Sabtu, 25 Desember 2010

Pudarnya Mantera Simbok

Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh

Anak-anaknya memanggilnya Simbok. Dan para tetangga memanggil Mbah Bur, nama depan anak sulungnya, Burqi.

Perempuan tua itu menghitung suara kentongan bambu yang dipukul peronda sebanyak tiga kali. Artinya, pukul 03 dini hari. Entah kenapa, malam itu matanya sulit dipejamkan. Ia kenakan satu lagi baju hangat untuk menghalau udara dingin yang semribit kencang menerobos celah-celah bilik bambu.

Ia terus membesut berhelai-helai mendong yang akan dianyam menjadi tikar. Dari tikar itulah ia mencukupi sebagian kebutuhan hidup. Tiga tikar sering dihasilkan dalam sebulan untuk dijual.

Kelembaban udara pagi membuat mendong-mendong seakan hidup kembali. Padahal tumbuhan sebesar lidi aren yang panjangnya sekitar satu meter itu sudah direbus, direndam dan dijemur. Tapi udara dingin bercampur embun membuat mendong menggelembung dan susah digepengkan. Dan ia makin letih. Ia letakkan besutan bambu, lalu memijit-mijit lengannya dalam diam.

Ingin sekali malam itu ia bercerita. Tapi tak tahu harus dengan siapa ia bercerita. Tak seperti biasa, malam itu kelima anaknya membayang satu persatu. Kenangan-kenangan mereka di masa kanak-kanak bermunculan dengan segala kelucuan dan kenakalannya. Semua itu ibarat bunga-bunga di taman yang beraneka warna. Meski ia mawar berduri sekalipun. Ya, lima anak, lima macam tabiat.

Ia mengenang masa-masa sulit ketika membesarkan mereka. Matanya bagai menyaksikan kembali keributan-keributan kecil anak-anaknya yang berebut mainan atau makanan. Dan sebagai seorang ibu, ia sering menahan lapar demi mereka. Kala itu, hanya sekali saja sepiring nasi lembek ditemui dalam sehari. Menjelang sore, ia sering berpura-pura makan sambil menyuapi satu dua anak paling kecil yang masih terlihat lapar. Baginya, cukuplah menyantap dedaunan yang direbus atau ubi saja. Sendirian ia merangkap ibu dan bapak, semenjak suaminya meninggal dunia karena sakit malaria.

Dari semua kenangan yang muncul satu persatu, pikirannya kini tertuju pada bungsunya. Anak bungsu itu, dulu sering menolak disuapi karena tahu ibunya juga lapar. Anak itu sering meraih sendok dan berpura-pura mau makan sendiri, kemudian sendoknya dibalikkan ke mulut ibunya. Dan jika ada tetangga yang bertanya di rumah masak apa, ia akan selalu mengatakan masak sayur tahu, meski yang dimasak adalah daun talas. Lima anak lima macam tabiat. Semoga semuanya hidup berbahagia dan baik-baik saja, begitu selalu perempuan itu mengucapkan doa untuk manyabarkan hati jika ada anaknya susah dinasehati.

Sebuah senyuman menghiasai wajah keriputnya malam itu. Tubuhnya yang ringkih turun dari atas lincak dan menata cumplung-cumplung di mulut tungku. Ia menyalakan bedian untuk menghangatkan badan. Di depan tungku ia terlihat melamun, pandangannya menembus kegelapan melalui lobang-lobang besar pada bilik dapurnya.

Seekor kucing menyembul dari bilik yang growak karena lapuk. Kucing berbulu kembang benguk yang dinamai Si Bawuk. Mendapati si perempuan tua masih terjaga Bawuk mengeang-ngeong manja. Ia tatap wajah di depannya dan mengeong sekali lagi.

“Eh, kamu pulang. Dari mana Wuk...? Tidak berantem lagi kan?” kata perempuan itu sambil mengelus Bawuk yang menggelendot di kakinya.

Keduanya kembali diam. Dan Bawuk menggesek-nggesekkan badan serta ekornya minta naik ke pangkuan. Kemudian tangan perempuan itu mengangkat tubuh Bawuk ke pangkuannya.

Lima anak, lima tabiat. Dulu ia sering mendengar mereka menyebutkan impian-impian. Ada yang ingin jadi orang kaya, ada yang ingin jadi orang biasa, ada yang ingin punya pangkat, dan ada yang ingin jadi sopir oplet. Dan kini mereka sudah besar-besar, bahkan sudah memiliki banyak anak, dan sebagian dari anak-anaknya sudah punya anak lagi.

”Berapa buyutku ya...” gumamnya. Dan ia menghitung, seluruhnya ada tujuh dan ia bergumam lagi, ”Meski mereka tak pernah datang, yang penting mereka berbahagia dan baik-baik saja.”

Lima anak, lima tabiat dan keinginan. Mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Entah kenapa, yang laki-laki, dengan segala alasannya semakin tak ada waktu menjengkuknya. Pernah sekali waktu ketika menjelang lebaran, ia minta salah seorang anaknya untuk memperbaiki jalan di depan rumahnya. Namun istrinya langsung menyusul dan meminta suaminya segera pulang karena harus menyelesaikan pekerjaan di ladang. Di waktu yang lain, ketika ia sedang mesem-mesem melihat tingkah Mina, cucunya, ibu Mina memanggil-manggil dari atas rumah dengan nada keras dan getas. Mina cucunya yang berumur 4 tahun, dia sudah pintar bercerita dan sering sembunyi-sembunyi dari ibunya untuk main ke tempat neneknya yang hanya dibatasi jalan di atas rumahnya. Namun sang menantu alias ibunya Mina, sering melarangnya bahkan sering pula menggeretnya pulang secara paksa. Karena kalau Mina berlama-lama main sama neneknya, biasanya suaminya akan ikut main ke rumah ibunya.

Dan kata para tetangga yang sering memperbincangkan sikap menantunya itu, Ibu Mina pernah bilang kalau suaminya sering menjenguk ibunya, takut nanti dimintai uang dan bantuan ini itu. Sudah sering pula sikap kurang sedap ia terima dari menantunya, tapi ia pura-pura tidak tahu agar tidak timbul masalah. Maka itu sejak tujuh tahun lalu ia meminta kepada anaknya untuk memindahkan bekas kandang kambing ke bawah jalan untuk ia tempati. Sedangkan rumah yang dulu ia tempati diberikan pada bapak Mina, karena dari semua anaknya hanya bapak Mina lah yang belum memiliki rumah.

Keputusan memilih hidup sendiri supaya kehidupan semua anaknya baik-baik saja dan bahagia. Kini kata-kata itu, semakin lama baginya seperti sebuah mantera yang ampuh untuk membahagiakan hatinya, juga demi mengikhlaskan segala sesuatunya.

Tapi entah kenapa, kejadian tadi sore, kegetasan suara itu, terasa menyakiti telinga yang sudah mulai berkurang pendengarannya. Dan ia buru-buru menyuruh cucunya pulang, karena tak ingin Mina menjadi sasaran kemarahan ibunya. Tak tahu kenapa, anak kecil sering menjadi sasaran penyaluran kemarahan orang tua.

Tubuh tuanya terasa makin letih. Dan ia teringat anak-anaknya lagi. Ia menghitung lagi. Dua anaknya tinggal dalam satu desa. Yang dua di Jakarta, dan yang satu lagi menjadi orang kaya dan tinggal di kampung tetangga. Sebagian dari mereka hidupnya pas-pasan saja. Dan ia tak pernah berhenti berdoa, kerena hal itu mengingatkannya pada masa-masa sulit ketika dulu membesarkan mereka. Tapi sebagai seorang ibu, di hatinya juga sering rindu untuk dijenguk. Kehadiran seorang anak, selalu membuat hatinya lega dan sejuk. Namun kerinduan-tinggal kerinduan, dan untuk kesekian kali bibirnya merapalkan mantera: biarlah, yang penting mereka berbahagia, dan baik baik saja.

***
Seorang anak bisa saja lupa dan jarang memikirkan orang tuanya. Apalagi jika sudah berumah tangga dan tenggelam dalam berbagai urusan. Tapi, tidak demikian bagi seroang ibu terhadap anaknya.

Malam itu kenangan demi kenangan menyembul bagai benang setring yang ditinggalkan jejak jarum sulam pada kain. Semakin usang kainnya, semakin nampak bekas sulaman yang pernah menancapinya. Ia tengah meniti kenangan demi kenangan itu, tersenyum sendiri dan juga, ....kadang mulut keriputnya tergeragap menahan isak, sendiri.

Ia sungguh rindu mereka satu persatu. Ia ingat ketika dulu, dulu sekali, anak sulungnya datang pagi-pagi dan menubruk pangkuannya karena berantem dan diusir itrinya. Dulu juga, anak yang ketiga, datang malam-malam dan mengingap saat mengalami kekecewaan karena istrinya selingkuh. Anak lelakinya menyatakan menyesal karena selama ini melupakan ibunya sendiri. Harta yang ia cari semuanya diberikan pada istrinya dan bahkan untuk membiayai adik-adik keluarga istrinya, tapi istrinya mengkianatinya. Istri yang sebelum dinikahinya telah memiliki anak yang tidak jelas ayahnya di mana. Ketika itu, sebagai ibu ia memilih diam membiarkan anaknya menuntaskan beban hatinya.

Bawuk mengusek-usek ketiaknya. Lalu si perempuan tua menyelimutinya dengan menarik tepi kain. Kemanjaan Bawuk mengingatkan pada anak bungsunya yang di Jakarta, yang setiap lebaran pulang menjengkuknya. Dan terakhir, ia mengingat anak perempuan yang kini telah menjadi orang kaya dan makin sibuk. Waktunya terkuras untuk banyak hal. Tujuh tahun lalu membuat rumah mewah, hingga ia merupakan orang pertama yang memiliki rumah mewah dengan lampu-lampu kristal model orang kota di kampungnya. Sekitar empat tahun lalu keluarga itu membeli mobil, sampai-sampai sawah warisan yang pernah diberikannya dijual tanpa memberitahu. Dan tiga tahun lalu sibuk untuk meminang menantu. Dalam keseharian, jangan ditanya lagi, keluarga itu disibukkan mengurus berkarung-karung cengkeh, kopi, berkerjanjang-kerjanjang ayam, bebek, dan belakangan ditambah warung kelontong di depan ruamhnya. Hingga, saat lebaran pun, ia baru bisa datang di hari ketiga atau keempat, itupun paling lama dua jam. Lebaran tahun lalu, ia malah tak datang. Kata tukang ojek yang dimintai tolong mencari tahu mengatakan, di sana sedang merayakan ulang tahun cucunya yang pertama dan sangat meriah. Dan meski sedih ia mengucapkan Alhamdulillah. Tadinya ia sempat cemas mengira terjadi apa-apa dengan keluarganya.

Beribu maaf, pemahaman dan pengertian seakan tiada habisnya dari dalam hatinya buat anak-anaknya. Kecuali satu, ia mulai kehabisan alasan untuk para tetangga yang mengeriknya jika ia sedang sakit. Karena para tetangga akan selalu menanyakan kenapa anak-anaknya tak pernah datang. Dan ia akan bilang bahwa anak yang ini sedang mengurus ini, yang itu sedang mengurus itu, apalagi yang di sono, mereka sibuk sekali.Dan selalu, penjelasan ditutup dengan ucapan: bahwa anak-anaknya menyayanginya tapi mereka tak pernah menjenguk karena sibuk. Yang penting mereka sehat dan baik-baik saja.

Tahun demi tahun sudah berganti, berulangkali tanpa pernah dihitungnya lagi. Perjalanan usia menambahkan kerentaan pada fisiknya. Kini usianya sudah hampir 80 tahun, dan ia sudah sering masuk angin, sesering itu pula tetangga dekat yang menolong mengerik badannya yang tinggal tulang berbalut kulit itu. Tapi anak-anaknya pun semakin jauh karena mereka juga semakin tenggelam dengan cucu-cucunya yang sebagian belum pernah dilihatnya dan barangkali lucu-lucu.

Seiring waktu yang merapuhkan segalanya, sekali waktu juga mantera yang sekian lama diyakini memudar dari keteguhan hatinya yang nestapa. Mantera yang sesungguhnya telah lama juga diragukan oleh para tetangganya--terbukti anak-anaknya tidak peka lagi dan tak peduli pada keadaan ibunya. Hubungan batin mereka bagai telah putus.

Ia ceburkan satu cumplung lagi ke atas bara yang sudah mulai padam. Tubuhnya mengigil. Dan ia membaca istighfar berkali-kali, lalu merapalkan mantera saktinya sekali lagi dalam suara lirih: yang penting... mereka bahagia, dan...

Tubuhnya terus menggigil. Bawuk yang meringkuk di pangkuannya menggeliat dan mengusek-usekkan tubuhnya kian dalam. Seakan binatang itu turut merasakan duka nestapa perempuan renta.

Fajar telah menjelang pertanda kehidupan baru akan dimulai. Dan tak lama rumah itu telah ramai oleh para tetangga. Mereka bahu membahu mengurus jenazah Mbah Bur yang ditemukan sedang menelungkup bersama Bawuk yang nampak berduka mencangkung di sampingnya.


Magelang, 23 Desember 2010

Tulisan ini saya persembahkan untuk memperingati Hari Ibu. Inspirai muncul dari kisah nyata teman-teman dekat. Semoga para anak bisa lebih peduli kepada ibunya, yang telah menjadi perantara kita melihat dunia. Melahirkan, merawat dan mengasihi kita semasa kecil hanyalah serangkain dari beribu suka-duka yang sering luput dari penglihatan dan perasaan kita. Sentuhlah Ibu...selagi bisa menyentuhnya dengan jemari kita.

Tidak ada komentar: