Keputusan pada siapa suara diberikan, sebagian masyarakat
yang memiliki pengetahuan lebih baik perlu merenung, menimbang, meneliti
fakta-fakta, menganalis. Rakyat yang belum dan tidak memiliki kemewahan berupa
pendidikan formal, membaca koran, buku, atau akses informasi yang berimbang
minimalnya bisa menyaksikan acara televisi yang harusnya fair dan berimbang. Peran media harusnya menyajikan kebenaran
informasi, yang membantu mengedukasi warga melalui figur-figur yang layak untuk
dimintai pendapat atau pernyataan, menggali fakta-fakta yang lebih mendalam.
Hak demokrasi menentukan pemimpin bangsa yang hanya terjadi lima tahun sekali, tidak bisa dibuat sekedarnya. Jika seseorang perlu upaya keras dan cermat menentukan karir atau perjuangan keluarga, maka kita juga harus mau menaruh perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menentukan suara kita dalam memilih pemimpin negeri ini. Negeri yang wajib memenuhi janji terhadap hak-hak konstitusi rakyatnya, janji yang telah lama diikrarkan dan telah lama dilanggar. Hingga rakyat jauh dari kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan yang layak, serta jaminan kesehatan. Itulah Hak Asasi Manusia yang mendasar yang mula-mula harus dipenuhi, selain rasa aman, keadilan dan kebebasan berkeyakinan.
Kini, rakyat kembali diperdengarkan gemuruhnya janji. Seluruh ruang dalam hidup kita disesaki janji-janji, slogan, dan motto. Sudah lama, demokrasi menjadi alat bagi kepentingan penguasa mendustai rakyatnya, sudah lama demokrasi menjadi penyalung suara dengan promosi janji yang mengiklankan kualitas dari fakta sebaliknya. Semua menjadi hal biasa dan rakyat sudah terbiasa.
Tapi pemilu kali ini berbeda. Demokrasi yang dipertontonkan melalui media lebih banyak membahas kampanye hitam, kegiatan kejahatan dari pihak satu terhadap pihak lain. Selebihnya, dalam berbagai acara terkait pemilu, masyarakat diajak menyaksikan aksi kekerasan yang tak lagi beretika, tidak sportif, penekanan, pemaksaan kehendak, saling menjelekkan.
Serentak terjadi di ruang-ruang jejaring sosial media dan antarindividu, karakter kekerasan dan intoleransi pun bak virus yang menular. Pihak-pihak yang mengusung kedamaian malah melancarkan rasa tidak aman, kelompok yang katanya menentang kekerasan tapi berlaku keras, kelompok yang menginginkan keragaman tapi menjadi tidak toleran, dan merasa kandidat capres dan cawapres-nya paling benar, paling oke, paling sempurna. Suara-suara yang kuat membungkam suara-suara lemah. Rakyat awam mendapat kebingunan.
Selama ini masyarakat terlanjur mempercayai media untuk
membangun opini publik. Dan selama ini pula, apa yang diusung di media selalu
menjadi trend di masyarakat baik itu soal bahasa, model pakaian, gaya hidup,
hingga bagaimana menentukan sikap terhadap koruptor, wakil rakyat, dan sikap politik.
Memilih pemimpin bangsa jelas menggunakan seluruh rasa dan sepenuh hati melalui
berbagai informasi yang benar, rekam jejak calon berdasarkan fakta-fakta, dan
analisis yang jujur serta mendalam. Unsur itu yang harusnya dilakukan media sebagai
pemberi informasi dan edukasi. Namun yang terjadi sekarang, media massa baik
cetak dan elektronik lebih sering mempertontonkan bentuk kekerasan yang jauh
dari etika.
Capres Jokowi –JK memaknai demokrasi adalah sesuatu yang
menggembirakan, ada juga yang mengatakan
demokrasi harusnya sesuatu yang sakral. Dan kaduanya tidak terjadi, kecuali
para pemilih awam yang jauh dari rasa dibimbing dan diayomi.
Semoga rakyat yang terbelakang-kan dan terdzalimi dalam
proses ini memiliki caranya sendiri, cara yang dibimbing akal sehat -- tak
hanya melihat yang tersurat, melainkan merasakan yang tersirat.
Bagi rakyat awam dan lemah, suara yang ia titipkan pada
pemilu adalah suara Tuhan. Suara yang mengharap perubahan lebih baik bagi agama
dan bangsa, bagi kemanusiaan. Karena demokrasi adalah sebuah perjalanan
spiritual yang suci dan agung.
Cikuya, 17 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]