yang masih bangun jam 4 pagi. Kadang juga jam 4.30. Ia sering juga menemani Tini mengantrikan ember dari selang. Maklum airnya dijatah dan hanya dialirkan setiap sore dan pagi. Jika yang punya kontrakan kelupaan, kadang kran masih mengalir hingga malam. Kalau hal itu terjadi, Sutirah paling rajin mempergunakan kesempatan itu.
MCK (mandi kuci kakus) hanya disediakan dua tempat oleh pemilik kontrakan yang berjumlah sepuluh pintu. Ngantri untuk mendapatkan air, kakus, mandi atau mencuci, merupakan tiga persoalan, yang harus dihadapi dengan kesabaran dan ketabahan tahap demi tahap.
Taka jarang, percekcokan terjadi di saat-saat seperti itu. Beberapa petak kamar yang dihuni orang-orang yang sudah berkeluarga, kadang mengerahkan suami atau istri dan anaknya untuk mendapatkan air. Hal ini kadang membuat yang lain merasakan adanya ketidakadilan. Muka-muka cemberut dan bibir-bibir manyun sering terlihat di ajang yang penuh persaingan ini. Di sepanjang depan kontakan tersebut, yang dominan terlihat adalah tumpukan ember dalam posisi saling tumpang dan tindih. Tirah hanya punya dua ember.
Dua tahapan sudah dilalui Tini pagi itu. Ia sudah buang hajat di wc dan sudah selesai mandi. Ia tak harus mengantri untuk mendapatkan air, karena Tirah sudah mengantrikannya semalam. Tini adalah teman satu kontrakan yang baru tiga bulan mengontrak dengannya. Tini berasal dari Pandeglang - Banten. Sutirah berasal dari Magelang. Mereka sama-sama datang ke Tangerang untuk satu alasan yang sama, meski dengan latar belakang yang berbeda. Mereka sama-sama mengadu nasib. Tini mencari kerja ke Tangerang, karena harus menghidupi anaknnya. Suaminya menikah lagi. Meski agak cuek, tapi dia baik. Mengetahui Tirah dipecat, Tini sering berbagi makanan dengan Tirah. Sebungkus nasi sering dimakan berdua. Tini, sebenarnya termasuk orang yang royal. Tapi ia selalu irit dalam membelanjakan uanganya, karena sebulan sekali, Tini harus mengirimkan uang 200.000 ribu ke kampungnya. Biasanya adiknya yang datang memgambil.
“Sok atuh, cuek aja Rah, yang penting kita masih bisa makan…” bujuknya ketika Tirah terlihat ragu-ragu menyuap nasi yang dibeli Tini dari warteg.
Sambil menghanduki tubuhnya, Tini menarik kompor dari sela-sela rak dan container plastic yang digunakan sebagai lemari pakaian. Ia membakar lidi yang sudah memendek. Tangannya memutar-mutar lidi mengikuti lingkar kompor. Namun sumbu-sumbu kompornya tak juga menyala.
“Duh, entek lengane euy,” gerutunya dalam bahasa Jawa berlogat Sunda, yang artinya minyakya habis. Tini memang kadang suka meniru dialeg Jawa Sutirah.
Tirah tergugu di pojok ruangan. Ia berpura-pura masih melafalkan bacaan sholat, meski sebenarnya sebelum Tini masuk ia sudah mengucapkan salam. Perasaan tak enak hati menjalari dadanya. Membuat livernya terasa ngilu, seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum. Ia dekap sajadah dan mukena yang habis digunakan sholat subuh. Ia menekur lebih serius, namun konsentrasinya pada kompor yang kehabisan minyak.
Tergesa Tini menyapukan bedak tabur Viva kemasan sachet ke wajahnya, juga memoleskan lipstik ke bibirnya. Lipstik, 5000-an yang dibeli di depan pabrik, yang sering disulap menjadi pasar kaget oleh para pedagang musiman di saat karyawan gajian. Lipstik warna hijau mengkilat, namun setelah disapukan ke bibir ia akan menghsilkan warna merah pekat dan lama-lama membuat bibir nampak kebiruan.
“Cepat Nik, ini sudah mau lewat setengah enam, ntar ketinggalan jemputan lho,” kata Maryani yang menunggu di luar.
“Sakeudeung uey,” jawabnya, sambil tangannya meraih cermin berbentuk love, ke bawah lampu neon 15 watt. Ia melihat wajahnya di cermin, memastikan bedaknya tersapu secara rata di wajahnya. Buru-buru ia memakai sendalnya dan menyambar tas.
“Sopir jemputan memang suka reseh. Kalau kita terlambat sedikit aja, ditinggal. Tapi kalau dia yang kesiangan, molor berjam-jam nggak mau diprotes. Selalu beralasan ini dan itu. Malahan lebih galakan dia. Ayo buruan!” kata Yani. Berdua segera berlari menuju ujung gang.
Tirah memasuki dunia yang lain. Hanya ia sendiri, di dalam sepetak kamar kontrakan. Memandanng berkeliling, hanya ada dua bungkus sarimie, kompor tanpa minyak, dua pasang sandal teplek, beberapa potong baju, seplastik kantong kresek yang selalu rajin ia lipat membentuk segitiga dan dikumpulkan setiap belanja hingga tampak menggelembung, dan tumpukan karet gelang yang mulai membuluk pada ujung-ujung paku.
Di saat sendiri seperti itu, wajah ibu dan dua adiknya bermunculan. Ipah sebentar lagi masuk SMP, Nur sebentar lagi lulus SD. Muka ibunya yang gosong, selalu melintas di benaknya. Ibu yang rela untuk berjemur di sawah berhari-hari bahkan berbulan-bulan sebagai buruh pemotong padi jika musim panen tiba. Ibunya yang tinggal di Magelang sering pergi hingga ke luar daerah, di Purworejo. Kalau musim panen belum tiba, yang bisa dilakukan hanya membuat keranjang pot bibit tanaman, yang akan dibeli pedagang dengan harga 30 perak perkeranjang. Begitulah cara bertahan hidup semenjak bapak Tirah meninggal dunia.
Lebaran kemarin, sambil membantu ibunya di dapur, hati Tirah merasa teriris. Adonan peyek kacang yang hanya dua kilo tak bisa dimatangkan semua. Minyak gorengnya habis. Uang tiga ratus ribu yang ia berikan tak mencukupi untuk membeli kebutuhan lebaran, termasuk membelikan baju adik-adiknya. Padahaal ia sudah mengumpulkan gaji satu bulan dan THR. Sayang, THR-nya hanya 200 ribu. Karena ia baru saja diperpanjang kontrak dan dianggap karyawan baru, meski masa kerjanya sudah empat tahun lebih. Hampir satu juta berhasil dikumpulkan. Rp170 disisihkan untuk jatah kontrakan sekembalinya dari kampung. Rp 400 untuk jatah pulang pergi mudik yang harganya melambung selangit di saat lebaran.
Kala itu, ibunya terpaksa menurunkan penggorengan dan mematikan kayu bakar. Ibu dan anak sama-sama terdiam, sambil membereskan hasil gorengan yang sebagian nampak gosong.
“Sabar yo mbok…bodo tahun ngarep, tidak akan lagi seperti ini…” Tirah berjanji, yang tentu saja tidak didengar ibunya. Karena ucapan itu di dalam hati. Intinya Tirah berjanji bahwa lebaran tahun depan, semuanya akan lebih baik lagi. Dia berjanji tidak akan pergi ke supermarket sehabis gajian, tidak akan tergoda membeli baju, dan membatasi jatah makan cukup sepuluh ribu saja sehari. Supaya bisa mengumpulkan uang untuk lebaran. Supaya bisa membeli kebutuhan dapur, minyak goreng, astor dengan toplesnya, telor, kentang dan kebutuhan lain. Supaya lebaran dilalui dengan nyaman. Supaya bisa menjamu sanak saudara yang berkunjung. Supaya…
Seperti tayangan dalam video, khayalan tentang kampungnya terpenggal oleh ruang sidang di disnaker. Kemarin, ketika sidang kedua digelar, pegawai disnaker Tangerang yang dipimpin oleh Ramayanti, belum punya sikap yang jelas. Bahkan saat sidang ketiga juga digelar, yang ada justru ketidakpastian. Kata personalia pabrik, yang namanya anak kontrak, sudah habis kontraknya ya sudah. Mau apa lagi? personalia menyeringai penuh kemenganan, di depan para Dinas Ketenagakerjaan yang membisu.
Petakan kontrakan itu terasa makin sempit saja. Hanya dinding kusam menjadi saksi bisu setiap tetesan air matanya. Kegalauannya. Keputusasaannya. Tangannnya yang lemah berkali-kali menyeka sudut-sudut matanya yang kian kering. Urat-urat kebiruan nampak bertonjolan di punggung telapak tangan.
Katanya, kontrak itu harus ada perjanjian. Katanya, perjanjian itu harus ada kesepakatan, harus memuat soal masa berlaku kontrak, jenis pekerjaan, dan besarnnya upah. Dan yang paling diingat Tirah adalah, tidak boleh diperpanjang lebih dari dua kali. Perjanjian yang dibuat melanggar hukum, katanya batal demi hukum.
Ia mendesah. Semua kriteria yang ada di undanag-undang ketenegakerjaan, tidak ada yang sesuai dengan apa yang ia alami. Bahkan Tirah sampai tak ingat lagi berapa kali ia diminta menandatangai surat kontrak dan membuat lamaran baru setiap tiga bulan sekali. Belakangan enam bulan sekali. Kok pabrik tetap dianggap tak bersalah?
Kalau disnaker saja tidak bisa menegakkan hukum, lalu di mana lagi hukum ini bisa berlaku sesuai yang ditulis di buku ini..? Apakah di akherat..?
Sebuah torehan terpahat pada dinding. Ada bagian yang tebal dan tipis terputus-putus dalam timpaan warna pulpen yang berbeda. Pulpen warna hitamnya rupanya habis dan disambung dengan krayon merah yang tintanya juga tersendat keluar.
Dinding tetaplah dinding. Ia tidak bisa menjawab, apalagi berbuat sesuatu. Dinding hanyalah benda mati, yang bahkan tak kuasa atas keberadaannya. Tak berhak memilih apakah harus dipasang untuk atap, untuk pintu wc, atau untuk penyekat ruangan. Bahkan benda mati itu, tak memiliki daya apapun ketika ia harus lapuk karena rayap atau kelembaban akibat udara dan terik matahari yang menerpanya secara bergantian.
Hanya dua bulan, triplek itu sudah tak bisa lagi memberi tempat untuk menerima keluhan-keluhan Tirah. Sisi di bagian dalamnya sudah penuh coretan. Spidol, pulpen hingga pensil bermuara di sana. Sebagian mulai mengering dan terlihat lamat-lamat, tertimpa oleh coretan-coretan yang datang menyusul berikutnya, menggambarkan pergulatan emosi yang timbul tenggelam dan luruh dalam kesunyian. Perih.
Kehilangan pekerjaan, membutnya tidak hanya kehilangaan pengharapan atas dirinya. Sebagai perempuan, ia tidak lagi memikirkan memelihara dirinya dalam hal pakaian, bedak, shampo, apalagi parfum. Mencuci rambut pun ia memakai sabun cuci Wings. Bagian terberat adalah, ia melihat pengharapan adik-adiknya di kampung turut sirna. Adik-adiknya yang mungkin tak bisa lagi melanjutkan sekolah, juga ibunya yang mulai tua dan berkurang tenaganya.
Ia menimang-nimang kain biru telor asin, seragam pabrik yang telah setia melekat di tubuhnya sekian lama, seragam yang bukan saja mendominasi bagian penampilannya. Lebih dari itu, ia turut membentuk statusnya sebagai kaum pekerja, yang meskipun gaji kecil tapi berpenghasilan. Seragam itu kini sudah terbungkus koran dan teronggok tak berrdaya di pojok ruangan dalam kepasrahan yang tak pasti.
Sore itu, Tini tidak akan kembali ke kontrakan dan tinggal bersamanya lagi. Kepala regu yang memasukkan Tini bekerja, melarangnya ia tinggal bersama orang yang dianggap melawan perusahaan, karena ikut aksi menuntut upah dibayar sesuai UMK dan rapat-rapat organisai. Tini diberi ultimatum, pilih pindah atau di bernasib sama sepeti dirinya.
Menjelang tengah hari, terik sang surya memanggang kontrakan Tirah yang beratap seng. Baju yang ia kenakan mulai basah. Wajahnya pias. Ia nampak berjalan terbungkuk memasuki kontrakannya. Membawa bungkusan nasi uduk pemberian tetangganya sisa dagangan yang tak habis. Ia mengambilnya separoh, lalu mengikatkannya lagi untuk dimakan sore nanti.
Ia duduk mencangkung sambill sesekali menyeka keringat yang merembes di kening dan pelipisnya. Dari dalam perutnya mengeluarkan bunyi kriuk kriuk. Namun ia tidak segera meyuapkan nasi ke mulutnya. Tiba-tiba…mulutnya bergerak-gerak. Di lehernya urat-urat besar bertonjolan, ada tarik menarik yang ditimbulkan oleh usaha Tirah membendung desakan air dari kedua matanya. Bibir atasnnya digigit kuat-kuat menahan lelehan air mata yang ternyata gagal dibendung. Air itu tumpah dan terus menngalir deras di pipinya yang tirus. Mengalir… dan terus mengalir tanpa kendali.
Sore itu, ia sudah mengemasi semua barang miliknya. Seluruhnya ada dua kardus bermerk mie sedap. Satu kardus untuk baju-baju, satunya lagi digunakan untuk menaruh benda-benda yang menururtnya berharga. Ada jam beker, tas kecil berbordir Winny the Pooh, dan terakhir adalah foto dirinya bersama teman-temannya ketika tour di pabrik. Foto dalam bingkai itu, dibungkus dengan beberapa lembar Koran, agar tidak pecah. Juga boneka tikus, yang dibeli tiga pasag sepuluh ribu di depan gerbang pabrik.
“Maafkan anakmu mbok…mungkin lebaran nanti anakmu tak bisa belikan apa-apa. Anakmu telah gagal..”
Itu kalimat terakhir, yang turut berdesakan di lembar dinding triplek yang sudah penuh coretan. Matahari mengakhiri perjalanannya sore itu, ia menuju ke barat. Udara berdesir lirih disertai redup yang mulai merayap. Seiring azdan magrib dikumandangkan, di dalam kamar petakan itu mulai gelap. Ia terpekur. Mematung. Ia ingin beranjak, namun tak tahu harus pergi ke mana. Air mata kembali mengalir. Dalam kebisuan. Dalam kesunyian. Tanpa isak, tanpa sedu sedan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar