oleh fiqoh
Seseorang menjaga dirinya, bukan karena semata ingin menjaga dirinya.
Seseorang peduli terhadap hidupnya, terkadang lebih karena
kepeduliannya pada sesuatu.
Sesuatu itu teramat bernilai, yang kadang melebihi diri sendiri. Hingga
sebuah lompatan ”maha” tinggi bisa dilampaui, bukan karena seseorang
memiliki kesanggupan, tapi karena hal itu memang perlu dilakukan.
Lelaki
di batas 50-an dengan rambut mulai beruban. Lelaki berhati keras yang kini
berubah lembut, bagaimanapun mengingatkanku pada sesuatu dan seseorang.
Ia
yang memanggilku dengan sebutan Honey
dan kadang sayang, hingga cahaya lilin bagai bertebaran di sekelilingku. Untuk
kemudian, ia mengucap selamat tinggal, dan untuk tarakhir kali aku melihat
cahaya.
Masa
selanjutnya aku bagai terus tergiring ke sebuah lorong yang gulita.
Dan
kamu sudah mengubah panggilan Honey
menjadi Anda.
Tapi
aku terlanjur mengabadikannya dalam sebuah fragmen. Dan saat ini aku sedang
mengingatnya ketika angkot yang membawaku melalui jalanan penuh lobang antara
Adiyasa menuju Cisoka.
Siang
yang berdebu, lobang-lobang dalam membuat tubuhku bagai tokek yang
terkocok-kocok di sebuah kotak.
Ada
rasa marah pada pemerintah, tapi banyak pengendara terlihat lebih konsentrasi
pada kehati-hatian. Tak terdengar ada keluh-kesah apalagi sumpah-serapah. Juga
penumpang yang berada satu angkot denganku, mereka terlihat khusuk dengan
barang-barangnya, dan aku mulai menyangga kedua benda milikku di dada.
Emosi
yang sesekali bergayut di syaraf-syaraf kepala, tiba-tiba luruh oleh keteduhan
suara lelaki di sampingku.
”Halo...halo...ada
apa nak. Tunggu nak, tunggu. Iya nanti bapak pulang.”
Suaranya
memiliki daya magis, membuat tangis di seberang sana berhenti bagai
terhipnotis. Sambil meletakkan handphone pada dasboard lelaki itu menoleh
padaku.
”Turun
mana Mbak?”
”Balaraja,”
jawabku, dan tak selang lama penumpang minta turun.
“Ongkosnya
kurang Pak,” kata sopir itu, tapi penumpang berjalan melenggang. Hanya gelengan
kecil, sang sopir melajukan mobilnya tanpa sentakan, tanpa makian seperti biasa
kudengar dari sopir-sopir lainnya.
”Yang
menelpon tadi anaknya?”
”Iya,
laki-laki, berumur 3 tahun.”
”Anak
ke berapa?”
”Pertama,
dan mungkin satu-satunya.”
Reflek
aku menoleh. Mengamati wajahnya, melihat cambang yang mulai tumbuh uban juga.
Bagai tahu apa yang ada di pikiranku lelaki itu menjelaskan bahwa ia menikah
dalam usia hampir 50 tahun, dan bagai seorang pewarta ia mengisahkan tentang
masa lalunya. Ia adalah preman, tukang berantem, sering kebut-kebutan, dan
akrab dengan minuman keras.
”Sekarang?”
”Enggak
lagi. Kasihan anak-istri saya kalau terjadi apa-apa dengan saya,”
jawabnya pasti.
Matanya
yang bening menatap ke depan. Aku menduga ia tak hanya menatap jalanan yang
menyebalkan itu, tapi juga sedang membayangkan sosok orang-orang yang ia
cintai.
”Mereka
membutuhkan saya,” gumamnya.
***
Cinta
selalu memiliki kekuatan besar, kekuatan yang mampu mengubah dan mencipta.
Kekerasan hati menjadi keteguhan, mengubah kegarangan menjadi lembut, kebiasaan
menekan pedal gas di area track menjadi pengendara santun di jalanan.
Ya,
kekuatan cinta -- kekuatan yang tak bisa didapat dari pendidikan apapun
levelnya.
Dengan
pandanganku yang tentu saja kusembunyikan, kuamati sopir angkot itu dengan
rasaku. Lelaki yang sungguh penyabar dan bersinar. Di lengannya yang bersih dan
basah melingkar jam tangan murah namun terlihat indah. Lengan yang dengan sadar
dicintai pemiliknya.
Kali
ini, sebuah pepatah baru terasa tepat dan bermakna, hanya orang yang mampu
menyintai dirinya maka akan mampu menyintai orang lain. Atau, cinta pada orang
lain membuat kita mampu mencintai diri sendiri, dimana tiap orang perlu merasa
dibutuhkan bagai orang lain.
Bagaimana
denganku?
Duduk
di atas jok angkot yang sebagian sudah growak, panjang perjalanan yang
kuhabiskan untuk mencari cinta hingga ujung. Dan aku bagai menjelma sebuah
robot – berjalan, bergerak, berbuat, makan, minum, menjadi pergerakan mekanis
semata, yang kian melahirkan perasaan asing. Dan ini sudah terlalu lama, dan
aku menjadi teramat bodoh dari yang sesungguhnya. Hingga sebuah siang berdebu
membuktikan bahwa malam telah berganti, dan selalu begitulah hidup dari waktu
ke waktu.
Bersama
sopir yang mendekati tua itu, kunikmati terik, juga debu. Cahaya terasa
melimpah di mana-mana. Ia tetap ada, meski seseorang yang biasa menyapa
”selamat pagi” sudah lama pergi. Siang berdebu sebagai penanda bahwa di dunia
tidak ada yang abadi. Begitu juga kegelapan dan luka.
”Salahku,
bahwa selama ini hanya aku yang merasa membutuhkannya. Cinta yang kumaknai
terlalu rendah hingga membuatku hidup bagai di tiang gantungan. Aku lupa bahwa
setiap orang termasuk diriku setidaknya memiliki beberapa hal yang berguna dan
dibutuhkan oleh yang lain,” begitu kata hatiku berdialog.
Perasaan
dibutuhkan telah membuat sopir angkot bermetamorfosa, adalah bukti bahwa cahaya
tak selalu karena kehadiran seseorang yang menyalakannya untuk kita. Tapi juga
kesanggupan kita menyalakannya untuk orang lain.
Adiyasa, Februari 2013
oleh fiqoh
Peristiwa besar sering terjadi tanpa disaksikan wartawan.
Kita butuh peran warga yang berada di dekat atau di tengah peristiwa untuk
memberikan informasi. Pewarta ini biasa kita sebut dengan Citizen Journalism
atau Jurnalisme Warga. Karenanya, skill menulis penting dimiliki oleh siapapun.
Lily Yulianty Farid pengelola
situs berita Panyingkul menyampaikan hal di atas pada sebuah sesi kursus
menulis Pantau, 16 September 2009.
Sebelum terjadi revolusi
teknologi informasi seperti sekarang ini, saksi mata rata-rata bersikap pasif.
Kini, dengan kamera digital di tangan, handphone, dan kemudahan
mengakses internet, membuat kita punya privilege, sama seperti wartawan
profesional, dan bisa memproduksi berita sendiri.
Bagai sebuah fenomena,
orang-orang yang memegang kamera di tangan, berkecenderungan untuk
mendekat pada peristiwa seperti lokasi gempa, tsunami, tanggul jebol, hingga
lokasi ledakan bom.
Membuat berita sendiri, menjadi
hal yang tak kalah penting ketika media mainstream
kadang jarang berpihak pada peristiwa sehari-hari, yang jauh lebih riil dari
angka statistic, atau berita sekilas seperti straight news.
Pertanyaannya, di mana mereka
mendistribusikan hasil rekaman, tangkapan kamera, tulisan, atau video-nya?
Saat ini kita mengenal apa yang
disebut personal media. Di era kecanggihan teknologi, ia memiliki kedudukan
sama. Berita dari BBC, CNN, facebook, website, blog, semuanya sama-sama
tampil di layar monitor saat kita membuka internet. Menurut Lily, yang
membedakan hanyalah kualitasnya.
Karenanya, memiliki skill menulis
jauh lebih penting selain kecanggihan perangkatnya. Di sinilah, citizen
journalism perlu terus membekali diri mengenal etika dan kaidah jurnalisme,
layaknya yang diajarkan di kantor-kantor redaksi.
Citizen journalism, bahkan menjadi alternatif bagi
banyak kalangan. Baik pekerja profesional, orang-orang NGO, LSM, juga para
wartawan yang frustasi dengan sistem media dimana mereka bekerja, yang tak bisa
memuat berita-berita terbagus mereka. Banyak media yang berprinsip semakin
singkat berita semakin baik. Jika demikian, bagaimana dapat menyajikan tulisan
yang menawarkan kebaruan, komprehensif, mendalam dan analitis?
Memproduksi berita sendiri,
menurut Lily sangat krusial di dalam citizen journalism. Supaya kita
tidak latah menyikapi berita yang seragam. Contoh, ketika Britney Spears
menggunduli rambutnya, maka berita itulah yang kita baca di berbagai media di
berbagai wilayah seperti Jakarta, Banten, Makassar dan di mana mana.
Citizen journalism bertujuan mengembalikan fungsi
mulia media massa itu sebagai fungsi pendidik, penegak demokrasi, ketika fungsi
informasi sudah dipengaruhi oleh kepentingan bisnis. Berita ekonomi tidak lagi
bertema ekonomi kerakyatan melainkan tentang peluncuran produk.
Dalam pandangan Lily,
berita-berita lokal justru diperlukan di dalam Indonesia yang kaya akan
keragaman. Untuk konteks negara yang memiliki masalah dengan demokrasi, masalah
demokrasi itulah yang harusnya terus diangkat. Isu-isu tersebut bukan hanya
menjadi tugas kalangan aktivis saja, tapi juga kita semua, melalui peranan citizen
journalism.
“Kabarkan yang terjadi di sekitarmu, karena trend media
pada umumnya semakin seragam,” pungkas Lily.
3 Oktober 2012 pukul 0:31
oleh
fiqoh
Sebuah
pagi yang agak gaduh di pintu stasiun kereta api Kebayoran Lama. Seorang
petugas keamanan berteriak-teriak pada para penumpang yang baru turun dari
kereta.
“Tolong
tiket, tolong tiket!” kata petugas itu sambil memungut tiket dari tangan para
penumpang.
“Memangnya
tiketnya kenapa pak? Kok ditolongin?” gumam sekolompok ABG yang berjalan agak
santai.
Aku
jadi teringat sebuah sesi bersama Sitok Srengenge di kelas kursus menulis
narasi yang diselenggarakan oleh Pantau.
Kegelisahan
Sitok tentang kesalahkaprahan bahasa kembali terngiang. Seperti yang ia
sampaikan malam itu, bagaimana kekacauan berbahasa, bisa menimbulkan kekacauan
fisik, juga kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ah,
masak sih? Memangnya seberapa ngefek sih kekacauan itu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara? Toh yang penting kita sudah sama-sama mengerti
arahnya, atau mengerti maksudnya seperti soal tiket itu, dimana penumpang
akhirnya memberikan sepotong kertas pada petugas?”
Tapi,
sebagai murid yang juga diajarkan bersikap skeptic, aku tetap menyimpan
keraguan dalam hati.
“Kita
terbiasa menggampangkan kesalahkaprahan, karena yang penting satu sama lain
mengerti tujuannya. Tapi tujuan itu telah menjauhkan kita dari makna. Makna
yang pada akhirnya merugikan kita sebagai individu, sebagai kelompok, bahkan
warga negara,” kata Sitok memulai diskusinya, bagai tahu kecamuk di hatiku.
Perlu
dibedakan antara yang struktural dan fungsional. Perlu dibedakan bahasa lisani
percakapan sehari-hari, dengan bahasa tulisan.
Ini
dia kritik Sitok pada penggunaan kata aparat Negara yang pada mulanya adalah
pelayan rakyat atau abdi rakyat. Tak sampai di sini, kita juga seakan telah
sepakat menyebut pemerintah sebagai penguasa. Akhirnya, abdi rakyat negara ini
berubah menjadi penguasa.
Sebutan
di atas itu kemudian diamini oleh masyarakat, dan karenanya pemerintah memang
kerjanya memerintah rakyat—tidak lagi melayani, bahkan menguasai,
menyalahgunakan amanah, dan sebagai penguasa mereka merasa berhak atas kekayaan
negeri yang harusnya untuk hajat hidup orang banyak yaitu rakyat.
Sebelum senjata, yang membunuh pada awalnya adalah kata.
“Senjata
tidak bisa bergerak tanpa digerakkan tangan, dan tangan bergerak karena
kata-kata. Ia bisa berupa perintah, omongan, yang terkadang kesalahpahaman
dimulai dari sana karena kekacauan bahasa tadi,” ulas Sitok.
Contohnya?
Prajurit
menyerbu ketika Panglima menyerukan kata serbu. Prajurit menembak, ketika
Panglima menyerukan kata tembak. Massa mengamuk karena seruan atau pernyataan
seseorang yang dianggap pemimpin. Dalam arti luas, pemimpin ini bisa diebut
tokoh—dimana dalam masyarakat kita banyak “tokoh” yang pernyataannya sering
jadi rujukan.
Maka,
di sinilah terbukti penting bahwa kata dan makna tak bisa dianggap sederhana.
Kata tak bisa dibuat sekedarnya, karena ia mengandung nilai-nilai, baik secara
agama, budaya, juga termasuk nilai yang disepakati secara universal, tapi
kadang sering dilegitimasi oleh suatu kelompok atau individual.
Penulis
harus bisa mengedukasi melalu pengenalan kata yang benar, membedakan bahasa
lisani dan tulisan, menggunakan kosa kata, istilah dan diksi, dan memiliki
standar penilaian terhadap penggunaan gelar atau kepakaran yang menjadi label
di masyarakat. Karena label itu sering menjadi legitimasi yang digunakan oleh
kekuasaan untuk mengomando, menggerakkan, dsb.
Label
itu, bisa berupa gelar seperti.....habib, pendeta, pejabat, pakar, dan
seterusnya.
Di
kursus Pantau diajarkan untuk tidak serta-merta mengutip kata-kata pejabat atau
pakar, melainkan kutiplah orang yang menjadi saksi mata (sumber yang berada di
lingkaran pertama). Dan Sitok mengingatkan, janganlah kita ikut melegitimasi
gelar-gelar tersebut untuk kemudian menjadi legitimasi public,
pernyataan-pernyatan yang bisa menyulut amuk, menggerakan massa, hingga
menciptakan kekacauan yang lebih besar.
Semua
hanya karena.....manut pada seseorang yang disebut “tokoh”. Skeptislah pada
tokoh dengan pertanyaan: habib atau “habib”, pendeta
atau “pendeta”, dst.
Karena
ia, hanya seorang dari sekian ribu, sekian juta, yang masing-masing tidak bisa
bisa disamakan atau diidentikkan.
20
September 2012 pukul 22:55