Oleh Fiqoh
Berita penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia mewarnai berbagai media massa. Dan bahasa, disebut sebagai kendala utama pemicu konflik sebuah hubungan yang tak seimbang itu.
Hal itu mengingatkanku pada hubungan pendek, di jam-jam pendek, ketika aku menjadi TKI lokal--bekerja di Indonesia bermajikan warga negara asal Korea. Aku mengartikan TKI adalah tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di manca negara, yang tentunya bermajikan bukan orang Indonesia alias orang asing.
Bukan soal keasingan yang ingin aku tekankan, melainkan perbedaan bahasa, budaya, juga adat-istiadat. Itulah kenapa aku menyebut hubungan kerjaku kala itu, sebagai ’TKI” lokal, meski tak serumit TKI di manca negara yang setidaknya soal paspor pun sering menjadi kendala.
Di pertengahan tahun 1996 aku melamar ke sebuah alamat yang tercantum di iklan pinggir jalan. Manggala Sport, nama perusahaan itu. Pengumuman itu selengkapnya berbunyi: membutuhkan seorang perempuan menarik, tinggi 158-160, lulusan SMA atau sederajat, menguasai bahasa asing. Demi pekerjaan, meski aku tidak memenuhi semua syarat itu datanglah aku melamar dan diwawancara dengan dua orang warga negara Korea. Alhamdulillah aku diterima di tempat usaha yang awalnya kupikir tempat fitness. Mister yang mewawancaraiku menjelaskan bahwa usaha mereka di bidang Trading sepatu-sepatu kualitas ekspor. Setelah aku bekerja, lama-lama aku mulai mengerti dunia tempatku bekerja saat itu. Dunia yang sama sekali tidak preƱah terbayangkan!
Sore di sebuah ruangan remang dan disemarakkan bunga-bunga serta alunan musik Korea, aku diperkenalkan mesin-mesin. Mister yang mewawancaraiku bilang bahwa itu mesin game, untuk hiburan orang-orang Korea yang tinggal di Indonesa. Tugasku menerima tamu, berdiri di depan pintu, mengucap salam dalam bahasa Korea. Selama seminggu aku dan dua temanku menjalani training, dan dibekali kamus.
Sebulan berjalan, aku mengenal lima Mister yang notabene sebagai manajemen. Dan seiring waktu, aku memberi gelar pada mereka satu persatu dan teman-temanku setuju. Gelar itu kusesuaikan dengan tabiat dan pembawaan mereka masing-masing. Tiga Mister bernama depan sama yaitu bermarga Kim. Dua lagi bernama Yun, dan Ree. Dan kendala berbahasa dimulai dari sana, dari salah seorang Kim yang selanjutnya aku sebut Kim K.
Inilah satu persatu dari tripel Kim itu. Pertama adalah Kim I artinya intelek. Dia tampan, berbadan agak tambun, murah senyum, menyukai warna hitam, merah, dan sopan, dan sering bicara dengan bahasa Inggris dengan kami. Jika kami mengalami kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dia akan membuka kamus bahasa Indonesia. Sering juga dia bertanya padaku arti kosa kata ini dan itu. Sebaliknya, dia mengajariku dan kedua temanku bahasa Inggris, dan membiasakan komunikasi dengan bahasa itu, meski Inggrisku jauh dari benar, yang penting tahu artinya. Dia bilang, bahwa dia ingin kami pintar berbahasa Inggris. Dan aku terkesan padanya.
Kim kedua adalah Kim P, artinya perlente. Ia mengingatkanku pada aktor pemain film-film Asia sekaligus bintang film sindikat mafia. Berbadan atletis dan gesit. Dia selalu mengenakan kemeja putih, celana hitam dan dasi. Dialah yang paling peduli untuk melindungi kami jika ada tamu yang iseng untuk menggoda kami. Kalau itu terjadi dia akan menegur dengan caranya yang sangat sopan dan elegan—senyum, menepuk-nepuk punggung si tamu dan membungkuk hormat. Tapi suatau malam dia juga bersikap tegas sekali, membentak tamu dan hampir memukul tamu yang mabuk membawa minuman dari luar. Di tempat itu Mister kami tak mengijinkan tamu mabuk. Belakangan baru aku ketahui dia pintar memainkan samurai dan bela diri.
Dan dari Kim P pula, kami dipaksa membuka rekening untuk menabung. Sehabis gajian dan di pertengahan bulan, dia akan menanyakan saldo dan memeriksanya. Dia kawatir bahwa nabung kami hanya pura-pura. Cara bertanyanya lucu, layaknya seorang kakak pada adik-adiknya. Dia juga ikut menghitung persenan yang harus masuk rekening dan memilah untuk kebutuhan hidup. ”Jangan borose,” katanya, yang artinya boros.
Kim ketiga adalah Kim K, artinya kebo. Dan aku akan menyebut tentang orang ini di urutan belakang tulisan ini. Maka biarlah kusebut nama Mr Yun, pria lembut, sering nampak lemah dan pendiam tapi jika ada hal yang mengganggu pikirannya mukanya langsung merah seperti udang rebus. Ia sering didampingi Awiwa, orang Indonesia yang sepintas lalu kudengar obrolan mereka bahwa Awiwalah yang mengurus perijinan usaha itu. Dan dari situ, aku baru tahu tentang perjudian bernama Kasino!
Dan selanjutnya adalah Mr Ree, manager kami. Soal karyawan, keperluan rumah tangga kantor, rumah untuk karyawan dan sopir antar jemput dia yang mengurusnya. Kami tinggal di perumahan Villa Taman Cibodas Tangerang, tak jauh dari tempat Kasino itu beroperasi. Pulang dan pergi harus dengan sopir. Ia ingin kami selalu fit, maka itu pernah dia memarahi kami karena ketahuan tidak minum air mineral yang saat itu lupa diantar oleh sopir. Selain kebaikan, kami juga dikekang tak boleh membawa pacar, membawa teman, dan harus banyak istirahat, katanya supaya tak mudah sakit. Aku seperti terisolir dan berpikir negatif, karena itu aku selalu sedia potongan besi dan semprotan air cabe di kamar.
Tapi dari semua pengekangan itu, kami dianjurkan mengambil kursus bahasa Inggris di waktu senggang, katanya supaya sukses di masa depan.
Mr Ree yang berbadan kerempeng tapi tampan itu humoris, suka bernyanyi tapi temperamennya tinggi. Nyanyian dan goyang regge-nya dalam sekejap bisa berganti bentakan ke kami jika ia meminta sesuatu dan kami tak langsung mengerti. Keadaan ini, entah kenapa membuatku berpikir seperti di masa penjajahan.
Dan inilah, tentang Mr Kim K. Dia gemuk, sering bermalas-malasan, curi-curi waktu untuk tidur saat yang lain bekerja. Jauh dari gesit, dan masa bodoh. Tidak pernah berbahasa Inggris dan hanya sedikit bisa berbahasa Indonesia. Kalau ada tamu datang dan belum ada Mister lain, dia akan bersembunyi di ruang kerja Mr Yun. Barangkali dia malas menyambut tamu-tamu. Dan yang lebih membuatku kesal adalah, dia sering minta dilayani membuat kopi, mie, dan meludah di lantai. Mister lain tak pernah memnita dilayani karena menurut mereka kami tidak bekerja untuk itu. Dan Kim K sering ditegur Kim P saat sikapnya itu ketahuan. Sedang bagiku, bukan soal aku keberatan melayani permintaannya, tapi karena aku sering depresi dalam berkomunikasi dengannya.
Seperti yang terjadi siang itu ketika aku shift siang. Dia datang pukul 16:00, satu jam setelah aku. Ia menelpon seseorang dan memintaku mengambilkan bulgen.
”Bulgen. Bulgene!” katanya.
Tentu aku perlu berpikir sejenak, apa itu bulgene? Aku mencari-cari benda yang ada di ruangan itu tapi tak menemukan karena yang ada hanya mesin-mesin, tumpukan krat-krat Coca-cola, Sprite dan Fanta. Dan aku menebak-nebak barangkali yang dimaksud adalah bougenvile? Kusambar bunga di sebuah meja pembatas mesin. Barangkali itu bunga Bougenvile.
Aku dekati dia dan bilang, ”Inikah yang dimaksud?”
”Ya. Bulgene ya! Aisssttt, aegooohh! Kenapa orang Indonesia bodoh ya? Aissstt!”
Aku diam sambil menerka-nerka lagi. Dan aku naik ke lantai atas, mencari-cari sesuatu yang namanya mirip. Di jendela korden berkibar-kibar tertiup udara AC. Kordenkah? Tapi, untuk apa korden? Akhirnya aku menghadap dan memintanya mengulangi nama yang dimaksud—tentu aku sampaikan itu dengan kata-kata yang dieja. Dan...bukannya mendapat penjelasan malah dia mulai kalap. Matanya merah, mukanya sembab, dan giginya beradu.
”Bulgene, bulgene, bulgene ya....!!! Aissstt, cekk! Orang Indonesia bodoh ya!”
Aku kembali berlalu dan berpikir tentang nama barang itu. Bulgene...mungkinkah buntelan? Tapi buntelan apa? Aku memandang seisi ruangan dan melihat kalender bergambar laut Bunaken. Aku sedikit lega dan berlari mendekatinya.
”Apakah ini yang diperlukan?”
Dia berdiri, memegang benda itu sambil melotot dan giginya kian gemeretak seperti ingin memakanku. Ia menghentakkan kakinya ke lantai sambil mendesis dan merampas benda itu dari tangangku dan membantingnya ke lantai.
”Aissssstt, cekk! Kamu bodoh, ckkk. Kamu bodoh, cekkk. Bulgene!!!”
Kutabahkan diri dan menatapnya. Dan dia tambah kalap, berdiri dan duduk dari kursi. Menggebrak meja. Kemudian berangsur-angsur diam, seperti anak babi gemuk yang terkurung di kandang dan klimpungan. Keadaan yang sungguh-sungguh membuat putus asa. Aku mengamatinya, sambil memutar otak menemukan cara dan berdoa. Lalu muncul di pikiranku untuk memberinya kertas dan pulpen agar dia bisa menuliskan apa yang diinginkannya.
Ketiga kalinya aku dekati dia lagi sambil memberikan benda itu. Begitu melihat aku membawa pulpen matanya terlihat mendelik jalang dan merebut pulpenku.
”Ini apa....???”
”Pulpen,” kataku.
”Aisssttt, cekkkk, aissst, bodoh ya. Tadi saya mau ini!”
Pulpen, menjadi bulgene, siapa yang bodoh? Aku sadari belakangan bahwa orang Korea sering menambahi ’e’ di belakang suku kata yang diucapkan. Di hatiku ingin sekali berkata bahwa kamulah yang bodoh Mr Kebo! Tapi demi pekerjaan aku mengalah. Kuterima keegoisan dan kekasarannya. Dalam diamku, aku teringat tentang lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah badannya, bangunlah jiwanya...seperti apa peran pemerintah untuk membangun bangsa ini?
Dalam diamku, aku kumpulkan kekuatan dan pepatah yang waras mengalah dan mengalah untuk menang—kemenanganku agar aku tetap bekerja. Ya, sekali lagi demi pekerjaan. Biarlah di matanya, aku ibarat kerbau yang bodoh. Dan dihatiku bertanya lagi, di mana peranmu negara? Aku memaki pemerintah yang abai sehingga kemiskinan dan kebodohan merajalela.
Bangsaku, negeriku. Di kiri dan kanan ruko yang hanya berbatas selapis tembok ada Hans, warga Maumere yang membuka bengkel mobil. Dan sebelahnya lagi agen Coca-cola, lalu depannya tempat usaha pembordiran sepatu. Semua orang-orang sebangsaku. Tapi, kenapa aku terjajah seperti ini? Terjajah oleh segelintir orang asing yang datang ke Indonesia? Dan kenapa justru orang asing bisa leluasa berbuat seenaknya, mengolok-bangsa Indonesia, bangsa yang ia datangi untuk mencari makan? Ah, barangkali tidak sebatas untuk makan dia datang ke Indonesia, tapi untuk mengeruk keuntungan dan dibawa pulang ke negara asalnya, dengan cara menipu. Termasuk menipu pemerintah.
Tapi justru karena ia segelintir, membuatku jadi tidak ingin buru-buru bersikap picik dan menyebut “Korea jahat”. Apalagi menjadikan bahwa ini persoalan antara Korea dan Indonesa. Toh, meski benar adanya bahwa aku diperlakukan tidak adil, pemerintah juga tidak akan turun tangan kalau belum ada tenaga kerja yang mati dibunuh. Bahkan pembunuhan Marsinah pun, tidak diusut tuntas. Teringat ketika demo menuntut berbagai pelanggaran di sebuah pabrik, alih-alih haknya dibayar, malah empat pengurus serikat ditangkap polisi dengan tuduhan provokator dan para buruh dipecat.
Orang Indonesia bodoh? Barangkali saja ini suatu pertanda bahwa kemiskinan dan kebodohan di Indonesia memang bukan lagi rahasia umum di mata warga negara lain. Pemerintah Indonesia tak punya wibawa makanya dihina-hina, atau memang hina beneran? Perilaku hina ini mungkin terlihat dan dirasakan ketika warga asing itu masuk ke Indonesia dan mengurus semua keperluannya sedari ijin tinggal, tempat tinggal, hingga tempat usaha yang semuanya bisa dibeli dan dimanipulasi? Buktinya, perjudian Kasino bisa beroperasi.
Dan ini menurutku penting kenapa aku tak mengeneralisir bahwa Korea jahat, karena aku masih mendapati sikap-sikap baik dari warga Korea lainnya.
Kembali ke maraknya penyiksaan yang dialami para TKI, aku jadi terbayang akan hubungan kerja yang kualami saat itu. Kalau di negeri sendiri saja aku diperlakukan sedemikian rupa, bagaimana dengan mereka yang di negeri orang?
Barangkali, kalau saat itu Mr Kim K memukulku aku masih bisa lari dan minta tolong sama tetangga di kiri dan kanan ruko. Bagaimana dengan mereka yang terisolir di dalam rumah majikan di negeri orang? Belum lagi, jika mereka kabur bisa jadi ditangkap polisi seperti kisah temanku.
Sebuah kecemasan bertambah ketika suatu sore yang hujan, sebuah saluran air mampat. Seorang tukang membuka lobang saluan air yang tertutup keramik, kira-kira selebar satu meter persegi dan berkedalaman sekitar 3 meter. Di sore yang lain, Mr Kim K berdiri di sana dan memandangku. Sore itu aku hanya berdua dengannya. Ketika aku naik ke lantai atas untuk membereskan ruangan tiba-tiba dia sudah di belakangku dan memelukku. Saat kekagetanku berlangsung, dia telah menciumku, lidah besarnya memenuhi rongga mulut. Aku berontak melepaskan diri, turun ke lantai satu. Aku sudah tak peduli apa yang akan terjadi dengan pekerjaanku dan siap berteriak jika dia mengejarku. Tapi dia tidak mengejar dan hanya berjalan pelan sambil cengar-cengir. Aku menatapnya tajam dan dia terkesiap salah tingkah. Sikapnya membuatku tambah berani, dan aku terus menatapnya dan dia meminta maaf dengan menangkupkan kedua tangan di dadanya. Malam itu aku berkumur air garam hangat berkali-kali untuk membuang perasaan mual dan jijik.
Malamnya aku bercerita pada Mr Kim P soal kejadian itu. Dan aku katakan kalau aku tidak bisa menerima diperlakukan begitu, dan kalau Mr Kim K tetap di sana, maka aku akan keluar dan akan menuntutnya. Mr Kim P gusar. Dia marah sama Kim K, tapi juga terlihat kecewa sama aku. Dan di hari berikutnya aku tak melihat MR Kim K lagi. Aku hanya sekali melihatnya datang mengambil sesuatu. Dan dia bilang kalau dia kecowa padaku. “kamu tahu, apa arti kecowa?” Aku bilang tidak tahu, dan dia menuliskan kata: kecewa.
Aku hanya tersenyum. Sebelum pergi ia berdiri di dekat keramik penutup lobang sambil menatap tajam ke arahku. Entah apa maksudnya.
Dan pada saat itu Mr Kim P masuk ruangan dan dia kaget melihat ada Mr Kim K di ruko itu. Wajahnya tegang dan bicara cepat dalam bahasa mereka. Dan Mr Kim K ngeloyor pergi. Mr Kim P mendekatiku dan dia bilang agar aku tak perlu kawatir karena dia telah dipecat.
”Kamu mengerti pecate? P-e-c-a-t. Kamu bisa mengerti?” katanya tegang.
Aku mengangguk dan menyampaikan terima kasihku.
Itulah gambaran sebuah hubungan kerja dan kendala bahasa. Aku masih memiliki keuntungan karena aku di negeri sendiri, dan dekat dengan teman-teman, tidak terkendala soal paspor jika aku mesti kabur untuk hindari kekerasan.
Berpikir Mr Kim K, aku berpikir tentang orang-orang maniak yang pernah kubaca dalam berita koran, bagaimana mereka berbuat kriminal. Dan, bayangan lobang saluran air yang dari atas terlihat meling-meling dalam samar lampu itu, selalu saja menyisakan keresahan setiap kali aku mengenangnya. Kejahatan bisa terjadi di manapun. Cerita tentang istri yang dibunuh suami dan ditanam di tembok rumah, atau di buang di tempat sampah menghantuiku. Aku tak ingin gambling soal hidup. Dan aku memilih keluar, setelah punya sedikit uang simpanan untuk melamar kerja lagi ke pabrik-pabrik.
Kini aku mengenang Mr Kim K dalam pengandaian yang lain--bagaimana jika orang orang macam Kim K adalah anggota keluarga majikan si tenaga kerja yang tak mungkin dipecat? Mengadu bonyok, tidak mengadu remuk.
Tengarang, 1997
2 komentar:
hai Fiqoh, seperti biasa , aku selalu mengagumimu dan selalu menyesalkan kenapa kamu belum dapat kesempatan buat bersekolah lagi. bagaimana dengan ujian gratis untuk ijazah yg dulu kukasi alamatnya, apakah mereka benar menawarkan itu ? sukses dan tetap semangat ya sis,
c u soon
Hai jeung...terima kasih selalu menyemangatiku. Aku sudah mengikutinya tanpa memberitahumu, hehe. Dan sebentar lagi berencana kuliah, ambil S1 Hukum.
Kurasa, itu penting untuk perjuanganku :)
Salam sayang selalu,
f
Posting Komentar