Senin, 14 Oktober 2013

Kekacauan Berbahasa


oleh fiqoh

Sebuah pagi yang agak gaduh di pintu stasiun kereta api Kebayoran Lama. Seorang petugas keamanan berteriak-teriak pada para penumpang yang baru turun dari kereta.

“Tolong tiket, tolong tiket!” kata petugas itu sambil memungut tiket dari tangan para penumpang.

“Memangnya tiketnya kenapa pak? Kok ditolongin?” gumam sekolompok ABG yang berjalan agak santai.

Aku jadi teringat sebuah sesi bersama Sitok Srengenge di kelas kursus menulis narasi yang diselenggarakan oleh Pantau.

Kegelisahan Sitok tentang kesalahkaprahan bahasa kembali terngiang. Seperti yang ia sampaikan malam itu, bagaimana kekacauan berbahasa, bisa menimbulkan kekacauan fisik, juga kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Ah, masak sih? Memangnya seberapa ngefek sih kekacauan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Toh yang penting kita sudah sama-sama mengerti arahnya, atau mengerti maksudnya seperti soal tiket itu, dimana penumpang akhirnya memberikan sepotong kertas pada petugas?”

Tapi, sebagai murid yang juga diajarkan bersikap skeptic, aku tetap menyimpan keraguan dalam hati.
 “Kita terbiasa menggampangkan kesalahkaprahan, karena yang penting satu sama lain mengerti tujuannya. Tapi tujuan itu telah menjauhkan kita dari makna. Makna yang pada akhirnya merugikan kita sebagai individu, sebagai kelompok, bahkan warga negara,” kata Sitok memulai diskusinya, bagai tahu kecamuk di hatiku.

Perlu dibedakan antara yang struktural dan fungsional. Perlu dibedakan bahasa lisani percakapan sehari-hari, dengan bahasa tulisan.

Ini dia kritik Sitok pada penggunaan kata aparat Negara yang pada mulanya adalah pelayan rakyat atau abdi rakyat. Tak sampai di sini, kita juga seakan telah sepakat menyebut pemerintah sebagai penguasa. Akhirnya, abdi rakyat negara ini berubah menjadi penguasa.

Sebutan di atas itu kemudian diamini oleh masyarakat, dan karenanya pemerintah memang kerjanya memerintah rakyat—tidak lagi melayani, bahkan menguasai, menyalahgunakan amanah, dan sebagai penguasa mereka merasa berhak atas kekayaan negeri yang harusnya untuk hajat hidup orang banyak yaitu rakyat.

Sebelum senjata, yang membunuh pada awalnya adalah kata.
“Senjata tidak bisa bergerak tanpa digerakkan tangan, dan tangan bergerak karena kata-kata. Ia bisa berupa perintah, omongan, yang terkadang kesalahpahaman dimulai dari sana karena kekacauan bahasa tadi,” ulas Sitok.

Contohnya?

Prajurit menyerbu ketika Panglima menyerukan kata serbu. Prajurit menembak, ketika Panglima menyerukan kata tembak. Massa mengamuk karena seruan atau pernyataan seseorang yang dianggap pemimpin. Dalam arti luas, pemimpin ini bisa diebut tokoh—dimana dalam masyarakat kita banyak “tokoh” yang pernyataannya sering jadi rujukan.

Maka, di sinilah terbukti penting bahwa kata dan makna tak bisa dianggap sederhana. Kata tak bisa dibuat sekedarnya, karena ia mengandung nilai-nilai, baik secara agama, budaya, juga termasuk nilai yang disepakati secara universal, tapi kadang sering dilegitimasi oleh suatu kelompok atau individual.

Penulis harus bisa mengedukasi melalu pengenalan kata yang benar, membedakan bahasa lisani dan tulisan, menggunakan kosa kata, istilah dan diksi, dan memiliki standar penilaian terhadap penggunaan gelar atau kepakaran yang menjadi label di masyarakat. Karena label itu sering menjadi legitimasi yang digunakan oleh kekuasaan untuk mengomando, menggerakkan, dsb.

Label itu, bisa berupa gelar seperti.....habib, pendeta, pejabat, pakar, dan seterusnya.

Di kursus Pantau diajarkan untuk tidak serta-merta mengutip kata-kata pejabat atau pakar, melainkan kutiplah orang yang menjadi saksi mata (sumber yang berada di lingkaran pertama). Dan Sitok mengingatkan, janganlah kita ikut melegitimasi gelar-gelar tersebut untuk kemudian menjadi legitimasi public, pernyataan-pernyatan yang bisa menyulut amuk, menggerakan massa, hingga menciptakan kekacauan yang lebih besar.

Semua hanya karena.....manut pada seseorang yang disebut “tokoh”. Skeptislah pada tokoh dengan pertanyaan: habib atau “habib”,  pendeta atau “pendeta”, dst.

Karena ia, hanya seorang dari sekian ribu, sekian juta, yang masing-masing tidak bisa bisa disamakan atau diidentikkan.

 20 September 2012 pukul 22:55

Tidak ada komentar: