Kamis, 09 Desember 2010

Membenarkan Poligami

Oleh Siti Nurrofiqoh

Lelaki di sampingku berkulit hitam manis, bermata jernih dan tajam. Ia menanyakan tentang gadis kecil yang menungguku di pinggir jalan. Aku turun dari mobil dan memberikan sesuatu.

Kujelaskan padanya, dia adalah anak temanku yang menjadi istri simpanan, dulunya hampir menggugurkan kandungan karena si laki-laki mau lari dari tanggung jawab. Kini ayah anak itu telah tiada.

”Dengan siapa dia sekarang?” tanya lelaki di sampingku memiringkan kepala hingga telinganya dekat ke mulutku. Sedang tangannya memegang stir dan menatap ke depan.

”Hanya dengan ibunya. Dan teman-teman dekat yang mau peduli. Ya, salah satunya aku,” kataku bernarsis ria.

Ia mengangguk, sekali saja. Anggukan yang jarang kulihat, seakan baginya sebuah anggukan adalah sebuah harga yang harus dibayar.

Kulihat dadanya membusung. Hal itu sering terlihat saat ia kisahkan sebuah peristiwa, yang menyertakan sikapnya sebagai lelaki. Aku menyukai gayanya, busungan dadanya, yang di mataku tidak mengesankan kesombongan. Tapi ketepatan mengungkapkan perasaan melalui bahasa tubuh dan sikap seorang lelaki.

Di malam yang lain kami bertemu dan bercerita. Menimbang, berhitung dan merenungkannya.

”Coba, hitungan kita mulai dari yang kita ketahui saja. Berapa jumlah wanita yang jadi istri simpanan laki-laki?” katanya, dan aku menghitung yang bisa kuingat, semuanya ada 7 wanita.

”Berapa?” tanyanya, dan ia menyebutkan 12 laki-laki yang memiliki wanita simpanan.

”Di mana wanita-wanita itu bertempat tinggal? Apakah rumah mereka sama dengan rumah istri sah lelaki itu? Apakah mereka diberi uang belanja dan pakaian yang sama memadainya? Apakah mereka juga akan berhak atas harta gono-gini jika kelak berpisah? Apakah mereka memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan hak bagi anak-anaknya? Dan bagaimana kalau si lelaki mati dalam perselingkuhan itu? Berhakkah anak dari wanita itu harta warisan dari lelaki yang menjadi bapaknya?”

Aku tak menjawab, tapi di benakku bertebaran wanita-wanita yang aku kenal. Yang satu tinggal di gang kumuh dan berkali-kali pindah kontrakan karena sering menungga uang sewa, yang satu menumpang temanku yang kebetulan masih melajang, yang lainnya lagi belum mengembalikan hutang padaku senilai seratus lima puluh ribu karena suaminya tak berkunjung selama tiga minggu. Dan wanita-wanita lainnya, aku tak tahu lagi bagaimana mereka menjalani hidup saat ini, tapi aku ingat gelar yang diberikan pada anak-anaknya kala itu. Gelar DELAN alias gede di jalan. Itulah para istri simpanan kalangan ekonomi kelas bawah.

Seperti bisa menebak isi pikiranku, lelaki di sampingku melirikku dan tersenyum penuh arti. Dan ia bertanya, keadilan dan kebahagiaan macam apa yang mereka peroleh?

”Bukahkah lebih baik jika lelaki berpoligami?” sambungnya tanpa menunggu jawabanku.

Aku diam. Gemuruh di hatiku belum juga selesai. Keruh, bagai lumpur pekat. Dan kata-kata lelaki itu seperti menjatuhinya dengan batu, hingga lumpur muncrat melumuri kejernihan pikiranku.

Kuperhatikan lelaki itu dengan seksama. Pelipis, kumis, dan bibir tipis. Aku membatin, serasi nian profil wajah orang ini. Pantas saja dia gencar memperbincangkan poligami, batinku curiga. Tawanya sering pecah dan renyah. Tapi, bagai pemain drama, tawa itu langsung lenyap oleh keseriusan ketika ia mengucap kalimat yang menandakan empati. Entah kenapa, akupun membuat perumpamaan sendiri dalam hati—membayangkan pemancing dan obyek yang dipancing. Pemancing tertawa bahagia ketika umpannya disambut sang obyek, dan obyeknya menggelepar kesakitan terkena kail pada akhirnya. Barangkali, seperti itu cerita di balik perselingkuhan—senang di pihak lelaki dan derita di pihak perempuan.

”Lelaki itu bermata spectrum. Pandangannya selalu bias. Tidak lurus, tidak hanya berfokus pada wanita yang menjadi istrinya. Itu kuakui. Meski sudah beristri, aku tetap ingin memandang tubuh-tubuh yang indah, yang seksi. Ya, sepertinya sudah kodratnya begitu!”

”Begitu?”

”Iya. Karena Tuhan tahu bahwa laki-laki berkecenderungan seperti itu, turunlah ayat yang membolehkan lelaki beristri lebih dari satu. Bahkan boleh beristri dua, tiga atau empat.”

Aku tidak mengangguk, tapi juga tidak menggeleng. Aku cermati mata lelaki itu. Mata yang berkilat-kilat dan bicara berapi-api.

”Teruskan,” kataku.

”Bagi gue, konteks ayat itu mengajarkan sikap sportif, jujur dan bertanggung jawab. Jika engkau memang tak cukup dengan satu wanita, jujurlah dan konsekuen. Jangan selingkuh dan menjadikan wanita selain istrimu sebagai wanita simpanan!”

”Hmm...lalu?”

”Artinya, kalau lo mau neko-neko. Kalau lo memang gatel. Ya lo kudu bertanggung jawab dengan kegatelan lo. Di sini ada konsekuensi yang salah satunya bersikap adil. Dan itu tidak mudah dilakukan. Makanya, ada ayat lagi yang menekankan, kalau kamu tidak bisa berbuat adil, ya cukuplah satu saja alias jangan neko-neko. Dalam hal ini, adil menjadi poin penting.”

”Jelaskan.”

”Seperti yang gue sebut di awal, dalam hubungan intim atau persetubuhan, laki-laki itu mengambil hak yang sama dari wanita yang bukan istrinya. Memangnya kalau menyetubuhi perempuan selain istrinya, hanya dimasukkan seperlimanya saja? Kan nggak begitu. Jadi, tanggungjawabnya ya harus sama. Apalagi kalau hubungan itu memiliki anak?"

”Lho, namanya juga simpanan. Bagaimana bisa dapat hak yang sama dengan istri sahnya? Dan sebagai wanita simpanan, jarang yang memiliki anak bukan?”

”Justru itu maksud gue. Istri sah memiliki kebebasan bereproduksi, memiliki anak, sedang wanita simpanan hanya dijadikan tempat persinggahan. Semacam tempat memuaskan nafsu birahi semata.”

Ia hirup kopi kental hitam tanpa gula dan menghisap Gudang Garam Filter yang kedua. Melihatnya merokok, aku berpikir ulang tentang bahaya rokok. Di dalam tubuhnya, seakan rokok tak pernah memberi pengaruh bagi kesehatan. Merokok, membuatnya seperti doping suplemen yang justru meningkatkan vitalitas. Aku pernah bertanya padanya, kenapa ia tetap sehat dan segar dengan rokok. Apalagi dia sebagai pelatih karate dan hobi berlari. Menjawab pertanyaanku dia bilang kalau dia tak merokok sambil jalan, sambil tidur, dan sebelum makan. Dan hanya dalam diskusi saja ia merokok.

”Ah, kenapa mesti begitu? Tetap saja merokok itu merusak kesehatan. Terlihat sehat dari luar, mana dalamnya kita tahu? Tetap saja, nikotinnya akan menggerogoti tubuh. Mestinya, dalam diskusi pun tak perlu merokok!”

Lalu, kuambil bungkus rokok dari hadapannya, dan ia mengerjapkan mata, lalu terdengar kembali tawanya yang renyah.

”Kembali pada obrolan kita, apakah artinya kita membenarkan poligami?” tanyaku.

”Bagi gue, bukan soal membenarkan atau menyalahkan poligami. Tapi sebagai manusia, kita harus jujur. Berpoligami artinya memiliki istri lebih dari satu, tapi dengan cara dinikahi, tidak selingkuh. Artinya, agar laki-laki bersikap jujur, berlaku adil, memberikan perlindungan dan bertanggung jawab. Bagi gue, adil bukan semata-mata soal menyetor tubuh atau membagi cinta. Keadilan dalam persetubuhan itu relatif. Buat istriku yang sedang sakit kista misalnya, tentu aku tidak akan menuntutnya untuk selalu melayani hasratku. Aku juga tidak akan melakukan percintaan yang sama persis dengan istri mudaku yang sehat. Istri tua yang sudah mendekati menopause contohnya, tentu tak akan aku nafkahi batin sama dengan itri mudaku yang gairahnya sedang bergelora. Gue bisa saja berkali-kali dengan istri muda dalam semalam. Tapi bisa jadi, gue hanya akan bermain sekali atau dua kali, atau sama sekali tidak bersetubuh saat melewatkan malam bersama istri tua jika ia tidak bersedia. Kasih sayang bisa disalurkan dalam banyak bentuk, sesuai keadaan. Tapi, bagi lelaki yang selalu tak kuat menahan dorongan nafsu seksnya, laki-laki yang tak cukup dengan satu istri, ya harus konsekuan dan bertanggung jawab. Itu keadilan yang dimaksudkan dalam anjuran berpoligami menurut gue.”

Lelaki di depanku mematikan rokok. Dan aku lega. Lalu ia menerawang, seperti mencari-cari sesuatu di langit-langit kamarku. Kediaman mengambil jatah beberapa menit dari kebersamaan kami. Dan lelaki di depanku menambahkan suatu hal yang menurutnya tak kalah esensial. Jika telah melakukan hubungan seperti suami istri, laki-laki memiliki tanggung jawab sosial dan moral. Wanita memiliki hak yang setara baik secara hukum, ekonomi, dan sosial. Juga perlindungan untuk memberi rasa aman.

Intinya, tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang boleh diperlakukan sembarangan. Sehingga ia kehilangan eksistensi di masyarakatnya, menjadi bahan pergunjingan dan terus disudutkan. Jangan sampai si istri pertama diserahin gaji penuh dan istri kedua tidak. Dan jangan sampai anak istri pertama berhak warisan dari bapaknya sementara anak istri kedua gigit jari. Semua itu terjadi ketika lelaki tidak bersikap gentle dan terbuka.

“Lho. Dari mana sumbernya? Memangnya si lelaki jadi siluman dan bisa punya banyak jabatan sehingga gajinya dobel?”

”Betul. Kalau lelaki mau berpoligami, lalu mengurangi hak yang sebelumnya telah menjadi jatah istrinya, itu namanya tidak adil. Logikanya, kalau lelaki itu hanya punya satu sumber penghasilan, ya jangan bertingkah. Sebagai ilustrasi, jika si lelaki memiliki sebuah perusahaan untuk istri pertama, maka kalau dia mau menikah lagi, ya harus punya satu perusahaan lagi untuk istri kedua, begitu sterusnya. Jadi, kalau pendapatannya masih dari sumber yang sama, atau dari sebuah gaji, bagaimana dia adil secara ekonomi dengan istri keduanya? Itu baru soal ekonomi.”

”Kembali ke soal jujur dan terbuka. Beranikah Laki-laki berterus terang dengan istri untuk menikah lagi?”

”Itulah kendala terbesar bagi laki-laki. Makanya berdasarkan penghitungan kita saja jumlah lelaki yang memiliki istri simpanan sudah 19 orang bukan? Lelaki yang seperti itu beraninya kucing-kucingan, menipu, membohongi. Memang tak mudah untuk berterus terang. Tapi justru itulah persoalan mendasar dimana pondasi kejujuran dibangun. Tentu akan ada benturan, mungkin juga pertentangan, tapi justru di sinilah lelaki harus gentle dan konsekuen.”

”Bagaimana kalau dengan keterbukaan itu dan membuat istri minta cerai dan rumah tangga berantakan?”

Lelaki di hadapanku nampak berpikir.

”Sekarang gue balik bertanya. Jika lelaki memang telah berpaling ke wanita lain, dan berselingkuh, apa bedanya terbuka dan tidak terbuka?”

Aku diam cukup lama. Hingga telingaku menangkap celoteh tetangga kamar ujung dan teriakan penonton sepak bola Liga Asia. Gelak tawa dan suasana kelam silih berganti memasuki menit. Dan aku mulai menghitung, jika lelaki tak jujur dan berselingkuh, apa bedanya bagi perempuan yang menjadi istrinya? Jika sebuah rumah tangga dibangun karena pilar bernama cinta, artinya cinta itu jelas telah terbagi.

Lelaki di hadapanku, beberapa kali menggelengkan kepala. Dan saat aku menatapnya ia tengah meneguk kopi tetes terakhirnya.

”Maksud gue begini,” sambungnya dengan hati-hati.

”Bersikap gentle, jujur, memang tidak gampang. Semua akan membawa konsekuensi. Dan di situlah poinnya. Untuk bilang sama istri saja bukan hal yang mudah. Tapi kalau memang kenyataannya lelaki itu pengen beristri lagi, ya jangan menipu. Harus jujur. Karena ketakjujuran itu akan menimbulkan multi efek. Ya berkhianat sama istri dan menganiaya wanita yang digauli tapi tidak dinikahi”

”Tapi, bagaimana kalau keterusterangan itu ditentang oleh anak dan istri dan malah minta cerai?” Kuulang pertanyaanku.

”Artinya, sebagai lelaki, kalau untuk berterus terangpun dia tidak berani, ya jangan menikah lagi. Dan jangan selingkuh! Kalau lelaki tak berani berterus terang dan bertanggung jawab dan dia selingkuh atau menjadikan wanita sebagai istri simpanan, itu artinya mau egois, cari enaknya sendiri, pengecut dan bejat.”

”Mungkin istri pertama bisa menerima cinta suami yang terbagi. Tapi tentunya akan keberatan kalau gaji yang tadinya seratus persen buat dia harus terbagi juga. Jika misalnya si suami bukanlah pengusaha dan hanya mengandalkan gaji saja?”

”Ha...ha...ha...itulah, kenapa korupsi merajalela!”

”Hm...hm...”

”Anggap saja, kita tak bicara satu ayat pun soal poligami, tapi bicara berdasarkan nurani. Jika gue menyukai perempuan, sementara gue sudah punya istri. Lalu gue berhubungan seperti suami istri dengan perempuan itu, apa bedanya hubungan gue dengan istri gue? Dan di mana moral gue, nurani gue , jika gue telantarkan perempuan itu? Secara nurani saja sudah tidak etis. Itulah yang kita sebut penganiayaan secara fisik dan psikis. Penganiayaan itulah yang dibenci oleh Allah dan tidak disukai oleh manusia manapun di muka bumi ini. Maka itu gue takut berpoligami."

Lelaki berkulit hitam manis telah meninggalkan kamar kosku. Dan aku mencatat arti persetubuhan. Baginya, persetubuhan adalah sebuah klimaks dari hubungan intim dua insan. Klimaks, adalah sebuah titik, sebuah harga mati yang tidak bisa dijadikan permainan belaka. Lelaki yang bersetubuh dengan perempuan, harus bertanggung jawab. Tanggung jawab dalam persetubuhan tidak bisa disederhanakan dengan sekedar menggunakan kondom supaya aman sehingga perempuan tidak hamil atau aman dari HIV. Tapi ini tentang laku moral dan sikap tanggungjawab sebagai manusia yang bernurani.

Andai poligami dalam arti seutuhnya dilakukan secara terbuka, tentu akan banyak laki-laki yang berpikir lebih dari dua kali. Siapa ingin berpoligami?

Jakarta, 7 Desember 2010

Tidak ada komentar: