Rabu, 05 Januari 2011

Gebyar Optimisme

Oleh Fiqoh

Gebyar kembang api tak terhitung jari. Begitu selalu, pesat rakyat menyambut tahun baru. Glamor dan meriah mewarnai detik pergantian 2011. Semua serba cepat, serba sesaat. Dan segala yang gemerlap segera berganti gelap.

Instan. Seperti jeritan anak kecil di tetangga kamar sebelah, memaksa ibunya membelikan petasan yang bisa terbang, saat itu juga. Sang ibu terpaksa tebalkan muka, meminjam uang ke kamar tetangga. Demi menyenangkan anak yang mungkin mengira ibunya tukang sulap. Setengah berlari ia menuju pasar. Terbelilah sebatang kembang api untuk menyambut tahun baru malam itu.

Segalanya serba sesaat, bagai menyantap produk instan siap saji. Si anak yang tak peka kemiskinan orang tua, mengingatkanku pada sebuah hubungan globalisasi. Jiwa-jiwa saling berhimpit tanpa adanya kedekatan emosi.

Agaknya, seperti itu juga hubungan pemerintah dengan rakyat di negeri ini. Bedanya, permintaan si anak masih sebatas kebutuhan, sedangkan keinginan pemerintah dikarenakan keserakahan. Ketakpekaan si anak pada kemiskinan orang tua, karena si anak memang belum mengerti dan belum dewasa. Sedangkan ketakpekaan pemerintah terhadap rakyat karena keculasannya.

Dengan sepuluh ribu yang dipinjam dariku, malam itu anak tetanggaku tertawa-tawa bersama anak-anak yang lain, juga para orang tua. Semua tertawa. Kembang api miliknya meletus satu kali, melesat di antara kembang-api yang lain, dan ibunya nampak lega. Serba cepat, sesaat, dan semua yang gemerlap berganti gelap.

Itulah potret negeri ini. Negeri yang sering didominasi hal-hal serba instan. Mudah menjanjikan harapan, keadilan, kemakmuran, meski yang terjadi adalah sebaliknya. Instan dan karbitan sering juga ditempuh bagi orang-orang yang ingin menjadi pejabat, anggota dewan, pegawai negeri, dan cara memperoleh gelar. Barang instan bukan lagi sebatas produk makanan, tapi juga kejujuran. Semudah bersumpah, berjanji, dan mengingkarinya.

Polanya selalu terbalik. Yang penting bersumpah dulu, jujurnya belakangan. Tidakkah kejujuran itu sebuah jejak laku? Jika telapak kita kecil, jejaknya kecil. Jika lakunya miring jejaknya pasti miring. Ia tidak ditentukan oleh sumpah atas nama apapun. Karena kejujuran adalah perbuatan setiap individu yang akan terus terekam (track record). Rakyat kecil perlu meningkatkan kepekaan, kejernihan dan kewaspadaan terhadap pola itu.

Sebatas janji, belum bisa disebut jujur, apalagi jika masih sebatas teori ataupun sumpah. Para pejabat yang senang bersumpah terbukti bersifat serakah. Pejabat yang sering memberi janji-janji kenyataannya berotak pencuri.

Aset-aset negara dijual, diswastanisasikan. Negeri tenggelam oleh hutang-hutang. Di saat koruptor merajalela merusak di berbagai lini bangsa ini, pedagang-pedagang kecil akan diperas untuk membayar pajak di luar upeti-upeti yang tak resmi.

Pergantian tahun akan terus terjadi. Dan 2011 ini, adalah hitungan ke 65 tahun lebih sejak kemerdekaan diproklamirkan. Tapi, jika perilaku para pemimpin negeri ini tidak berubah, kesengsaraan yang dialami rakyat tak beda dari 65 tahun lalu, ketika belum merdeka. Kekerasan, kerusuhan, ketidakadilan, pembungkaman, terjadi di mana-mana. Selalu saja, ada bentrok pedagang kaki lima dengan Satpol PP, buruh dengan polisi, petani, nelayan dan kaum miskin dengan TNI, dan lainnya. Kelaparan, penindasan, masih terus terjadi di pelosok negeri.

Gebyar kembang api tahun baru kali ini tak terhitung oleh jari. Seperti jumlah kemiskinan yang juga, tak terhitung lagi.

Gebyar adalah simbol. Mungkin simbol semangat juang, bahwa rakyat mampu bertahan dengan caranya sendiri dan optimis menatap hari depan. Simbol bahwa kemiskinan tidak berarti menghilangkan selera humor. Atau barangkali…penghiburan diri untuk sesaat. Sebelum segalanya kembali gelap, segelap lorong gang di antara got berair hitam tempat tinggal mereka.

Jakarta, 5 Januari 2011





Tidak ada komentar: