Kamis, 07 Agustus 2008

Keberadaan

KEBERADAAN
Oleh Siti Nurrofiqoh
Saya ada karena saya menulis. Kalimat itu saya dapati pada blog seorang teman. Kata Goenawan Mohamad, tulisan bisa mempengaruhi perubahan, meski perubahan tidak bisa terjadi hanya karena tulisan. Yang saya tangkap dari kalimat itu, ia ingin mengisyaratkan bahwa kehadiran saja tidaklah cukup untuk mewakili keinginan- keinginan, menyampaikan suatu maksud dan tujuan-tujuan.

Kata-kata itu menggugah kesadaran saya. Ternyata, tidak cukup hanya menjadi ada. Betapa banyak waktu saya terbuang ketika saya hanya berada di sebuah ruang dan hanya mendengar, hanya hadir, hanya menjadi penonton, atau hanya menjadi penggembira. Tapi, hal itu juga tidak salah, jika kita meniatkan bahwa mendengar, melihat dan menggabungkan diri sebagai proses belajar. Banyak sekali teman-teman kita yang tidak tahu tapi tidak mau belajar, tidak mau mendengar, tidak mau beranjak mencari tahu.

Apa sesungguhnya arti keberadaan? Dalam pertemanan, keberadaan satu sama lain dianggap ada karena kita berbuat sesuatu untuk teman kita. Untuk tempat curhat dan mencari solusi-solusi, untuk tempat berpegang ketika teman kita goyah, juga pundak yang selalu kita sediakan ketika ia menangis. Kita ada, karena kita punya peran.

Dalam perjuangan buruh, kita berada di wilayah antara ada dan tiada. Keberadaan buruh memang nyata adanya, bergerak ke arah yang sama, dari kontrakan menuju lorong kawasan industri, melintasi pintu gerbang pabrik minimal sehari dua kali. Bergerak mirip robot, patuh, tanpa penolakan.

Buruh, sebagai pelaku pembangunan ekonomi bangsa, secara nyata telah mengisi ruang produksi tiada hentinya. Duduk berjam-jam di bangku mesin, berdiri seharian di ujung-ujung meja finishing, merelakan jari-jemarinya sedekat mungkin pada gesekan pisau-pisau cutting, gerigi-gerigi mesin, bergumul debu dan bahan-bahan kimia, yang terus menggerogoti kesehatan kita dan tak jarang melenyapkan bagian anggota tubuhnya.

Kita ada, makanya roda-roda mesin berputar. Kita ada, makanya produk-produk bermerk internasional menjadi komoditi bermutu tinggi beredar di pasaran. Kita ada untuk mengerjakan dengan teliti setiap langkah jarum jahit agar tidak meleset. Kita ada, untuk mengendalikan mesin-mesin dan mengahasilkan target agar ekspor selalu terpenuhi.

Di tempat itu pula, telinga selalu mendengar makian, hinaan, dampratan yang terus berulang mewarnai hari-hari. Kadang jantung menjadi ngilu saat sang mandor membentak-bentak dan menggebrak, kadang tensi darah juga naik ketika kepala regu memukulkan martil di meja kita, kadang hati terasa perih ketika selalu mendapat prasangka bahwa kita jahat, tidak becus, tidak niat bekerja, atau tuduhan sengaja membuat riject. Kecemasan selalu mewarnai menit-demi menit, membayangkan gunting, kardus, sepatu, jaket yang setiap saat bisa melayang ke muka kita. Kadang kita juga merasa hampa seringan kapas dan nafas menjadi sesak ketika anugerah Tuhan yang kita sandang bernama Manusia ini diubah menjadi babi, anjing, monyet, bangsat, goblok, tolol, tak punya otak.

Perasaan perih, pedih dan nelangsa, menandakan bahwa kita ada di antara permasalahan. Tapi, kapan kita hadir untuk menyelesaikan permasalahan itu? Kapan kita mau meluangkan waktu sedikit saja untuk berdiskusi, berbicara dari hati ke hati kepada sesama buruh dan berpikir melakukan perbaikan nasib?

Kita tidak pernah ada untuk memikirkan masalah-masalah kita. Kita masih saja enggan untuk hadir dalam kebersamaan, diskusi-dsikusi tentang penindasan, tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan dan perlakuan yang tidak menusiawi. Kita juga malas menganyunkan langkah kita, merapatkan barisan, menyeruak di antara teman-teman kita dan melakukan perlawanan.

Kita, tidak pernah ada untuk masalah-masalah kita. Kita hanya peduli dengan masalah pengusaha. Kita hanya berpikir bagaimana bekerja dengan baik, tidak membolos, tidak membuat barang produksi menjadi riject, tidak membuat mandor kita marah, tidak membuat pengusaha mencak-mencak, tidak membuat kerugian perusahaan. Pokoknya, hanya berpikir untuk pengusaha. Apakah saya salah berkata demikian?

Padahal kita resah ketika mendengar rencana revisi pada bab-bab undang-undang ketenagakerjaan yang merugikan. Kita reah ketika status kontrak diberlakukan, lalu outsourching, lalu RPP pesangon, dan revisi-revisi lainnya. Kita memang mendengar. Tapi, memang hanya mendengar dan tak mau berbuat.

Dan revisi yang semakin merugikan buruh pun terus menggila.





Tidak ada komentar: