oleh fiqoh
Pagi yang redup, di sebuah hamparan rumput tak jauh dari persawahan penduduk. Berbondong-bondong para Ibu menuntun anak-anak kecil, dan membawa bayi dalam gendongannya.
Mereka menyaksikan, ketika hewan-hewan mulai didekatkan pada bilah-bilah parang. Gress. Darah mengucuri bumi. Tangan para pemuda dan bapak-papak dengan gesit segera menyeset dan memotong-motong dagingnya sesuai jumlah yang tertera di daftar nama. Tapi bukan mereka.
Tahun ini, diperkirakan angka pengangguran di Indonesia berjumlah 8,12 juta jiwa. Itu belum termasuk semi pengangguran. Minggu lalu, daftar penerima daging qurban telah didata beberapa hari sebelum momen Idul Adha 1432H, yang tiba pada 6 November 2011.
Kaum duafa memang selalu berada di wilayah paling pinggir, sebagaimana kemiskinan di masyarakat kita, yang mengepung luas di pinggir arena para elit berpesta pora. Tak sepenuhnya kemiskinan bisa dideteksi dan direduksi melalui angka. Tapi setidaknya, sebuah kondisi selalu memberi suatu indikasi. Dan para penghuni komlplek perumahan kelas menengah, setidaknya lebih mampu dibanding para pendatang yang kumal-kumal itu.
Hari Raya Qurban, menghadirkan semangat berkorban dan semangat mencintai dalam ketakwaan. Sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim, yang sanggup untuk mengerat leher putranya dengan tajamnya pedang.
Kecintaan dan ketakwaan Nabi Ibrahim dengan cara itu, adalah salah satu bantuk, yang terjadi di masa itu, dengan ilham tertentu.
Kini kita mengambil nilai, dari satu peristiwa dalam peristiwa yang berbeda, ilham yang berbeda. Nilai kesadaran untuk mengorbankan dan mempersembahkan dalam semangat cinta -- yang kaya berkorban kepada yang miskin, demi mengatasi kesenjangan sosial antarmanusia.
Qurban adalah semangat mencintai, semangat merengkuh dengan kasih. Mencintai-Nya dengan cara mencintai mereka – yang terpinggirkan, dan yang dipinggirkan dari hukum sosial kita.
Sebagaimana ayat ini, "…telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak, maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.." (Qur'an. S.al-Hajj:27-28)
Dalam ayat di atas, binatang ternak merupakan salah satu harta. Dan harta pada jaman ini, tidak selalu berbentuk binatang seperti jaman itu. Berbagi daging qurban, bagian dari cara kita peduli melalui harta yang kita miliki – orang berkecukupan harta peduli pada mereka yang sengsara. Tapi kita jarang mengerti makna sengsara, dan kita mengubah kaya dan miskin menjadi yang mampu dan tak mampu, meski ia relatife. Selanjutnya, yang mampu dan tak mampu dibawa dalam sekup yang kecil bernama lingkungan – dimana yang disebut mampu memiliki mobil tiga, dan yang tak mampu bermobil satu.
Kembali kepada data dan kaum yang duafa. Data sungguh bersikap diskriminasi kepada mereka yang terpinggirkan. Karena ia sama sekali tak mengakomodir realita yang sebenarnya.
Di hari Qurban, adalah sebuah saat, dimana kita lepas dari kepentingan komunitas. Melihat kemiskinan setidaknya bisa melalui pekerjaannya, tempat tinggalnya, lingkungannya.
Qurban, bukan untuk dibagikan pada yang tidak mampu di lingkungan kita saja. Kasih sayang kita harus menjangkau mereka yang berada di pinggir kemapanan kita, zona lingkungan nyaman kita. Semangat qurban adalah semangat menanggalkan yang formalitas -- tidak lagi berbagi lewat data, tapi berbagi dengan hati, nurani, pikir, dan rasa yang peka. Mereka yang sekian lama terpinggirkan oleh pemiskinan struktural, jangan kita pinggirkan lagi oleh hukum sosial kita.
Hari Raya Qurban, adalah sebuah refleksi tentang makna berbagi. Bukan sebuah penjiplakan ulang perbuatan semata. Agar kesalehan kita, tidak membuat kita menjadi tamak di mata-Nya.
Adiyasa, 6 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar