oleh fiqoh
Balita dalam pangkuan ibunya, mulutnya singgah di payudara. Gadis kecil usia 4 tahun lendat-lendot di dekat adiknya yang menetek manja
Mereka sedang berada di sekitar bale bambu di depan
rumahnya. Rumah di dekat sungai dikepung sawah-sawah. Sang ibu menurunkan balitanya, dan Tetehnya
mengajaknya bermain.
Gadis usia 4 tahun itu
bernama Mutiara. Sejak adiknya lahir ibunya memanggilnya Teteh. Siang itu,
Teteh sedang mengaduk-aduk debu dalam penggorengan mainannya. Ibunya berbaring terserang
demam.
Teteh menghentikan
mainan masak-memasaknya karena tangan adiknya menarik-narik minta bermain
kuda-kudaan. Tangan mungil Teteh menapak tanah dan menekukkan kedua lutut. Adiknya
segera naik di punggung kecilnya yang kurus.
Dan cerita pun bermula.
***
“Mak...Teteh mah suka malu,” ucapnya sambil
mendongak ke arah ibunya.
Tapi sang ibu hanya
melenguh dan acuh. Hawa panas-dingin dirasakan silih berganti.
Tak lama terdengar
suara tangis. Teteh sedang dipukul-pukul punggungnya oleh adiknya. Karena
langkah Teteh mulai tertatih.
Ibunya menoleh
sekilas, dan Teteh kembali merangkak. Andai ibunya tahu, bahwa keringat dingin
sedang membungkus Teteh bukanlah keringat dingin biasa. Wajahnya pun terlihat
pias di pipinya yang tirus.
“Mak...Mak, Teteh mah suka malu sama Mamang.” ucapnya
sekali lagi.
“Malu sama mamang
siapa Teh?” jawab ibunya tanpa menoleh.
“Mamang Badun.”
“Memang kenapa Teh,
kenapa Teteh malu?” tanyanya sekedarnya karena saat itu pinggangnya teramat nyeri.
“Teteh malu lihat
Mamang tidak pakai celana.”
“Kok Teteh yang malu?”
Ibunya merasakan
ketakberesan dan ia membalikkan badannya memandang Teteh yang masih
berputar-putar dengan wajah kuyu. Ibunya menyangka Tetah kelelahan, dan ia
turunkan adiknya dari punggung kecil itu.
”Di mana Teteh lihat
Mang Badun nggak pakai celana?” sambungnya lebih serius.
“Di dalam rumah Mak,
kalau Teteh lagi main sama Ucu.” Ucu adalah anak Badun, sepantaran Teteh. Mereka
adalah teman bermain.
“Ya Teteh jangan
ngeliatin, nggak boleh Teh, pamali.”
“Teteh tidak ngliatin Mak,
tapi Teteh diitindih…beraaaaaat deh Mak…sampai eungap Teteh. Tapi masih ditindih-tindih gitu Mak,” kata gadis itu sambil tangannya memeragakan
dengan menekan-nekan paha ibunya yang kini dalam posisi duduk dan menyambar
adiknya ke dalam pangkuan.
“Terus?” Ibunya
terkesiap dan menahan diri untuk tetap bersabar dan bersikap wajar.
“Terus Teteh tangannya
diambil mamang, terus disuruh pegang yang seperti punya dede ini, tapi punya
Mang Badun mah gedeeeeee...Mak.”
Mata Teteh menerawang
ke arah pohon bambu yang saat itu berderit-derit. Hingga Teteh tak menyaksikan
mata ibunya yang menyipit.
”Terus ada rambutnya.”
”Memang Ucu nggak
bersama-sama Teteh?
”Disuruh ke warung
sama Mang Badun”
“Terus Teteh disuruh
apa lagi setelah itu?“
“Terus sininya Teteh
disiram air,“ tangannya yang mungil menunjuk sela pahanya. Dan ketika itu
ibunya hanya ternganga, namun kesadaran yang tersisa membuat tangannya
merangkul gadis kecilnya. Tanpa mengetahui gejolak hati ibunya, Teteh terus
melanjutnya ceritanya.
“Airnya keluar dari
yang seperti punya dede Mak, tapi gedeeeeeee!” sambil tangan Teteh memeragakan.
Teteh berhenti
sejenak, karena batuknya membuatnya tersedak. Seiring itu, bagai berhenti juga detak jantung sang ibu.
“Astaghfirullah…” perempuan itu mendesah, menengadah, membuang nafas
menhempaskan resah dan amarah. Ia pejamkan
mata sambil tangannya meremas ujung kain.
Ia pandangi wajah anak
perempuan yang kini ngelendot di pangkuannya, dan ia menguatkan hatinya untuk
menggali lebih dalam, “Air ap…a Teh?”
suara peremputan itu pilu sambil menahan dada yang terasa ngilu.
“Air itu…” mata Teteh
seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Lengket…terus airnya,
airnya…” matanya yang polos kembali mengingat-ingat sesuatu.
“Airnya kenapa Teh?
Air apa?”
“Seperti ingus dede
Mak. Itu Mak...seperti kalau dede
sedang pilek. Nemepl di sini Mak,” terus dibersihin sama mamang,
digosok-gosok.”
“Teteh……..!!!”
***
Angin lisus sedang menerbangkan helai-helai daun bambu dalam
pusaran di udara di siang penuh debu. Dalam kebingungan yang tak tahu harus
berbuat apa, ia berlari menyusuri kebun palawija tetangga menemui suaminya.
Dalam sekejap terlihat
bayangan berkelebat menerobos rerimbunan pohon singkong. Mereka mendapati
anaknya sedang dalam pelukan perempuan neneknya.
Lelak itu langsung
merebut Teteh dari pangkuannya.
“Teh, sini Teh,”
katanya bergetar.
“Teteh diapain sama Mamang Badun?” tanyanya
sambil berlutut dengan nafas mendengus kasar.
Teteh terlihat ketakutan,
dan pada saat itu celana dalam Teteh dibuka paksa oleh tangan ayahnya yang
kekar.
“Jangan Ayah…! Teteh
malu Ayah! Teteh nggak mau Ayah…! Nggak mau!”
Tapi ayahnya yang
sudah kalap tak lagi memedulikan teriakan-teriakannya. Celana dalam anaknya
tetap dilepas paksa bersama tubuh Teteh yang meronta-ronta.
Saat itu, kedua orang
tua itu tak menyadari wajah anaknya yang telah pucat pasi. Kecuali perempuan
renta, yang bagai pendekar berkelebat merebutnya dalam gendongan.
”Bukan begini cara
kalian!” bentaknya sambil menatap tajam pada lelaki yang kini terduduk di pojok
halaman mengatupkan rahang.
“Teteh mandi sama
nenek ya…?” katanya sambil
diciumnya kening cucunya. Ia usap wajah pucat dan terisak-isak itu. Tubuhnya
gemetaran dalam dekapan, bagai anak rusa yang baru lepas dari ujung senjata. Pandangannya
sesekali tertuju pada kedua orang tuanya yang hari itu terasa tidak biasa.
“Cup…cup…cup,” bujuk sang
nenek sambil mendekap dan mencium kembali kening Teteh.
“Teteh mau jajan?”
bujuk neneknya lembut dan dibalas dengan anggukan kecil Teteh.
“Tapi Teteh Mandi dulu
sama nenek ya..?” kata perempuan tua itu sambil melemparkan pandang pada anak
dan menantunya. Mereka masih membisu, bagai benda-benda yang menyerupai batu.
Ditemani ibunya dari
dekat, nenek mulai memandikan Teteh. Ia buka perlahan sambil terus diciumnya
pipi anak itu. Kini nenek mulai menggosok-gosok lembut punggung hingga perut
dan...dengan hati memeriksa bagian vital
milik Teteh.
”Masya Allah!” pekiknya.
Teteh berjingkat
kaget, dan perempuan renta itu segera memberinya senyuman manis di mata Teteh.
“Merah-merah dan
seperti lecet,” Kata neneknya berbisik pada menantunya yang matanya telah
memerah.
Selanjutnya ketiga
orang itu saling berbisik, dan neneknya pergi ke warung untuk memenuhi janjinya
membelikan jajanan chiki. Habis makan chiki, Teteh terlihat mengantuk dan minta
tidur.
***
Sore itu mereka sudah
sampai di sebuah rumah bertuliskan Praktek Bidan.
Dengan permen dan
minuman Jelly Drink di tangan, Teteh digendong masuk ruang praktek bidan. Perempuan
muda berwajah sumeah itu, yang sebelumnya telah diberi tahu tujuan kedatangan
mereka. Ia pun menyambut Teteh dengan sangat ramah.
Sambil terus membujuk
dan mengajaknya bercanda, Bidan itu pun mengajak Teteh ke ruang periksa diikuti
ibunya. Ibu Teteh yang menunggu dari sudut ruangan melihat wajah Bidan
berkerenyit. Bidan itu kembali memeriksa dengan lebih teliti, dan menggeleng-gelengkan
kepala.
“Dari bekas lukanya,
diperkirakan ia sudah mengalami kekersan sebanyak 3 kali.”
Melalui isyarat
Bidang, neneknya membawa Teteh keluar. Dan kedua orang tua Teteh segera
terlibat percakapan serius dengan suara yang sangat pelan. Bidan itu
menganjurkan mereka membawa ke Dokter agar bisa divisum.
Perlu menunggu lepas
isya untuk menuju praktek dokter. Dalam keadaan seperti itu kebisuan
menggantikan seluruh pergumulan emosi dari hidup yang selalu bising.
Di ruang tunggu, jarum
jam bletak-bletok, bagai ketukan vonis yang tak seharusnya ditanggung anak tak
berdosa itu.
Dokter keluar ruangan
membimbing gadis mungil yang mulai terlihat lelah dan tak bergairah. Kemudian
ia mengisyaratkan kedua orang tuanya masuk.
“Dilihat dari bekas lukanya, ini sudah empat
kali.”
”Harus divisum,”
sambung Dokter tersebut ketika tidak ada respon dari pasangan suami-istri itu.
”Berapa biayanya Pak
Dokter?” tanya lelaki dari pasangan itu ragu.
“Jangan pikirkan itu,
biar saya yang membantu. Saya juga punya anak perempuan yng masih seusia dia.
Pikirkan masa depannya, sekarang anak ibu masih bisa tertawa-tawa, tapi
traumanya akan dia alami nanti. Jangan biarkan orang yang sudah merusak masa
depannya tidak diadili,” ucap dokter itu bagai ditujukan pada diri sendiri.
***
Pelataran Polsek di
kawasan Serang. Sebagian bunga-bunga dan pepohonan hias memperlihatkan bayangan
hitam yang mencipta nuansa horor. Keindahan tak menampakkan diri karena cahaya
tak menyebar sempurna. Bagai hidup, dimana terang dan gelap adalah sekeping
mata uang.
Teteh yang nampak lelah,
sedang diajak bercanda penyidik. Dilihat dari kejauhan, mirip seperti suasana
keluarga bahagia yang tengah bercengkrama.
Teteh selalu menjawab
pertanyaan-pertanyaan penyidik dengan lancar, sebagimana ia bercerita kepada
ibunya di dekat bale siang tadi, bahkan lebih rinci lagi.
Ah. Sebuah drama yang
tak lucu, yang harus dilakukan mau-tidak mau, juga sebuah tawa yang tentu saja
tawa terpahit bagi seorang ibu.
Penyidik terus
menggali, dan Teteh terus mengisahkan kisah bencana itu seringan mendongengkan
kisah cinderela.
Mang Badun sudah
menjadi waga baru di balik jeruji besi, entah untuk vonis berapa tahun lamanya.
Dan seiring itu, Teteh yang kini berada di dunia kanak-kanaknya, akan menjadi
gadis dewasa, memasuki kehidupan yang, tidak sesederhana kejujuran membuahkan
kelimpahan jajanan, melainkan cap dan dogma, juga barangkali trauma yang tak
tertuntaskan dari dalam dirinya sendiri.
Adakah yang ingin
turut peduli?
Adiyasa, 24 Juni 2013