Oleh Siti Nurrofiqoh
“Stres karena menulis? Lho, wong nulis kok malah stres? Harusnya kan happy? Bingung aku,” kata Fira Basuki malam itu, ketika menceritakan keluhan temannya.
Menulis adalah sebuah pergumulan penuh cinta. Hati, jiwa, rasa, terlibat seluruhnya. Begitulah setidaknya yang saya tangkap dari diskusi bersama Fira Basuki pada Rabu malam, di Gedung Pantau, Jl Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, di kelas narasi angkatan ke Sembilan.
Menurutnya, saat menulis adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Apalagi ketika bukunya sudah mau selesai. Dan, ketika buku sudah selesai dan berada di tangan penerbit, justru ada rasa kehilangan. Rasa tak rela. Perasaan itu hampir sama ketika kita berpisah dengan orang yang kita cintai. Bisa juga seperti berpisah dengan anak kita.
Banyak yang berpikiran menulis itu sebuah kebutuhan, sekedar iseng, hobi, atau tuntutan pekerjaan. Bagi Fira, menulis merupakan perpaduan semuanya. Kebutuhan, berbagi, kenang-kenangan, membangun personality branding dan mencari uang.
Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan kenangan. Dalam karyanya yang terkesan ringan, setidaknya mengingatkan kita perlunya memberi ruang dalam jiwa untuk berimajinasi dan rehat sesekali, dari penatnya persoalan yang menuntut keseriusan.
Untuk menjadi penulis, kita perlu dekat dengan kata-kata. Artinya jangan takut mencoba menggunakan kata-kata. Kemudian pengalaman, pengetahuan, dan waktu. Mengenai waktu, kita memang harus melatihnya. Siang hari kita memang sering sibuk untuk pekerjaan. Dan kita perlu melatihnya untuk bangun pagi, lalu menulis.
Dari mana datangnya ide? Ia bisa dari pengalaman, sekeliling, imajinasi dan mimpi. Karya Fira berjudul Jendela-jendela, Pintu dan Atap, juga kisah yang diambil dari pengalamannya bersama kedua kakaknya dan teman kakaknya. Menurutnya, kedekatan kita pada dunia yang kita ketahui, akan menghasilkan tulisan yang lebih dalam dan jujur.
Dunia yang kita ketahui masing-masing akan menjadi kunci yang menarik. Dari sana setiap pribadi menghadirkan kekhasannya sendiri-sendiri. Kita tidak bisa menjadi seperti Fira Basuki, dan sebaliknya.
“Jangan memaksa saya menulis sesuatu yang tidak familiar dan tidak saya ketahui. Kalau saya nulis itu, berarti saya harus hidup dalam itu. Kalau hidup dalam itu berarti saya harus meninggalkan dunia saya dan meluangkan waktu untuk masuk ke dunia itu. Saya punya anak dan harus bertanggung jawab, jadi nggak mungkin aku tinggalin anakku sebuln karena aku mau ngegembel, misalnya, kan nggak bisa!” begitu kata Fira, ketika ada peserta diskusi bertanya, kenapa Ia tak mengangkat persoalan-persoalan tentang kultur dan problem yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat bawah.
Jalan hidup orang berbeda beda. Dan di sanalah sesungguhnya, setiap kita memiliki peluang menuliskannya. Tinggal bagaimana kita menerapkan teori yang kita miliki, dan mengelola kedisiplinan diri soal waktu. Dan...ini dia, ada hal mesti kita simpan untuk menambah koleksi pengetahuan kita. Kata Fira, lead akan berpengaruh memikat pembaca. Maka itu, jangan membuat kata pembuka atau kalimat panjang pada lead tulisan kita. Lead yang menarik biasanya lead yang pendek. Misalnya sapaan, mati, nafas, dan sebagainya. Ia akan membuat orang penasran. Tapi, tentu kalimat berikutnya juga harus menarik. Apalagi isi ceritanya. Rahasia?
Fira mencermati rahasia dari karya-karya Sheakpeare. Di sana, ia mencatat tiga unsur: drama, komedi, tragedi. Unsur itulah yang mampu memainkan emosi dan perasaan pembacanya.
B1ru, adalah karyanya juga. Paris Pandora, Brownies dan Kapitan Pedang Panjang juga judul-judul novel yang dihasilkannya. Ia bilang, “Aku bernafas dari kata-kata.”
Hm, siapakah dari kita yang akan menambahkan warna merah, kuning atau jingga? Menulislah terus. Dunia menunggu disemarakkan oleh warna hidup kita melalui karya-karya tulisan yang positif dan membangun.
Jakarta 30 juni 2010
Sabtu, 03 Juli 2010
Kamis, 01 Juli 2010
Emisi di Balik Pepohonan
Oleh Siti Nurrofiqoh
Di hari menjelang senja, gerimis mengguyur lembut hamparan rumput yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Dari ketinggian, terlihat seperti ular naga yang meliuk-liuk mengapit jalanan hitam beraspal. Kami duduk bertiga di teras Café Daun, sebuah bangunan yang menempati dataran tinggi di Kebun Raya Bogor itu.
“Perjalanan wisata yang buruk,” kata temanku. Ia sudah terlihat kesal ketika pertama menginjakkan kaki di tempat itu.
Di bawah sana, beberapa kendaraan sering melintas. Mobil-mobil sering mengganggu pemandangan dan memberi kebisingan. Tadinya dalam hatiku berharap, begitu memasuki Kebun Raya, mata bisa dimanjakan oleh hijaunya pepohonan, bisa berjalan santai sambil menghirup wanginya dedauan, atau mencium bau tanah kering yang mendadak basah oleh hujan.
Tetapi harapan itu hanya bertahan beberapa meter saja dari loket penjual karcis masuk. Deretan mobil sudah terparkir di sana. Dan emisi terus ditaburkan dari para pengunjung yang berkeliling menggunakan kendaraan. Selain menghirup kepulan asap hitam dari knalpot, pejalan kaki juga selalu dibuat was-was dan harus terus waspada setiap kali mobil-mobil itu melintas.
“Duh, ketemu emisi lagi,” kata temanku dengan raut tegang.
“Ndak tahu nih. Kok pada ndak punya etika sih. Kalau begini, sama saja seperti jalan raya. Benci aku,” temanku yang satu menimpali lagi. Mimik mukanya tampak keruh.
“Hm. Beginilah kalau pergi sama aktivis lingkungan,” kataku mencoba bercanda, mencairkan suasana. Meski hatiku kesal dan tak berselera.
“Bukan begitu. Masak mobil di mana-mana, kayak jalan raya jadinya. Tuh lihat!” katanya seraya menujuk deretan mobil parkir di sepanjang jalanan yang kami lalui. Mirip tempat parkir di DPR-RI.
“Gimana sih pengelolanya? Kok membolehkan mobil-mobil masuk? Emsisinya itu lho,”
Cemberut di muka kedua temanku semakin bertambah, ketika mobil-mobil sering menyalip dan datang dari arah depan.
Akhirnya kami hanya duduk-duduk di tepi kolam sambil memandang tumbuhan teratai. Daunnya yang mirip jamur raksasa itu sebagian terkoyak oleh ranting kering yang jatuh, sebagian tertaburi bunga-bunga yang luruh dari pepohonan.
Ada keheningan menyelusup jiwa dan mengendurkan syaraf-syaraf ketegangan. Tapi semakin siang, semakin sering juga bunyi klakson dan deru kendaraan yang lewat mengusik ketenangan, mengalahkan cicit burung yang terbang di ketinggian. Burung-burung itu, agaknya ketakutan bercengkrama di dahan-dahan yang rendah.
Kami berdiri dan berjalan memasuki hutan kecil di sekitar rerumpunan bambu. Di sepanjang jalan kecil yang membelah perkebunan itu, terkadang telinga masih menangkap bunyi kendaraan. Kedamaian yang alami telah pergi. Tak ada lagi kesenyapan alam, yang mampu memberi jeda pada pikiran, untuk sekedar diam, dan menikmatinya tanpa kata.
Kami memutuskan mendatangi sebuah kafe. Dan memesan beberapa makanan dan minuman hangat. Temanku memesan bandrek untuk bertiga. Hujan masih terus mengguyur kawasan itu. Hujan seperti menyembunyikan kami di balik tirai yang maha luas. Namun entah kenapa, ia menghadirkan perasaan yang lepas.
“Lihat, hujannya lembut. Indah. Aku selalu suka dengan hujan,” kata salah seorang temanku. Kami bertiga menikmati pemandangan itu dalam diam.
Kami berhenti menggerutu. Di bawah sana, orang-orang berlari mencari tempat teduh. Sebagian lagi terlihat sengaja membasahkan diri, melebur bersama anugerah Illahi. Hal itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Mandi hujan selalu ada kenikmatan tersendiri. Meski harus sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi.
Di antara orang-orang yang berlari ingin cepat menemukan tempat berteduh, sebuah sedan warna biru juga memacu kecepatannya. Entah bagaimana awalnya, sedan itu menerobos jalur hijau, melayang meninggalkan jalanan aspal.
“Brakk!”
Mobil masuk ke selokan. Orang-orang berteriak. Para pejalan kaki yang baru melewati tempat itu menoleh dan mengusap dada sambil menggelengkan kepala.
Kami juga menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu. Dan, bergumam: untung, orang-orang itu sudah lewat. Selisih beberapa menit, jiwa-jiwa bisa melayang sia-sia.
Jakarta 31 Januari 2009
Di hari menjelang senja, gerimis mengguyur lembut hamparan rumput yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Dari ketinggian, terlihat seperti ular naga yang meliuk-liuk mengapit jalanan hitam beraspal. Kami duduk bertiga di teras Café Daun, sebuah bangunan yang menempati dataran tinggi di Kebun Raya Bogor itu.
“Perjalanan wisata yang buruk,” kata temanku. Ia sudah terlihat kesal ketika pertama menginjakkan kaki di tempat itu.
Di bawah sana, beberapa kendaraan sering melintas. Mobil-mobil sering mengganggu pemandangan dan memberi kebisingan. Tadinya dalam hatiku berharap, begitu memasuki Kebun Raya, mata bisa dimanjakan oleh hijaunya pepohonan, bisa berjalan santai sambil menghirup wanginya dedauan, atau mencium bau tanah kering yang mendadak basah oleh hujan.
Tetapi harapan itu hanya bertahan beberapa meter saja dari loket penjual karcis masuk. Deretan mobil sudah terparkir di sana. Dan emisi terus ditaburkan dari para pengunjung yang berkeliling menggunakan kendaraan. Selain menghirup kepulan asap hitam dari knalpot, pejalan kaki juga selalu dibuat was-was dan harus terus waspada setiap kali mobil-mobil itu melintas.
“Duh, ketemu emisi lagi,” kata temanku dengan raut tegang.
“Ndak tahu nih. Kok pada ndak punya etika sih. Kalau begini, sama saja seperti jalan raya. Benci aku,” temanku yang satu menimpali lagi. Mimik mukanya tampak keruh.
“Hm. Beginilah kalau pergi sama aktivis lingkungan,” kataku mencoba bercanda, mencairkan suasana. Meski hatiku kesal dan tak berselera.
“Bukan begitu. Masak mobil di mana-mana, kayak jalan raya jadinya. Tuh lihat!” katanya seraya menujuk deretan mobil parkir di sepanjang jalanan yang kami lalui. Mirip tempat parkir di DPR-RI.
“Gimana sih pengelolanya? Kok membolehkan mobil-mobil masuk? Emsisinya itu lho,”
Cemberut di muka kedua temanku semakin bertambah, ketika mobil-mobil sering menyalip dan datang dari arah depan.
Akhirnya kami hanya duduk-duduk di tepi kolam sambil memandang tumbuhan teratai. Daunnya yang mirip jamur raksasa itu sebagian terkoyak oleh ranting kering yang jatuh, sebagian tertaburi bunga-bunga yang luruh dari pepohonan.
Ada keheningan menyelusup jiwa dan mengendurkan syaraf-syaraf ketegangan. Tapi semakin siang, semakin sering juga bunyi klakson dan deru kendaraan yang lewat mengusik ketenangan, mengalahkan cicit burung yang terbang di ketinggian. Burung-burung itu, agaknya ketakutan bercengkrama di dahan-dahan yang rendah.
Kami berdiri dan berjalan memasuki hutan kecil di sekitar rerumpunan bambu. Di sepanjang jalan kecil yang membelah perkebunan itu, terkadang telinga masih menangkap bunyi kendaraan. Kedamaian yang alami telah pergi. Tak ada lagi kesenyapan alam, yang mampu memberi jeda pada pikiran, untuk sekedar diam, dan menikmatinya tanpa kata.
Kami memutuskan mendatangi sebuah kafe. Dan memesan beberapa makanan dan minuman hangat. Temanku memesan bandrek untuk bertiga. Hujan masih terus mengguyur kawasan itu. Hujan seperti menyembunyikan kami di balik tirai yang maha luas. Namun entah kenapa, ia menghadirkan perasaan yang lepas.
“Lihat, hujannya lembut. Indah. Aku selalu suka dengan hujan,” kata salah seorang temanku. Kami bertiga menikmati pemandangan itu dalam diam.
Kami berhenti menggerutu. Di bawah sana, orang-orang berlari mencari tempat teduh. Sebagian lagi terlihat sengaja membasahkan diri, melebur bersama anugerah Illahi. Hal itu mengingatkanku akan masa kecil dulu. Mandi hujan selalu ada kenikmatan tersendiri. Meski harus sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi.
Di antara orang-orang yang berlari ingin cepat menemukan tempat berteduh, sebuah sedan warna biru juga memacu kecepatannya. Entah bagaimana awalnya, sedan itu menerobos jalur hijau, melayang meninggalkan jalanan aspal.
“Brakk!”
Mobil masuk ke selokan. Orang-orang berteriak. Para pejalan kaki yang baru melewati tempat itu menoleh dan mengusap dada sambil menggelengkan kepala.
Kami juga menggelengkan kepala menyaksikan pemandangan itu. Dan, bergumam: untung, orang-orang itu sudah lewat. Selisih beberapa menit, jiwa-jiwa bisa melayang sia-sia.
Jakarta 31 Januari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)