Oleh Siti Nurrofiqoh
Sore itu, suasana berbeda mewarnai gang belakang perumahan Dahlia, Perumnas I Tangerang. Selepas adzan ashar, suara takbir mulai dikumandangkan dari barbagai masjid. Sesekali suara anak kecil berteriak-teriak berebut microphone, menyela suara orang dewasa yang sedang konsentrasi melantunkan nada. Beberapa kambing mengembik kelelahan terikat di depan rumah beberapa warga. Air mata tampak mengering pada salah satu hewan yang akan dijadikan qurban pada Idul Adha itu.
Di sebuah rumah petekan di bawah penerangan redup kekuningan, seorang anak sedang berdialog dengan ibunya yang tampak bersikap cuek. Ia keluar masuk pintu, untuk menengok kambing yang tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia juga mengelusnya.
“Bude kambing, bude! Besok Nanda makan daging kambing dong bude…nanda makan daging kambing…” kata Nanda. Mata indahnya mengerling kemilau. Bibirnya dimonyong-monyongin. Kegirangan tergambar di wajahnya.
Berkali-kali sang ibu gagal menyuruh anaknya untuk segera tidur. Dan Siti, hanya duduk mencangkung sambil sesekali matanya melotot ke sang anak.
Nanda adalah anak sahabat saya, Siti. Bapaknya meninggal saat ia masih merangkak. Ia hidup dengan ibunya saja. Saat ibunya tak bisa membelikan susu, kadang Mbak Karsih dan saya terpaksa patungan membelikan. Hubungan ibu dan anak itu, hanya terjalin malam hari saat masing-masing sudah lelah dan perlu segera tidur. Waktu Nanda lebih sering dihabiskan di tempat penitipan anak. Ibunya di tempaat kerja. Ibunya pekerja berstatus kontrak dan tak pasti. Suatu ketika pernah mendapat pekerjaan yang jauh dari kontrakannya. Itu membuatnya ia selalu berangkaat jam setengah lima pagi. Jam empat, ibunya sudah berjibaku dengan Nanda kecil yang protes saat dibangunkan. Dan malamnya, Nanda diambil dari penitipan dalam keadaan tertidur.
Malam itu, kesibukan kecil mulai tampak dilingkungan Siti. Beberapa ibu-ibu mempersipkan bumbu dapur. Sebagian hanya duduk-duduk sambil sesekali berbisik dan melemparkan tatapan kosong agak sinis. Hari qurban, artinya qurban perasaan. Itu istilah yang selalu mereka lontarkan. Mereka rata-rata orang pendatang. Ada yang dari Padang, Jawa, Sunda dan Palembang, termasuk Siti dan Mbak Karsih.
Siti menceritakan, Idul Adha tahun lalu ia tak didata untuk menerima daging qurban. Padahal tetangganya menyembelih sapi. Tembok tetangga itu hanya berjarak beberapa meter, tembok yang selalu ia lihat setiap kali memandang mulut gang mencari udara terbuka.
Ia menyaksikan langsung di kebun tempat hewan itu disembelih. Dan setiap daging diseset, seseorang langsung membawanya pergi ke suatu tempat. Begitu seterusnya, dan sisanya baru dibagikan ke warga, itupun tak merata. RT atau RW biasanya selalu mendapat prioritas. Saya pernah menyaksikan sendiri ketika seseorang membawa ember hitam. Ia mengucap Assalamu’alaikum beberapa kali ke tetangga sebelah kanan rumah Mbak Karsih yang bretingkat, dan lewat begitu saja di depan pintu rumah Mbak Karsih yang terbuka.
“Mungkin rumahku tak kelihatan,” kata Mbak Karsih sambil senyum. Beberapa saat, Mbak Karsih pun mengeluarkan kalimat yang saya rasa bentuk menghibur diri, “ Berarti aku dianggap orang kaya…” katanya seraya menuangkan air putih dari teko.
Rumah Mbak Karsih memang kecil dibanding rumah di sebelah kiri dan kanannya. Tak ada cat mencolok di sana. Temboknya masih berupa batako dan sapuan pasir kasar di setiap sela-selanya. Masih seperti yang dulu, ketika rumah petakan itu dibeli dari pemilik pertama seharga13 juta rupiah pada tahun 1999.
Siti mengatakaan, memang waktu itu pada akhirnya mendapat daging. Pak RW yang memberinya. Sebuaha kebetulan menjadi keberuntungan tersendiri baginya. Secara kebetulan ia mengontrak di rumah Pak RW. Secara kebetulan hubungan mereka dekat. Dan secara kebetulan, Pak RW tak makan daging kambing. Pak RW mendapat jatah dalam jumlah banyak. Hingga brehari-hari, kulkasnya masih penuh daging yang telah membeku. Ia melihatnya saat membuka lemari pendingin itu untuk meminta minum.
Menjelang dhuhur, Siti mengirimkan sms. “Mbak, kita ke tempat Sri yuk. Aku dapat daging nih.” Sri sahabat kami. Dia kos di sebuah rumah di tengah komplek Perumnas I Tangerang. Rumah dengan enam kamar itu dikontrak ramai-ramai oleh Sri dan teman-temannya. Masing-masing bekerja di pabrik sepatu, pabrik jeans dan garment.
Penampilan rumah itu nampak kontras di antara rumah-rumah sekitarnya yang sudah beberapa kali tersentuh renovasi. Dinding putihnya sudah kusam dan terkelupas di sana-sini. Got di kiri kanannya mampet. Berbagai jenis produk plastik menyumbat saluran itu. Kata Sri, orang sering buang sampah ke situ.
Saat menuju gang kontrakan itu, kami sempat berpapasan dua orang sedang mendorong gerobak dan menghampiri setiap pintu rumah, sambil mengucapk salam dan memberikan sekantong plastik berisi benda lunak.
Sri dan Lena sedanng duduk di ruang depan saat kami datang. Siti mengulurkan daging dalam kresek kecil warna hitam.
“Mbak, kami mah nggak dapet…” kata Sri tersipu. Tangannya menarik ujung jilbab untuk menutup mukanya yang bersemu merah.
“Kan udah biasa. Nggak heran Sri,” kata Siti bernada dingin.
Udara panas. Kami duduk sambil memandang ke jalan depan rumah. Baru sekitar lima menit saya di sana, tiga pemuda terlihat mendorong gerobak. Di dalamnya sebuah karung bernoda darah meringkuk bergoyang-goyang lembut. Mereka berhneti dan menghampiri rumah depan kontrakan Sri, yang gerbangnya tertutup. Setelah beberapa kali mengucap Salam’alaikum, pemilik rumah sepertinya menjawab. Salah satu dari mereka mendorong sebelah pintu itu, dan berjalan agak miring karena terhalang mobil di dalamnya.
“Sudah dari tadi mbak, gerobak lewat,” Kata Lena yang tubuhnya kerempeng. Teman-temannya selalu menjuluki triplek padanya. Sekurus itu, ia tetap menjalani kerja shift malam di pabriknya. Lena tertawa, sambil matanya menyaksikan gerobak itu berlalu.
“Iya, tadi kan saya ngintip, di situ banyak banget mbak,” kata Sri sambil menunjuk pertigaan gang depan rumahnya. “Tapi Lena marah melihat aku ngintip, dia bilng, ngapain pakai ngintip-ngintip begitu. Udahlah, kita masuk kamar aja. Biar nggak usah melihat gerobak,” kata Sri menirukan Lena. Mereka pun masuk kamar, tetap membiarkan pintu dalam keadaan terbuka dan memasang telinga. Siapa tahu, ada yag mengucapkan Assalmu’alaikum dan mengulurkan kantong plastik
Siti memberikan komando untuk untuk segera memulai membakar daging yang ia bawa. Saya tanya Lena, di mana ada penjual arang. Dan lena pergi mencari arang serta beberapa keperluan yang saya sebutkan.
Sri segera memilah daging. Jeroan, gajih dan tulang dimasak rica-rica. Mbak Karsih mengeluarkan panggangan dan membersihkannya. Saya dan Siti mengiris-iris dagingnya.
“Yang kecil-kecil aja,” kata Siti. Ia melirik tiga tiga onggok daging yang besarnya tak sampai sekepalan tangan itu.
Saya tersenyum. Siti terus berandai-andai. Kalau nanti ada gerobak lewat, ia akan teriak dan bertanya kepada petugas qurban, kenapa anak-anak kos itu tak dikasih. Siti juga akan menanyakan, rumus apa yang membuat mereka hanya memberikan daging pada orang-orang kaya itu.
Satu lagi gerobak melintas diiringi dua remaja. Siti sedang masuk ke dalam mengambil pisau. Untuk kesekian kali, pintu gerbang tembaga itu diketuk-ketuk. Dan tak ada gerobak satu pun yang berebelok ke pintu kontrakan Sri yang terbuka. Tahun lalu, beberapa plastik terlihat bergelantungan di pintu itu.
“Berarti sudah empat gerobak mbak. Itu sepenglihatan saya,” kata Sri.
Tak selang lama, seorang laki-laki bertopi melintas di gang itu. Ia tampak keberatan menenteng dua kantong besar di lengan kiri dan kanan. Di dalamnya terlihat benda lunak yang masih meneteskan darah.
Sri tersenyum. Dia berkata pada saya, “Itu pak haji kaya lho mbak. Tahun kamarin ia naik haji. Itu rumahnya,” kata Sri sambil menunjuk sebuah rumah tingkat yang berdiri di depan kosannya, tepatnya di belakang rumah berpintu gerbang tembaga.
Sate sudah matang. Kami segera menuju ruang depan. Saya menggelar koran. Sri membagi nasi. Ada yang di piring, ada yang di mangkuk. Ia memberikan nasi dalam piring pada saya. Dia sendiri makan dalam tempat plastik yang biasa dipakai membawa bekal untuk ke pabrik.
“Nggak cukup piringnya,” kata Sri, lagi-lagi tersipu.
Nanda tak mau ketinggalan. Kiri kanan tangannnya memegang sate. Ia menelannya tanpa dikunyah lagi. Ibunya marah saat daging panggang itu hampir mencekik tenggorokan kecilnya.
“Nanda, kayak takut nggak kebagian aja!” Bentaknya.
Bersantap pun usai dalam sekejap. Selain Nanda, rata-rata kami makan empat sampai lima tusuk. Nanda makan lebih banyak.
Di saat itu, adzan ashar kembali berkukamandang, disusul bunyi takbir yang dilafalkan dengan nada berkelok-kelok. Mendengarnya, membuat ikut menahan nafas.Seperti orang sedang menggunyam sesuatu di mulutnya. Gerimis memercik di jalanan aspal. Namun hanya sesaat saja, dan menimbulkan kegersangan dari uapnya. Kutawarkan pada mereka coca-cola. Sri meminta fanta.
Saat kami bersantai, dua pemuda tanggung memasuki ruangan. Sri memperkenalkan, kalau mereka saudara sepupu. Hampir sebulan lalu mereka ikut Sri untuk mencari pekerjaan. Mereka bergegas ke belakang dan ngegeloso di lantai.
Di komplek itu, Sri sudah hampir empat tahun. Seperti warga yang lain, Sri juga melapor dan membuat KTP di sana. Dulu, saat saya tinggal di sana, bahkan sering juga dilibatkan dalam acara warga berupa olah raga, tour atau mengumpulkan koran untuk kegiatan pemudanya.
Secara harga, tempat kost itu relatif murah. Pak Hendy pemilik kost itu hanya memasang tarif Rp 150 perkamar, sudah termasuk air dan listrik. Sri merasa bersyukur mendapat tempat itu, harga miring untuk penghasilan yang UMR-nya tidak genap dari saju juta. Dengan begitu, ia bisa sedikit menyisihkan buat orang tuanya di Lampung.
Hari sudah semakin sore. Pertemuan kecil itu pun di akhiri. Saya pamit, untuk pulang ke Jakarta. Di gang komplek itu, beberapa perempuan berjalan beriringan mirip seperti karnaval. Kekumalan, menyeragamkan keempatnya, selain brenjulan-brenjulan di balik kain gendongan yang setengah dikempit di bagian sampingnya.
Salah satu segera mendekati saya, menawarkan daging. Maksudnya menyuruh saya membelinya. Ibu itu bilang, kalau ia lebih membutuhkan beras. Tidak perlu daging.
Jakarta, 8 Desember 2009
Jumat, 30 Januari 2009
Senin, 26 Januari 2009
Tahun Baru Kali Ini
Oleh Siti Nurrofiqoh
Waktu. Ia terus bergulir tanpa seorang pun mampu mencegahnya. Pelan namun pasti, masa hidup manusia terlewati dalam keniscayaan. Siapapun tak bisa menawar. Maka seharusnya, ia begitu berharga.
Banyak manusia merasa resah, ketika menyadari setengah abad masa hidupnya terlewati. Banyak yang merasa tak rela, ketika pertambahan usia, memberi gelar tua. Mereka menghibur diri untuk tetap merasa muda, dan kadang menjadi sensitif tatkala sebuah panggilan menyadarkan usia yang sebenarnya. Jika mungkin, waktu ingin diputar kembali.
Namun, dalam ruang yang lain, banyak manusia yang dengan kesadaran, berharap agar waktu cepat berlalu. Jam serasa melaju sangat lamban. Di pagi hari mendamba datangnya siang, di siang hari mengharap segera sore, lalu datang malam, dimana jam kerja berakhir.
Ratusan, bahkan ribuan manusia, berada dalam keadaan yang bukan atas pilihannya. Bergelumut kepulan debu, berbaur bersama bulu-bulu. Amisnya bulu asli, masih terasa lebih baik dibanding bulu buatan. Mereka bilang, bulu buatan, kimianya tajam untuk paru-paru.
Cepatlah siang, cepatlah sore, cepatlah datang malam, agar segera pulang.
Segera tinggalkan kepulan debu-debu dan bau amisnya bulu-bulu. Itulah
harapan di balik mulut-mulut bermasker. Setiap bulu-bulu dijejalkan ke dalam jaket, setiap kali pula debu masuk ke pernafasannya. Sesak. Itulah salah satu proses pembuatan jaket yang didesain untuk negara bermusim gugur. Amerika, Jepang, Korea, Canada dan lainnya.
Sebagian lagi, diapit dinamo mesin-mesin, berpacu dengan kecepatan
langkah-langkah jarum, yang kalau patah akan memercikkan api, akibat
panasnya gesekan tanpa henti. Mata temanku, menjadi cacat karenanya. Namun menjalankan mesin jahit masih lebih beruntung dibanding mesin lobang kancing yang pisau tajamnya bisa membelas telapak tangan. Sudah banyak korban, dan aku berdoa agar jangan sampai memegang mesin itu. Yah, doa yang tamak. Masih saja, aku memikirkan keselamatan diri sendiri dan membiarkan yang lain untuk ditumbalkan.
Atap terbuat dari seng tanpa plafon, memancarkan hawa panas diterpa sinar
matahari. Ditambah dinamo mesin-mesin dan lampu-lampu pabrik yang
tergantung rendah di atas kepala, membuat tubuh terus mengucurkan
keringat. Sapu tangan dalam aneka warna, (selampek, kami menyebutnya) ,
menempel di di atas kepala. Maksudnya untuk melindungi panas, meski uap
basahnya terasa mendidih menetes di kulit
Setiap detik, desing mesin berbaur dengan teriakan demi teriakan mandor.
Dari tanganku harus selalu melahirkan karya, yang disebut produksi.
Kerah-kerah terpasang, manset tersambung, saku tertempel. Tidak boleh
meleset selangkah jarum pun, tidak boleh miring barang semili pun. Semua
harus sesuai standar merk ternama berkualitas internasional. Levi Strauss.
Nike. Adidas.
Begitulah kulewati siangku. Memikirkan targetnya, kualitasnya, komponennya, menjadi bagian mimpi malamku. Temanku yang sudah bersuami, sering kehilangan nafu berhubungan badan dengan suaminya, karena pikirannya terganggu. Dalam mimpinya ia memncari-cari komponen baju yang belum ketemu. Ia pun terbangun, berjalan sambil menyebut-nyebut barang itu. Paginya, ia panggil kedua anaknya yang lucu-lucu, Kelvin dan Felix dengan nama komponen baju.
Semua untuk uang. Yah, uang. Tidak yang lain. Aku perlu makan. Makan pagi agar bisa bekerja hingga siang. Makan siang, untuk mengganjal perutku ketika sarapan pagiku sudah tergerus hingga jam duabelas saat sirene menjerit-jerit tanda istirahat. Dan untuk melanjutkan pekerjaanku hingga malam hari.
Selain nasi, bakwan dan ubi rebus menjadi makananku, juga teman-temanku. Seribu dapat tiga potong. Temanku yang latah, mulutnya sering reflek berdoa buat si mamang pedagang ubi. Ia tak bisa membayangkan jika si Mamang absen berjualan. Melihat gerobaknya di depan gerbang, ada kelegaan tersendiri.
Ribut-ribut kecil terjadi ketika tangan-tangan tak sabaran mengerubuti gerobak. Semua ingin memilih. Lalu, tangan-tangan gemetar segera membelah-belah ubi panas yang masih mengepulkan asap. Gumpalan-gumpalan besar segera berdesakan melewati tenggorokan, membuat muka-muka besemburat merah. Urat-urat besar menyembul di kiri-kanan leher seperti belut sersesat di dalam kulit. Sesaat, ada kepuasan yang seolah totalitas.
Ada suatu masa, ternyata hidup tidak hanya sekedar mengisi perut. Naluriah keperempuananku merasa butuh tampilan yang lain, untuk seorang laki-laki di pertigaan jalan yang selalu menjumpaiku setiap sore, kadang juga malam. Di sanalah ia menunggu. Dan hati kecilku kadang mengutuk seragamku. Hem gomrong dan celana begi, yang menyembunyikan keindahan tubuhku. Seandaninya saja, aku bisa memakai celana model cantik buatanku itu. Aku berkhayal. Entah ini disebut manusiawi atau ambisi. Merk mahal, katanya bisa menaikkan gengsi pemakainya. Apa lagi disaat jatuh cinta begini.
Tapi, toh aku tak bisa memakainya. Ia segera menjadi sesuatu yang asing ketika terpajang di outlet mall-mall ternama. Aku hanya mendapati debu-debunya yang masuk dipernafasan, lekat di pori-pori kulitku, dan menempel di bajuku hingga terbawa masuk ke kontrakan.
Berkali-kali kakiku selalu menyambangi outlet barang terebut setiap kali aku ke mall untuk mencari obralan kebutuhan kamar mandi. Berkali-kali kudekati karton bertulsikan discount 30 – 50%. Tapi, masih saja, tak kurang dari 200 ribu. Jelas, tak terjangkau oleh isi kantongku.
Kini usiaku sudah 30 tahun. Berarti, sudah 13 tahun kuhabiskan umurku di pabrik itu. Ada kegelisahan lain, ketika rasa ngilu mulai menjalari di setiap persendian. Badan mudah lelah. Kepala sering pusing. Badanku gampang sakit sekarang.
Keresahan lain, ketika kusadari, selama di perantauan tak ada hasil yang bisa kusimpan. Gaji demi gaji yang kuterima setiap bulan, sekedar menjadi jembatan ringkih untuk mengantarkan nafas demi nafas menyambung hidup dalam setandar KHL (Kebutuhan Hidup Layak) menurut pemerintah yang aku tak paham. Yang kutahu, betapa pusing memutar otakku untuk membelanjakan uang agar makan tak lebih dari sepuluh ribu sehari. Tapi nasi sayur dan tempe orek di warteg sudah empat ribu lima ratus. Itu artinya, aku hanya perlu makan dua kali. Teman-teman bilang, belum gajian pusing, sudah gajian bingung.
Sesekali aku masih ke mall. Untuk mencari sabun atau shampo yang berbandrol beli lima gratis 1. Temanku sering memasukkan apel merah dan buah kiwi. Awalnya aku ternganga dibuatnya. Ia hanya tersenyum, dan barang-barang itu segera keluar dari keranjang menjelang antrian di kasir.
Sesekali juga hatiku, mungkin lebih tepat egoku, tiba-tiba memberontak. Saat itu tanganku memegang sebuah gaun. Bahan halus berbandrol Rp 129.000. Dan aku ingin memilikinya. Meski hati berkata tak mungkin, tetap saja kubawa baju itu memasuki kamar pas. Dan memang batapa luwesnya baju itu membalut tubuhku. Rasanya, aku semakin anggun saja. Namun akhirnya, senyuman hambar mengiringi gaun warna biru itu terayun lagi di tempatnya semula.
Minggu berikutnya aku keturutan memakai model itu. Banyak teman memgagumi, modis juga meski imitasi. Dan warnanya memudar oleh diterjen di bak pencucian. Namun ia telah berjasa dalam kencanku yang pertama. Untung saat kupakai cuaca sedang berpihaak denganku. Cuaca baik-baik saja. Tidak turun hujan.Ya, tetap saja beruntung.
Minggu depan, kontrakan harus dibayar. Semoga, gajiku di pabrik tidak ditunda. Kontrakan bisa membuatku menemukan wilayah pribadi. Kebutuhan akan ini, sangat terasa ketika aku harus nebeng ke sana kemari saat jadi pangangguran tanpa tempat tinggal. Ketika itu, kebutuhan fisik, tak lagi menjadi hal penting. Saat itu, bahkan serasa tak berhak atas diri sendiri. Makan nasi, seperti makan duri.
Aku butuh ruang. Yang penting, bisa untuk berbaring. Aku butuh ruang, agar ada tempat menaruh barang-barang, tak mengganggu orang lain untuk berbagi ruang. Sama-sama merasa tak nyaman.
Di bawah atapnya, dibalik pintunya, kudapatkan duniaku. Dunia yang, semua terserah aku. Dunia yang, menyimpan rapi lapar dan kenyangku, dan aku tak perlu malu. Dunia, yang kadang bisa sepi kadang juga full musik seharian jika sedang datang bahagia. Di balik pintu tertutupnya, aku bebas mondar-mandir, bergerak tanpa komando atau perintah mandor. Setiap saat bisa kubuka dan kututup pintunya, tak perlu menghitung detik menunggu bel berbunyi.
Memang tak sepenuhnya. Kadang ada ribut-ribut dari sebelah kanan tetangga, istri dihajar suami, atau jeritan anak minta jajan dihajar ibunya. Selalu saja ada yang namanya toleransi. Tentu, aku harus matikan TV.
Besok, kuharus bekerja lagi. Target sudah menunggu. Kontainer sudah terparkir di lokasi pabrik. Saat-saat ekspor adalah saat paling penting, lebih tepatnya genting. Apalagi menjelang libuaran. Pabrik tak mau rugi akibat target ekspor tak terpenuhi.
Buruh tidak boleh sakit, apalagi anak, suami, lebih-lebih kalau hanya orang tua. Mati juga bukan hal yang penting, apalagi kalau masih sekarat. Di luar sana, masih banyak lulusan baru yang masih segar-segar dan tak menuntut. Begitu kata mandorku berulang kali, setiap hari, seperti robot yang kekurangan program.
Dan tetangga line-ku, seorang kawan tersungkur di mesinnya, dengan darah segar menyembur dari tenggorokannya, akibat tak mempedulikan rasa sakit yang dideritanya.
Kepanikan tergambar di wajah mandor. Ia segera mengamankan korban, mencari pengganti agar proses produksi tak terhenti. Kali itu, kusaksikan kesadaran nurani kemanusiaannya tampil secara utuh. Namun segera saja salah tingkah lebih dominan. Dari upaya menyelamatkan korban dan sikap tak mau dipersalahkan saling mendesak ingin didahulukan, menyentak kesadaran. Kegoyaahan yang sempat tak terkontrol segera diraih dengan bersikap wibawa, agar bawahan tidak bersakwa sangka. Padahal bawahan tahu, bahwa mereka juga korban dalam kadar yang berbeda.
Di suatu sore menjelang pergantian tahun, melalui televisi kulihat penggalan tanyangan persiapan para presenter menyambut tahun baru. Di Monas, di Lippo Karawaci dan di mall-mall besar terlihat semarak menyambut perayaan itu. Usiaku kini sudah 32 tahun. Akankah hidup terus begini? Pemikiran itu tiba-tiba menyeruak di benakku tanpa kendali. Baru kusadari, urat-urat besar bertonjolan pada tangan dan kaki. Asam urat sudah mulai menjelajah tubuhku.
Kudekatkan diri pada tembok. Kuambil benda yang sudah lama tak ingin kumelihatnya berlama-lama. Sebuah wajah menyembul muram dicermin kusam penuh debu. Kucoba kerlingkan mata mengenang masa mudaku, namun begitu beku. Pasangan? Kapan mencarinya…? Minggu pun, kalau harus lembur tak bisa menentang. Kuhitung uang dalam dompet plastik, tinggal lembar-lembar ribuan menunggu saat gajian.
Ah. Selalu saja begini. Kuusap kepala kodok dari bahan lempung. Itu celenganku. Kuterka jumlahnya. Tak mencapai 300 ribu. Apa yang kupunya? Bagaimana jika aku sakit dan harus opname? Bagaimana jika aku punya suami dan melahirkan caesar? Aku tak bisa berpikir, membayangkan pun tak berani.
Tiba-tiba di hadapanku, bayangan kerumunaan orang berdesakan. Wajah-wajah lusuh dibalik bedak menornya. Bedak tebal dalam sapuan kasar dari kosmetik murahan, bibir biru dibalik lipstik gocengan. Rasanya baru kemarin kusaksikan wajah segarnya, ketika kami sama-sama menunggu di pintu gerbang, ketika sama-sama menceritakan tempat asal dan tahun lulusan, sambil harap cemas menunggu panggilan, sebelum akhirnya sama-sama menyandang gelar buruh pabrik.
Di pabrik itulah duniaku, dunia kami. Dunia yang, sejauh mata memandang, hanya terlihat tembok-tembok tebal. Dunia dimana, kuhabiskan waktu untuk berproduksi.
Datangnya pagi, seringkali menjadi momok yang tak dikehendaki. Bertambahnya waktu, seolah bukan sebuah anugerah lagi. Apa arti kehidupan ini? Aku tak mengerti.
Di televisi, presenter muda mulai menyapa pemirsa. “Happy New Year, Heppy New Year!” Gebyar kembang api berpendaran di udara dalam aneka warna.
“Selamat Tahun Baru 2009....! Yeee!”. Ya, malam ini tahun sudah berganti.
Tapi sepertinya, tak akan ada yang berubah.
***
Jakarta, akhir Desember 2008
Waktu. Ia terus bergulir tanpa seorang pun mampu mencegahnya. Pelan namun pasti, masa hidup manusia terlewati dalam keniscayaan. Siapapun tak bisa menawar. Maka seharusnya, ia begitu berharga.
Banyak manusia merasa resah, ketika menyadari setengah abad masa hidupnya terlewati. Banyak yang merasa tak rela, ketika pertambahan usia, memberi gelar tua. Mereka menghibur diri untuk tetap merasa muda, dan kadang menjadi sensitif tatkala sebuah panggilan menyadarkan usia yang sebenarnya. Jika mungkin, waktu ingin diputar kembali.
Namun, dalam ruang yang lain, banyak manusia yang dengan kesadaran, berharap agar waktu cepat berlalu. Jam serasa melaju sangat lamban. Di pagi hari mendamba datangnya siang, di siang hari mengharap segera sore, lalu datang malam, dimana jam kerja berakhir.
Ratusan, bahkan ribuan manusia, berada dalam keadaan yang bukan atas pilihannya. Bergelumut kepulan debu, berbaur bersama bulu-bulu. Amisnya bulu asli, masih terasa lebih baik dibanding bulu buatan. Mereka bilang, bulu buatan, kimianya tajam untuk paru-paru.
Cepatlah siang, cepatlah sore, cepatlah datang malam, agar segera pulang.
Segera tinggalkan kepulan debu-debu dan bau amisnya bulu-bulu. Itulah
harapan di balik mulut-mulut bermasker. Setiap bulu-bulu dijejalkan ke dalam jaket, setiap kali pula debu masuk ke pernafasannya. Sesak. Itulah salah satu proses pembuatan jaket yang didesain untuk negara bermusim gugur. Amerika, Jepang, Korea, Canada dan lainnya.
Sebagian lagi, diapit dinamo mesin-mesin, berpacu dengan kecepatan
langkah-langkah jarum, yang kalau patah akan memercikkan api, akibat
panasnya gesekan tanpa henti. Mata temanku, menjadi cacat karenanya. Namun menjalankan mesin jahit masih lebih beruntung dibanding mesin lobang kancing yang pisau tajamnya bisa membelas telapak tangan. Sudah banyak korban, dan aku berdoa agar jangan sampai memegang mesin itu. Yah, doa yang tamak. Masih saja, aku memikirkan keselamatan diri sendiri dan membiarkan yang lain untuk ditumbalkan.
Atap terbuat dari seng tanpa plafon, memancarkan hawa panas diterpa sinar
matahari. Ditambah dinamo mesin-mesin dan lampu-lampu pabrik yang
tergantung rendah di atas kepala, membuat tubuh terus mengucurkan
keringat. Sapu tangan dalam aneka warna, (selampek, kami menyebutnya) ,
menempel di di atas kepala. Maksudnya untuk melindungi panas, meski uap
basahnya terasa mendidih menetes di kulit
Setiap detik, desing mesin berbaur dengan teriakan demi teriakan mandor.
Dari tanganku harus selalu melahirkan karya, yang disebut produksi.
Kerah-kerah terpasang, manset tersambung, saku tertempel. Tidak boleh
meleset selangkah jarum pun, tidak boleh miring barang semili pun. Semua
harus sesuai standar merk ternama berkualitas internasional. Levi Strauss.
Nike. Adidas.
Begitulah kulewati siangku. Memikirkan targetnya, kualitasnya, komponennya, menjadi bagian mimpi malamku. Temanku yang sudah bersuami, sering kehilangan nafu berhubungan badan dengan suaminya, karena pikirannya terganggu. Dalam mimpinya ia memncari-cari komponen baju yang belum ketemu. Ia pun terbangun, berjalan sambil menyebut-nyebut barang itu. Paginya, ia panggil kedua anaknya yang lucu-lucu, Kelvin dan Felix dengan nama komponen baju.
Semua untuk uang. Yah, uang. Tidak yang lain. Aku perlu makan. Makan pagi agar bisa bekerja hingga siang. Makan siang, untuk mengganjal perutku ketika sarapan pagiku sudah tergerus hingga jam duabelas saat sirene menjerit-jerit tanda istirahat. Dan untuk melanjutkan pekerjaanku hingga malam hari.
Selain nasi, bakwan dan ubi rebus menjadi makananku, juga teman-temanku. Seribu dapat tiga potong. Temanku yang latah, mulutnya sering reflek berdoa buat si mamang pedagang ubi. Ia tak bisa membayangkan jika si Mamang absen berjualan. Melihat gerobaknya di depan gerbang, ada kelegaan tersendiri.
Ribut-ribut kecil terjadi ketika tangan-tangan tak sabaran mengerubuti gerobak. Semua ingin memilih. Lalu, tangan-tangan gemetar segera membelah-belah ubi panas yang masih mengepulkan asap. Gumpalan-gumpalan besar segera berdesakan melewati tenggorokan, membuat muka-muka besemburat merah. Urat-urat besar menyembul di kiri-kanan leher seperti belut sersesat di dalam kulit. Sesaat, ada kepuasan yang seolah totalitas.
Ada suatu masa, ternyata hidup tidak hanya sekedar mengisi perut. Naluriah keperempuananku merasa butuh tampilan yang lain, untuk seorang laki-laki di pertigaan jalan yang selalu menjumpaiku setiap sore, kadang juga malam. Di sanalah ia menunggu. Dan hati kecilku kadang mengutuk seragamku. Hem gomrong dan celana begi, yang menyembunyikan keindahan tubuhku. Seandaninya saja, aku bisa memakai celana model cantik buatanku itu. Aku berkhayal. Entah ini disebut manusiawi atau ambisi. Merk mahal, katanya bisa menaikkan gengsi pemakainya. Apa lagi disaat jatuh cinta begini.
Tapi, toh aku tak bisa memakainya. Ia segera menjadi sesuatu yang asing ketika terpajang di outlet mall-mall ternama. Aku hanya mendapati debu-debunya yang masuk dipernafasan, lekat di pori-pori kulitku, dan menempel di bajuku hingga terbawa masuk ke kontrakan.
Berkali-kali kakiku selalu menyambangi outlet barang terebut setiap kali aku ke mall untuk mencari obralan kebutuhan kamar mandi. Berkali-kali kudekati karton bertulsikan discount 30 – 50%. Tapi, masih saja, tak kurang dari 200 ribu. Jelas, tak terjangkau oleh isi kantongku.
Kini usiaku sudah 30 tahun. Berarti, sudah 13 tahun kuhabiskan umurku di pabrik itu. Ada kegelisahan lain, ketika rasa ngilu mulai menjalari di setiap persendian. Badan mudah lelah. Kepala sering pusing. Badanku gampang sakit sekarang.
Keresahan lain, ketika kusadari, selama di perantauan tak ada hasil yang bisa kusimpan. Gaji demi gaji yang kuterima setiap bulan, sekedar menjadi jembatan ringkih untuk mengantarkan nafas demi nafas menyambung hidup dalam setandar KHL (Kebutuhan Hidup Layak) menurut pemerintah yang aku tak paham. Yang kutahu, betapa pusing memutar otakku untuk membelanjakan uang agar makan tak lebih dari sepuluh ribu sehari. Tapi nasi sayur dan tempe orek di warteg sudah empat ribu lima ratus. Itu artinya, aku hanya perlu makan dua kali. Teman-teman bilang, belum gajian pusing, sudah gajian bingung.
Sesekali aku masih ke mall. Untuk mencari sabun atau shampo yang berbandrol beli lima gratis 1. Temanku sering memasukkan apel merah dan buah kiwi. Awalnya aku ternganga dibuatnya. Ia hanya tersenyum, dan barang-barang itu segera keluar dari keranjang menjelang antrian di kasir.
Sesekali juga hatiku, mungkin lebih tepat egoku, tiba-tiba memberontak. Saat itu tanganku memegang sebuah gaun. Bahan halus berbandrol Rp 129.000. Dan aku ingin memilikinya. Meski hati berkata tak mungkin, tetap saja kubawa baju itu memasuki kamar pas. Dan memang batapa luwesnya baju itu membalut tubuhku. Rasanya, aku semakin anggun saja. Namun akhirnya, senyuman hambar mengiringi gaun warna biru itu terayun lagi di tempatnya semula.
Minggu berikutnya aku keturutan memakai model itu. Banyak teman memgagumi, modis juga meski imitasi. Dan warnanya memudar oleh diterjen di bak pencucian. Namun ia telah berjasa dalam kencanku yang pertama. Untung saat kupakai cuaca sedang berpihaak denganku. Cuaca baik-baik saja. Tidak turun hujan.Ya, tetap saja beruntung.
Minggu depan, kontrakan harus dibayar. Semoga, gajiku di pabrik tidak ditunda. Kontrakan bisa membuatku menemukan wilayah pribadi. Kebutuhan akan ini, sangat terasa ketika aku harus nebeng ke sana kemari saat jadi pangangguran tanpa tempat tinggal. Ketika itu, kebutuhan fisik, tak lagi menjadi hal penting. Saat itu, bahkan serasa tak berhak atas diri sendiri. Makan nasi, seperti makan duri.
Aku butuh ruang. Yang penting, bisa untuk berbaring. Aku butuh ruang, agar ada tempat menaruh barang-barang, tak mengganggu orang lain untuk berbagi ruang. Sama-sama merasa tak nyaman.
Di bawah atapnya, dibalik pintunya, kudapatkan duniaku. Dunia yang, semua terserah aku. Dunia yang, menyimpan rapi lapar dan kenyangku, dan aku tak perlu malu. Dunia, yang kadang bisa sepi kadang juga full musik seharian jika sedang datang bahagia. Di balik pintu tertutupnya, aku bebas mondar-mandir, bergerak tanpa komando atau perintah mandor. Setiap saat bisa kubuka dan kututup pintunya, tak perlu menghitung detik menunggu bel berbunyi.
Memang tak sepenuhnya. Kadang ada ribut-ribut dari sebelah kanan tetangga, istri dihajar suami, atau jeritan anak minta jajan dihajar ibunya. Selalu saja ada yang namanya toleransi. Tentu, aku harus matikan TV.
Besok, kuharus bekerja lagi. Target sudah menunggu. Kontainer sudah terparkir di lokasi pabrik. Saat-saat ekspor adalah saat paling penting, lebih tepatnya genting. Apalagi menjelang libuaran. Pabrik tak mau rugi akibat target ekspor tak terpenuhi.
Buruh tidak boleh sakit, apalagi anak, suami, lebih-lebih kalau hanya orang tua. Mati juga bukan hal yang penting, apalagi kalau masih sekarat. Di luar sana, masih banyak lulusan baru yang masih segar-segar dan tak menuntut. Begitu kata mandorku berulang kali, setiap hari, seperti robot yang kekurangan program.
Dan tetangga line-ku, seorang kawan tersungkur di mesinnya, dengan darah segar menyembur dari tenggorokannya, akibat tak mempedulikan rasa sakit yang dideritanya.
Kepanikan tergambar di wajah mandor. Ia segera mengamankan korban, mencari pengganti agar proses produksi tak terhenti. Kali itu, kusaksikan kesadaran nurani kemanusiaannya tampil secara utuh. Namun segera saja salah tingkah lebih dominan. Dari upaya menyelamatkan korban dan sikap tak mau dipersalahkan saling mendesak ingin didahulukan, menyentak kesadaran. Kegoyaahan yang sempat tak terkontrol segera diraih dengan bersikap wibawa, agar bawahan tidak bersakwa sangka. Padahal bawahan tahu, bahwa mereka juga korban dalam kadar yang berbeda.
Di suatu sore menjelang pergantian tahun, melalui televisi kulihat penggalan tanyangan persiapan para presenter menyambut tahun baru. Di Monas, di Lippo Karawaci dan di mall-mall besar terlihat semarak menyambut perayaan itu. Usiaku kini sudah 32 tahun. Akankah hidup terus begini? Pemikiran itu tiba-tiba menyeruak di benakku tanpa kendali. Baru kusadari, urat-urat besar bertonjolan pada tangan dan kaki. Asam urat sudah mulai menjelajah tubuhku.
Kudekatkan diri pada tembok. Kuambil benda yang sudah lama tak ingin kumelihatnya berlama-lama. Sebuah wajah menyembul muram dicermin kusam penuh debu. Kucoba kerlingkan mata mengenang masa mudaku, namun begitu beku. Pasangan? Kapan mencarinya…? Minggu pun, kalau harus lembur tak bisa menentang. Kuhitung uang dalam dompet plastik, tinggal lembar-lembar ribuan menunggu saat gajian.
Ah. Selalu saja begini. Kuusap kepala kodok dari bahan lempung. Itu celenganku. Kuterka jumlahnya. Tak mencapai 300 ribu. Apa yang kupunya? Bagaimana jika aku sakit dan harus opname? Bagaimana jika aku punya suami dan melahirkan caesar? Aku tak bisa berpikir, membayangkan pun tak berani.
Tiba-tiba di hadapanku, bayangan kerumunaan orang berdesakan. Wajah-wajah lusuh dibalik bedak menornya. Bedak tebal dalam sapuan kasar dari kosmetik murahan, bibir biru dibalik lipstik gocengan. Rasanya baru kemarin kusaksikan wajah segarnya, ketika kami sama-sama menunggu di pintu gerbang, ketika sama-sama menceritakan tempat asal dan tahun lulusan, sambil harap cemas menunggu panggilan, sebelum akhirnya sama-sama menyandang gelar buruh pabrik.
Di pabrik itulah duniaku, dunia kami. Dunia yang, sejauh mata memandang, hanya terlihat tembok-tembok tebal. Dunia dimana, kuhabiskan waktu untuk berproduksi.
Datangnya pagi, seringkali menjadi momok yang tak dikehendaki. Bertambahnya waktu, seolah bukan sebuah anugerah lagi. Apa arti kehidupan ini? Aku tak mengerti.
Di televisi, presenter muda mulai menyapa pemirsa. “Happy New Year, Heppy New Year!” Gebyar kembang api berpendaran di udara dalam aneka warna.
“Selamat Tahun Baru 2009....! Yeee!”. Ya, malam ini tahun sudah berganti.
Tapi sepertinya, tak akan ada yang berubah.
***
Jakarta, akhir Desember 2008
Seorang Anak Buatmu
Oleh Siti Nurrofiqoh
Malam ini aku di tempat yang dulu. Belum ada yang berubah. Pohon pisang itu, batu besar itu, masih di tempatnya semula. Yang berbeda, aku tanpamu. Kamu ada di sana. Di dalam sebuah ruang yang lain.
Duniaku. Duniamu. Duniamu kadang hanya jadi milikmu dan duniaku mutlak menjadi milikku. Duniamu terkadang tak kumengerti meski aku mencoba memahami. Duniamu sering membuat jarak kita begitu jauh meski kita begitu dekat. Membuat kita sama-sama cemas.
Saat itu, dalam kebersamaan kita, kamu disibukkan oleh panggilan dan nada pesan yang terus berdering. Hal yang kau harapkan sekaligus tidak. Kamu bilang, setiap prosesnya selalu mendebarkan.
“Dunia ini menjadi sangat sempit buatku,” begitu katamu selalu. Dan kamu ingin berlari jauh darinya. Namun langkahmu selalu surut ke belakang. Dan aku jemu.
“Ibuku…ibuku, aku perlu memberinya makan. Kami perlu makan,” katamu melanjutkan. Dan aku hanya diam.
“Sejujurnya, pakaian ini, celana dan sendal yang kupakai ini, semua hasil dari itu. Itu kuakui.”
Dia berlaku jujur, dihadapanku, wanita yang hendak dipikat hatinya ini. Kejujuran yang getir. Segetir ekspresi di wajahnya. Keceriaan itu sirna, kini berubah mendung. Tidak seperti yang tadi kulihat ketika kaki kami mengjinjak tanah merah lapangan itu. Darahmu seolah mengendap, membuat kulitmu yang putih nampak pias. Aku ingin bicara, tapi aku juga tak ingin bicara. Dan kau meneruskan kalimatmu. Kamu nampak putus asa.
“Semua kakakmu tak ada yang peduli dengan ibu?”
“Mereka sudah menikah dan sibuk dengan urusan rumah tangganya. Yang laki-laki kalah dengan istri-istrinya. Entahlah. Mereka tak pernah mau datang meskipun ibuku sakit.”
“Kakakmu kan ada yang kaya?”
“Bukan kakakku yang kaya, tapi istrinya.”
Aku tahu dia tinggal dengan ibunya. Hanya berdua saja. Namun soal ketakpedulian anak-anak yang lain, aku tak mengerti.
Di lain saat kamu datang dengan Katana warna putih. Kau bilang itu kepunyaan kakak iparmu. Kau ingin menunjukkan bahwa akhirnya, kamu lulus kursus stir mobil. Itu salah stu alternatif yang pernah kita sepakati bulan lalu, agar kau bisa tinggalkan duniamu yang sekarang. Dan aku menurutimu pergi malam itu. Kita ke pantai.
“Tenang bu…ini halal,” katamu terssenyum sambil menyodorkan menu hidangan seefood. Kali ini keningku tak berkerut. Karena aku tahu, belakangan ini kamu bekerja di sebuah proyek. Uang halal. Ah, benarkah? Rasanya tak masuk akal. Tapi, aku tak peduli untuk kali ini.
Angin laut kencang sekali. Gelombang pasangnya timbulkan suara gemuruh tiada henti. Entah kenapa, hatiku miris memikirkan alam yang selalu tergerus.
Sebuah cahaya melayang jatuh di dekat kita. “Bintang jatuh!” kamu berteriak. Aku baru sadar malam telah larut. Rembulan sebentar-sebentar tersaput awan.
Sebuah cahaya melayang ke dekat kita lagi dan jatuh. Dan kau berkata tak ingin kehilanganku. Aku melirikmu, dengan hati disergap keraguan. Namun kubiarkan dirimu memelukku. Kita bermesraan, dan untuk pertama kali etika meminta ijin tak berlaku buatmu. Aku merelakannya. Aku tengadah. Kita sama-sama memandang rembulan dan…perasaanku bergelora.
Hempasan angin kembali mempermainkan rambutku. Dan kau merapikannya. Juga kau betulkan letak syal di leherku. Syal dari persatuan sepak bola milikmu. Dan aku mengajakmu kembali ke dalam mobil.
Geloraku masih belum sirna. Bahkan kian menyetak-nyentak naluri kewanitaanku. Aku mencoba bertahan. Kusandarkan kepala pada kursi setengah merebah. Kau diam di sampingku, sambil menatap rembulan meski ekor matamu selalu ke arahku. Kita masih menikmati rembulan.
Gemas rasanya melihatmu masih diam begitu. Ingin rasanya aku memualinya. Ingin kuraih wajahmu. Tapi… Ah jangan. Besok belum tentu aku bisa berkomitmen. Aku tak ingin buat kau ke GR an. Harus bertahan…kamu harus bisa tahan, begitulah kubimbing diriku sendiri.
Esok segalanya kembali seperti biasa. Kemunculanmu yang tak pernah lama, mewarnai rutinitas hari-hariku sepulang kerja. Kita lebih sering berantem. Dan kau sering diam meski itu tak pernah lama. Kebersamaan yang rutin namuan seperti melayang antara ada dan tiada. Kedatanganmu kadang kutunggu, namun kadang juga takku kehendaki. Dan aku selalu berterus terang padamu soal itu.
Namun sikap dinginku, acuhku, sering tak kau tanggapi. Kau selalu menghindari ribut denganku. Dan aku sering kesal kau tak memberi perlawanan. Kamu, seperti bayangan dalam kehidupanku. Namun juga nyata adanya ketika setangkai mawar merah kau bawa di hari ulang tahunku yang bahkan aku tak mengingatnya.
“Begitu susah meluruhkan hatimu,” katamu sambil tersenyum dan mengulurkan bunga padaku. Mirip adegan di sinetron. Aku menerimanya dan kita sama-sama tersenyum. Menentramkan.
“Aku cinta kau Chen,” kataku dalam hati. Kupandangi kamu. Matamu, bibirmu, juga tubuhmu yang tegap namun lentur. Selentur sikapmu yang selalu sabar.
“Seandainya kamu tahu, aku juga mencintaimu. Menyayangimu,” aku mengulangnya sekali lagi dalam hati. Dan kubiarkan pikiranku berimajinasi dalam keliaran tentangmu. Biarlah.
Bulan ini aku sedang disibukkan oleh urusan serikat buruh yang membuatku dan teman-temanku harus berdemonstrai ke berbagai instansi pemerintah. Di kantor menteri tenaga kerja kau sering menjengukku. Apalagi saat aku ditangkap polisi dan diancam oleh preman yang mendukung perusahaan, kau selalu setia. Kau bilang, siap korbankan nyawa.
Dan kita jarang ketemu. Kadang kuberikan alasan sibuk di sedikit waktu senggangku. Meski sejujurnya aku sangat membutuhkanmu. Tapi bukan itu sesungguhnya. Aku memang menhgindarimu.
Belakangan, keluargaku tahu apa yang kau lakukan. Dan mereka menjdodohkanku dengan yang lain. Setiap bulan, aku selalu disambangi. Dan aku tak berdaya. Calonku bernama Rohmat. Dia anak orang kaya dan terpandang di kampungku. Makanya, kakaku yang gila harta matian-matian memaksaku. Ibuku diperalat. Secara kompak, kakak-kakaku tak peduli lagi dengan ibu. Bahkan ketika beliau sakit, aku harus bolak-balik Magelang Jakarta untuk membawanya ke dokter. Seolah, kalau aku tak hidup di desa itu, ibuku tak ada yang ngurusin. Mati hidup seseorang, dikondisikan berada di pundakku. Itu baru kusadari belakangan.
Hingga suatu siang kau datang ke perusahaan tempatku bekerja. Kau memintaku untuk ijin keluar. Dan aku langsung melakukannya. Melawan bayangmu, membuatku dilanda kerinduan yang hebat.
“Silahkan tuan puteri…” begitu kebiasaanmu memperlakukan aku. Untuk tuan puterimu yang jarang mandi ini. Apa lagi bermake up.
“Kita mau ke mana? Maukah ke puncak? Atau, Taman Cibodas?” Dan kupilih yang terakhir.
Guyuran hujan menyambut kedatangan kita sore itu. Dan kita tetap bergeming di atas punggung kuda yang tampaknya menikmati juga. Kau titipkan bajumu di sebuah warung. Dan di saat berikutnya aku baru tahu bahwa itu untuk menghangatkanku.
Gerimis masih menetes dari ujung-ujung genting di sebuah penginapan berkelas melati. Bunga-bunga di beranda terayun-ayun oleh terpaan arinya. Aku bertanya padamu tentang sesuatu.
“Jangan” sergahmu.
“Bisaah kau jangan tanya barang seperti itu? Kau selalu membencinya. Kenapa jadi begini? Ada apa?” katamu menatapku lekat.
“Karena marahmu, aku ingin berubah. Kebencianmu, sikap sinismu, penolakan-penolakanmu atas semua pemberianku, itu yang membuatku terus berpikir ingin berubah,” katamu berapi-api.
“Marahlah kalau sedang ingin marah. Menagislah kalau ingin menagis.” Nada suaramu kini lembut. Lalu kau rengkuh bahuku.
“Selam ini kamu yang selalu protes. Kamu yang selalu mendiamkanku. Itu membuatku berpikir. Sungguh, aku terus berpikir tinggalkan semuanya. Kamu lihat sendiri aku jadi kuli bangunan, aku mulai kursus stir mobil, supaya aku bisa menemukan pekerjaan yang membuatmu lega dan mau menerimaku.”
Seorang pelayan membawakan kopi pesanan. Kukeluarkan rokok miliknya. Dia nyalakan api untukku.
“Demi kesehatan…”
“Aku tahu,” potongku, sambil kuhemkbuskan asap kuat-kuat. Aku mendesah.
“Iya, kamu tahu itu. Aku percaya,” katanya seraya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.
“Rambutmu basah. Lebih baik cepat mandi.”
Kuambil handuk yang masih terlipat di atas spring bed dan melangkah ke kamar mandi. Dingin air pegunungan memberiku gairah tersendiri. Urusan pabrik, perundingan yang gagal, panggilan polisi, kulepaskan dari pikiran. Kali ini, hanya akan kugunakan otak kananku. Aku tersenyum sendirian sambil terus menikmati guyuran air yang mengucur dari lubang sower bak gerimis.
“Belum selesai?”
“Sudah.”
“Kenapa masih di dalam?”
“Hm…hm…aku tak pakai pakaian dalam,” kataku sambil ketawa.
“Aku nggak lihat kok. Langsung aja pakai selimut ya?” Ia memberikan selimut dari balik pintu.
Di balik selimut, kurasakan tubuhku mulai menghangat. Ia mengeringkan bajunya dan bajuku. Ia peras dan membentangkannya di jemuran besi. Kini gantian aku menyuruhnya mandi.
“Nanti aku pakai apaan?”
“Hm,hm,” kataku menunjuk ke selimut yang hanya selembar dan telah kupakai sebagian. Ia senyum dan geleng-geleng kepala sambil masuk kamar mandi.
Kita satu selimut kini. Aku merasa lebih bergairah. Gairah yang masih saja kubendung. Aku pejamkan mataku. Kau gantikan bantal dengan lenganmu. Dan aku palingkah wajah agar tak kau ketahui batapa kendaliku sudah mulai rapuh.
“Kita tidur ya…?” kataku.
“Iya. Kita tidur.”
Perasaanku kian berkecamuk. Bagaimana pun aku perlu berterus terang tentang perjodohanku, tentang profesimu, tentang…akhirnya banyak hal kusampaikan padamu. Dan aku bergetar. Kamu juga. Lama kita terdiam.
“Dari dulu aku pernah bilang soal ini. Di mata masyarakat, kamu tetap salah.”
“Aku kan ingin berhenti. Sedang berproses. Meskipun dengan berhentinya aku, mungkin tak akan mengubah apa-apa. Masyarakat, generasi kita, tetap akan rusak. Aku bukan yang memulai, dan aku juga bukan yang mengakhiri. Tetap akan ada orang-orang sepertiku sebelum dan sesudahnya.”
“Tapi aku tak mau kau termasuk yang merusaknya,” kataku dengan suara yang kusadari mualai parau.
Tiba-tiba bayanganku melanglang ke ruang-rung instansi pemerintah, DPR, Walikota, kantor Gubernur dan kepolisian yang belum lama ini menangkapku dan teman-teman buruh lainnya yang tak bersalah. Kami menuntut hak yang dirampas oleh perusahaan, kenapa kami yang ditangkap? Hukum yang buta, sungguh menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Dalam tampilannya yang rapi dan tak lepas dari safari, mereka melakukan kejahatan HAM. Aku tiba-tiba merasa tak tahu apakah aku bersikap adil dengan orang yang kucintai di sebelahku ini atau tidak. Aku tak tahu. Dan tanpa terasa isakku tak bisa ditahan lagi.
“Gimana tentang polisi yang pernah kamu certiakan waktu itu. Apakah dia sekaligus menjadi pelindungmu?” tanyaku. Aku mulai disergap kekawatiran tentangnya.
“Dia baik padaku. Dia nggak akan macam-macam. Dia sudah punya rumah besar bertingkat. Sudah banyak duit. Aman kok.”
Entah kenapa, saat kau bilang aman, dalam hatiku malah mengatakan bahwa dia adalah ancaman. Aku pernah melihatnya meski dari kajauhan saat kamu menemuinya. Ia menatapku tajam. Dan kau membentangkan kedua tanganmu, mengedikkan pundak lalu menoleh ke arahku juga. Serah terima selesai diiringi tepukan di pundakmu.
Hatiku semakin tak karuan. Aku semakin mengkawatirkanmu.
“Kenapa diam begitu…? Aku nggak akan maksa. Memang aku harus sendiri. Dan aku akan sendiri. Melangkahlah tanpa beban. Tak usah pikirkan aku. Aku akan baik-baik saja.”
“Kalau inginkan anak dariku. Aku mau memberinya. Agar nanti bisa merawatmu. Bisa menjadi temanmu, seperti yang pernah sama-sama kita impikan.”
Kusapu bulu-bulu halus yang tumbuh di dadamu. Kulingkarkan lenganku di lehermu hingga wajah kita sangat dekat. Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku dan kutarik tanganmu.
“Ayo…kamu boleh melakukannya sekarang.”
Kau mulai memelukku. Sangat erat. Diam. Kau diamkan aku dalam keadaan seperti itu, hingga aku merasa malu atas diriku yang bersikap sangat rendah. Aku menyadari telah emosional. Dan di saat itu malah wajah ibumumu yang melintas begitu nyata di depanku. Perempuan yang renta dengan rambut memutih seluruhnya. Juga kegamanganmu yang akan melalui persoalan ini sendirian.
“Bukan begini yang kuinginkan. Sudahlah…,” katamu sambil selimuti tubuhku kembali.
Lampu ruang depan dipadamkan. Aku tersentak. Rupanya sudah lama simbok menunggu di depan pintu. Aku tak sadar hari sudah larut. Kugandeng tangan simbok memasuki rumah kecil kami.
Chen. Sedang apa kamu di sana. Sudah hampir tiga tahun kau menempati ruang sempit itu. Kemarin kau bilang remisimu ditolak dan suruh main PB. Semoga hukuman atas dirimu segera usai. Ini dunia. Mata manusia, terkadang melihat segala sesuatu hanya sebagaimana adanya. Selamat tahun baru.
Jakarta, 21 Januari 2009
Malam ini aku di tempat yang dulu. Belum ada yang berubah. Pohon pisang itu, batu besar itu, masih di tempatnya semula. Yang berbeda, aku tanpamu. Kamu ada di sana. Di dalam sebuah ruang yang lain.
Duniaku. Duniamu. Duniamu kadang hanya jadi milikmu dan duniaku mutlak menjadi milikku. Duniamu terkadang tak kumengerti meski aku mencoba memahami. Duniamu sering membuat jarak kita begitu jauh meski kita begitu dekat. Membuat kita sama-sama cemas.
Saat itu, dalam kebersamaan kita, kamu disibukkan oleh panggilan dan nada pesan yang terus berdering. Hal yang kau harapkan sekaligus tidak. Kamu bilang, setiap prosesnya selalu mendebarkan.
“Dunia ini menjadi sangat sempit buatku,” begitu katamu selalu. Dan kamu ingin berlari jauh darinya. Namun langkahmu selalu surut ke belakang. Dan aku jemu.
“Ibuku…ibuku, aku perlu memberinya makan. Kami perlu makan,” katamu melanjutkan. Dan aku hanya diam.
“Sejujurnya, pakaian ini, celana dan sendal yang kupakai ini, semua hasil dari itu. Itu kuakui.”
Dia berlaku jujur, dihadapanku, wanita yang hendak dipikat hatinya ini. Kejujuran yang getir. Segetir ekspresi di wajahnya. Keceriaan itu sirna, kini berubah mendung. Tidak seperti yang tadi kulihat ketika kaki kami mengjinjak tanah merah lapangan itu. Darahmu seolah mengendap, membuat kulitmu yang putih nampak pias. Aku ingin bicara, tapi aku juga tak ingin bicara. Dan kau meneruskan kalimatmu. Kamu nampak putus asa.
“Semua kakakmu tak ada yang peduli dengan ibu?”
“Mereka sudah menikah dan sibuk dengan urusan rumah tangganya. Yang laki-laki kalah dengan istri-istrinya. Entahlah. Mereka tak pernah mau datang meskipun ibuku sakit.”
“Kakakmu kan ada yang kaya?”
“Bukan kakakku yang kaya, tapi istrinya.”
Aku tahu dia tinggal dengan ibunya. Hanya berdua saja. Namun soal ketakpedulian anak-anak yang lain, aku tak mengerti.
Di lain saat kamu datang dengan Katana warna putih. Kau bilang itu kepunyaan kakak iparmu. Kau ingin menunjukkan bahwa akhirnya, kamu lulus kursus stir mobil. Itu salah stu alternatif yang pernah kita sepakati bulan lalu, agar kau bisa tinggalkan duniamu yang sekarang. Dan aku menurutimu pergi malam itu. Kita ke pantai.
“Tenang bu…ini halal,” katamu terssenyum sambil menyodorkan menu hidangan seefood. Kali ini keningku tak berkerut. Karena aku tahu, belakangan ini kamu bekerja di sebuah proyek. Uang halal. Ah, benarkah? Rasanya tak masuk akal. Tapi, aku tak peduli untuk kali ini.
Angin laut kencang sekali. Gelombang pasangnya timbulkan suara gemuruh tiada henti. Entah kenapa, hatiku miris memikirkan alam yang selalu tergerus.
Sebuah cahaya melayang jatuh di dekat kita. “Bintang jatuh!” kamu berteriak. Aku baru sadar malam telah larut. Rembulan sebentar-sebentar tersaput awan.
Sebuah cahaya melayang ke dekat kita lagi dan jatuh. Dan kau berkata tak ingin kehilanganku. Aku melirikmu, dengan hati disergap keraguan. Namun kubiarkan dirimu memelukku. Kita bermesraan, dan untuk pertama kali etika meminta ijin tak berlaku buatmu. Aku merelakannya. Aku tengadah. Kita sama-sama memandang rembulan dan…perasaanku bergelora.
Hempasan angin kembali mempermainkan rambutku. Dan kau merapikannya. Juga kau betulkan letak syal di leherku. Syal dari persatuan sepak bola milikmu. Dan aku mengajakmu kembali ke dalam mobil.
Geloraku masih belum sirna. Bahkan kian menyetak-nyentak naluri kewanitaanku. Aku mencoba bertahan. Kusandarkan kepala pada kursi setengah merebah. Kau diam di sampingku, sambil menatap rembulan meski ekor matamu selalu ke arahku. Kita masih menikmati rembulan.
Gemas rasanya melihatmu masih diam begitu. Ingin rasanya aku memualinya. Ingin kuraih wajahmu. Tapi… Ah jangan. Besok belum tentu aku bisa berkomitmen. Aku tak ingin buat kau ke GR an. Harus bertahan…kamu harus bisa tahan, begitulah kubimbing diriku sendiri.
Esok segalanya kembali seperti biasa. Kemunculanmu yang tak pernah lama, mewarnai rutinitas hari-hariku sepulang kerja. Kita lebih sering berantem. Dan kau sering diam meski itu tak pernah lama. Kebersamaan yang rutin namuan seperti melayang antara ada dan tiada. Kedatanganmu kadang kutunggu, namun kadang juga takku kehendaki. Dan aku selalu berterus terang padamu soal itu.
Namun sikap dinginku, acuhku, sering tak kau tanggapi. Kau selalu menghindari ribut denganku. Dan aku sering kesal kau tak memberi perlawanan. Kamu, seperti bayangan dalam kehidupanku. Namun juga nyata adanya ketika setangkai mawar merah kau bawa di hari ulang tahunku yang bahkan aku tak mengingatnya.
“Begitu susah meluruhkan hatimu,” katamu sambil tersenyum dan mengulurkan bunga padaku. Mirip adegan di sinetron. Aku menerimanya dan kita sama-sama tersenyum. Menentramkan.
“Aku cinta kau Chen,” kataku dalam hati. Kupandangi kamu. Matamu, bibirmu, juga tubuhmu yang tegap namun lentur. Selentur sikapmu yang selalu sabar.
“Seandainya kamu tahu, aku juga mencintaimu. Menyayangimu,” aku mengulangnya sekali lagi dalam hati. Dan kubiarkan pikiranku berimajinasi dalam keliaran tentangmu. Biarlah.
Bulan ini aku sedang disibukkan oleh urusan serikat buruh yang membuatku dan teman-temanku harus berdemonstrai ke berbagai instansi pemerintah. Di kantor menteri tenaga kerja kau sering menjengukku. Apalagi saat aku ditangkap polisi dan diancam oleh preman yang mendukung perusahaan, kau selalu setia. Kau bilang, siap korbankan nyawa.
Dan kita jarang ketemu. Kadang kuberikan alasan sibuk di sedikit waktu senggangku. Meski sejujurnya aku sangat membutuhkanmu. Tapi bukan itu sesungguhnya. Aku memang menhgindarimu.
Belakangan, keluargaku tahu apa yang kau lakukan. Dan mereka menjdodohkanku dengan yang lain. Setiap bulan, aku selalu disambangi. Dan aku tak berdaya. Calonku bernama Rohmat. Dia anak orang kaya dan terpandang di kampungku. Makanya, kakaku yang gila harta matian-matian memaksaku. Ibuku diperalat. Secara kompak, kakak-kakaku tak peduli lagi dengan ibu. Bahkan ketika beliau sakit, aku harus bolak-balik Magelang Jakarta untuk membawanya ke dokter. Seolah, kalau aku tak hidup di desa itu, ibuku tak ada yang ngurusin. Mati hidup seseorang, dikondisikan berada di pundakku. Itu baru kusadari belakangan.
Hingga suatu siang kau datang ke perusahaan tempatku bekerja. Kau memintaku untuk ijin keluar. Dan aku langsung melakukannya. Melawan bayangmu, membuatku dilanda kerinduan yang hebat.
“Silahkan tuan puteri…” begitu kebiasaanmu memperlakukan aku. Untuk tuan puterimu yang jarang mandi ini. Apa lagi bermake up.
“Kita mau ke mana? Maukah ke puncak? Atau, Taman Cibodas?” Dan kupilih yang terakhir.
Guyuran hujan menyambut kedatangan kita sore itu. Dan kita tetap bergeming di atas punggung kuda yang tampaknya menikmati juga. Kau titipkan bajumu di sebuah warung. Dan di saat berikutnya aku baru tahu bahwa itu untuk menghangatkanku.
Gerimis masih menetes dari ujung-ujung genting di sebuah penginapan berkelas melati. Bunga-bunga di beranda terayun-ayun oleh terpaan arinya. Aku bertanya padamu tentang sesuatu.
“Jangan” sergahmu.
“Bisaah kau jangan tanya barang seperti itu? Kau selalu membencinya. Kenapa jadi begini? Ada apa?” katamu menatapku lekat.
“Karena marahmu, aku ingin berubah. Kebencianmu, sikap sinismu, penolakan-penolakanmu atas semua pemberianku, itu yang membuatku terus berpikir ingin berubah,” katamu berapi-api.
“Marahlah kalau sedang ingin marah. Menagislah kalau ingin menagis.” Nada suaramu kini lembut. Lalu kau rengkuh bahuku.
“Selam ini kamu yang selalu protes. Kamu yang selalu mendiamkanku. Itu membuatku berpikir. Sungguh, aku terus berpikir tinggalkan semuanya. Kamu lihat sendiri aku jadi kuli bangunan, aku mulai kursus stir mobil, supaya aku bisa menemukan pekerjaan yang membuatmu lega dan mau menerimaku.”
Seorang pelayan membawakan kopi pesanan. Kukeluarkan rokok miliknya. Dia nyalakan api untukku.
“Demi kesehatan…”
“Aku tahu,” potongku, sambil kuhemkbuskan asap kuat-kuat. Aku mendesah.
“Iya, kamu tahu itu. Aku percaya,” katanya seraya mengangguk-angguk sambil memejamkan mata.
“Rambutmu basah. Lebih baik cepat mandi.”
Kuambil handuk yang masih terlipat di atas spring bed dan melangkah ke kamar mandi. Dingin air pegunungan memberiku gairah tersendiri. Urusan pabrik, perundingan yang gagal, panggilan polisi, kulepaskan dari pikiran. Kali ini, hanya akan kugunakan otak kananku. Aku tersenyum sendirian sambil terus menikmati guyuran air yang mengucur dari lubang sower bak gerimis.
“Belum selesai?”
“Sudah.”
“Kenapa masih di dalam?”
“Hm…hm…aku tak pakai pakaian dalam,” kataku sambil ketawa.
“Aku nggak lihat kok. Langsung aja pakai selimut ya?” Ia memberikan selimut dari balik pintu.
Di balik selimut, kurasakan tubuhku mulai menghangat. Ia mengeringkan bajunya dan bajuku. Ia peras dan membentangkannya di jemuran besi. Kini gantian aku menyuruhnya mandi.
“Nanti aku pakai apaan?”
“Hm,hm,” kataku menunjuk ke selimut yang hanya selembar dan telah kupakai sebagian. Ia senyum dan geleng-geleng kepala sambil masuk kamar mandi.
Kita satu selimut kini. Aku merasa lebih bergairah. Gairah yang masih saja kubendung. Aku pejamkan mataku. Kau gantikan bantal dengan lenganmu. Dan aku palingkah wajah agar tak kau ketahui batapa kendaliku sudah mulai rapuh.
“Kita tidur ya…?” kataku.
“Iya. Kita tidur.”
Perasaanku kian berkecamuk. Bagaimana pun aku perlu berterus terang tentang perjodohanku, tentang profesimu, tentang…akhirnya banyak hal kusampaikan padamu. Dan aku bergetar. Kamu juga. Lama kita terdiam.
“Dari dulu aku pernah bilang soal ini. Di mata masyarakat, kamu tetap salah.”
“Aku kan ingin berhenti. Sedang berproses. Meskipun dengan berhentinya aku, mungkin tak akan mengubah apa-apa. Masyarakat, generasi kita, tetap akan rusak. Aku bukan yang memulai, dan aku juga bukan yang mengakhiri. Tetap akan ada orang-orang sepertiku sebelum dan sesudahnya.”
“Tapi aku tak mau kau termasuk yang merusaknya,” kataku dengan suara yang kusadari mualai parau.
Tiba-tiba bayanganku melanglang ke ruang-rung instansi pemerintah, DPR, Walikota, kantor Gubernur dan kepolisian yang belum lama ini menangkapku dan teman-teman buruh lainnya yang tak bersalah. Kami menuntut hak yang dirampas oleh perusahaan, kenapa kami yang ditangkap? Hukum yang buta, sungguh menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Dalam tampilannya yang rapi dan tak lepas dari safari, mereka melakukan kejahatan HAM. Aku tiba-tiba merasa tak tahu apakah aku bersikap adil dengan orang yang kucintai di sebelahku ini atau tidak. Aku tak tahu. Dan tanpa terasa isakku tak bisa ditahan lagi.
“Gimana tentang polisi yang pernah kamu certiakan waktu itu. Apakah dia sekaligus menjadi pelindungmu?” tanyaku. Aku mulai disergap kekawatiran tentangnya.
“Dia baik padaku. Dia nggak akan macam-macam. Dia sudah punya rumah besar bertingkat. Sudah banyak duit. Aman kok.”
Entah kenapa, saat kau bilang aman, dalam hatiku malah mengatakan bahwa dia adalah ancaman. Aku pernah melihatnya meski dari kajauhan saat kamu menemuinya. Ia menatapku tajam. Dan kau membentangkan kedua tanganmu, mengedikkan pundak lalu menoleh ke arahku juga. Serah terima selesai diiringi tepukan di pundakmu.
Hatiku semakin tak karuan. Aku semakin mengkawatirkanmu.
“Kenapa diam begitu…? Aku nggak akan maksa. Memang aku harus sendiri. Dan aku akan sendiri. Melangkahlah tanpa beban. Tak usah pikirkan aku. Aku akan baik-baik saja.”
“Kalau inginkan anak dariku. Aku mau memberinya. Agar nanti bisa merawatmu. Bisa menjadi temanmu, seperti yang pernah sama-sama kita impikan.”
Kusapu bulu-bulu halus yang tumbuh di dadamu. Kulingkarkan lenganku di lehermu hingga wajah kita sangat dekat. Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku dan kutarik tanganmu.
“Ayo…kamu boleh melakukannya sekarang.”
Kau mulai memelukku. Sangat erat. Diam. Kau diamkan aku dalam keadaan seperti itu, hingga aku merasa malu atas diriku yang bersikap sangat rendah. Aku menyadari telah emosional. Dan di saat itu malah wajah ibumumu yang melintas begitu nyata di depanku. Perempuan yang renta dengan rambut memutih seluruhnya. Juga kegamanganmu yang akan melalui persoalan ini sendirian.
“Bukan begini yang kuinginkan. Sudahlah…,” katamu sambil selimuti tubuhku kembali.
Lampu ruang depan dipadamkan. Aku tersentak. Rupanya sudah lama simbok menunggu di depan pintu. Aku tak sadar hari sudah larut. Kugandeng tangan simbok memasuki rumah kecil kami.
Chen. Sedang apa kamu di sana. Sudah hampir tiga tahun kau menempati ruang sempit itu. Kemarin kau bilang remisimu ditolak dan suruh main PB. Semoga hukuman atas dirimu segera usai. Ini dunia. Mata manusia, terkadang melihat segala sesuatu hanya sebagaimana adanya. Selamat tahun baru.
Jakarta, 21 Januari 2009
Black Tea dari An
Oleh Siti Nurrofiqoh
“Pagi,” sapaku.
“Pagi juga, “ jawab An.
“Aku belikan black tea buat Mbak Fiqoh. Teh ini mencegah kanker payudara,” katanya seraya menoleh ke atas kulkas. Di sana, ia taruh kotak warna coklat. Dan ia melangkah ke ruang sebelah.
“Makasih. Mau dibuatkan sekalian?” Kataku saat ia kembali ke ruanganku.
“Nggak usah, nanti saja habis makan siang. Ingat, sehari empat gelas.”
Aku mengangguk. Aku dan An baru kenal dua minggu. Ia salah satu peserta kelas jurnalisme sastrawi yang diadakan Pantau. An terbang dari Makassar untuk kegiatan ini. Dua kali kami membuat janji ketemu di luar kantor. Di Steak Obong, kali pertama kami melewatkan waktu untuk bersantai. Percakapan informal, meski masih juga ada nuansa serius.
Malam tadi, kami ketemu untuk kedua kali di kolam renang apartemen Permata Senayan. Ia ingin mewawancaraiku.
Kubuang puntung rokok keduaku. Dan aku menyambungnya lagi dengan sebatang rokok bermerk lain. Sampoerna Mild. Udara dingin. Esse menthol-ku terasa tak menghangatkan. Ah, tapi bukan itu. Bukan karena udara dingin. Memang aku sedang ingin merokok.
“Ada masalah…?”
“Enggak. Cuma sedikit capek.”
“Sudah makan malam?”
“Nanti mau makan malam di rumah. Temanku barusan sms, dia bawa makanan.”
An memberi isyarat bahwa wawancara akan dimulai. Aku tersenyum. Rasanya jadi lucu.
“Ini buat lucu-lucuan aja ya?”
“Tidak. Saya serius.”
“Ya udah. Terserah.”
Ia mengawali pertanyaan tentang, apakah aku termasuk orang yang religius atau tidak, dan mengakhirinya dengan menanyakan kegiatanku di perburuhan.
“Selesai. Mari kita ngobrol di luar konteks wawancara.”
Dan kami ngoborl banyak hal. Andriani Salam Jacques Kusni. Nama yang panjang di antara peserta lain. Dua deret di belakang namnya adalah nama suaminya, Jean Jacques Kusni, seorang penulis. Usia mereka terpaut jauh. An kelahiran 1977, JJK sudah berusia 68 tahun.
“Gimana nilai plusnya menikah dengan orang yang lebih tua? Mungkin dia lebih ngemong? Lebih mengalah?” An menatapku. Ingin ketakan sesuatu dan aku mendahuluinya.
“Ah, aku ini kok naif ya? Toh, dalam percintaan, tidak harus ada pemenang dan pihak yang kalah?”
An mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku menyadari kebodohan pemikiranku.
Kecipak air sesekali terdengar dari dua laki-laki yang sedang berenang di depan kami. Sering juga kami membiarkan waktu berlalu dalam kebisuan.
“Maaf, ini terlalu pribadi. Bolehkah saya beri saran?”
“Tentang apa?”
“Kalau bisa jangan menikah dengan sesama buruh. Kamu terlalu pintar. ”Aku menoleh ke An.
“Memangnya kenapa…? Dalam kemanusian, kadang pintar dan bodoh batasnya tipis. Banyak orang pintar yang sibuk dengan kepintarannya dan tak mau berbuat. Sama aja. Apa gunanya.” Kembali, kami mengguk-anggukkan kepala sambil sama-sama tertawa.
“Bisa diceritakan bagaimana berkenalan dan menikah dengan JJK?” Aku balik bertanya.
Ia merenung sesaat. “…Bertemu Januari 2008 dan, menikah Februari 2008”
“Wah. Cepat sekali.”
“Aku yang nantang dia. Jaman sekarang, banyak orang bisa berkata ini dan itu. Bermain dengan kata-kata. Bagi saya, yang penting bagaimana tindakannya. Saya menantangnya untuk meminang saya melalui orang tua saya. Dan dia melakukannya.”
“Dari awal sudah tahu JJK orang terkenal?”
“Belum. Baru setelah menikah. Saya browsing di internet,” jawab An datar. Keheningan selimuti malam yang kian merambat. Kami diam dengan pikiran masing-masing.
Aku jadi ingat kisahku sendiri. Dengan seroang laki-laki di bagian Timur Jawa. Minggu lalu, dia menolakku. Katanya, ia belum berani memikirkan pernikahan. Ia takut bahtera rumah tangga bakal tenggelam bersama orang yang ia cintai. Dia belum berani menjadi nahkoda.
Bagiku, lain lagi. Karam tidaknya kapal, tidak bisa dibahas hari ini, besok atau lusa tetapi, bagaimana kita memiliki keberanian untuk menyatakan diri bahwa: Saya sanggup menjadi “nahkoda” kapal kehidupan saya, sendiri ataupun berdua. Bukankah siap atau tidak, manusia memang harus mengarungi luasnya samudera kehidupan…?
Kejujuran. Kesetiaan. Bukan sekedar apa yang kita dengar hari ini melalui janji. Ia perlu dibuktikan dari waktu ke waktu. Aku adi ingat para politikus yang senang beriklan. Dan untuk kesekian kali, janji diingkari, rakyat tertipu. Sungguh memuakkan.
Black Tea. Untuk mencegah kanker payudara? Ah, mungkin karena, selama kami bertemu, ia selalu melihatku merokok.
Jakarta, 16 Januari 2009
“Pagi,” sapaku.
“Pagi juga, “ jawab An.
“Aku belikan black tea buat Mbak Fiqoh. Teh ini mencegah kanker payudara,” katanya seraya menoleh ke atas kulkas. Di sana, ia taruh kotak warna coklat. Dan ia melangkah ke ruang sebelah.
“Makasih. Mau dibuatkan sekalian?” Kataku saat ia kembali ke ruanganku.
“Nggak usah, nanti saja habis makan siang. Ingat, sehari empat gelas.”
Aku mengangguk. Aku dan An baru kenal dua minggu. Ia salah satu peserta kelas jurnalisme sastrawi yang diadakan Pantau. An terbang dari Makassar untuk kegiatan ini. Dua kali kami membuat janji ketemu di luar kantor. Di Steak Obong, kali pertama kami melewatkan waktu untuk bersantai. Percakapan informal, meski masih juga ada nuansa serius.
Malam tadi, kami ketemu untuk kedua kali di kolam renang apartemen Permata Senayan. Ia ingin mewawancaraiku.
Kubuang puntung rokok keduaku. Dan aku menyambungnya lagi dengan sebatang rokok bermerk lain. Sampoerna Mild. Udara dingin. Esse menthol-ku terasa tak menghangatkan. Ah, tapi bukan itu. Bukan karena udara dingin. Memang aku sedang ingin merokok.
“Ada masalah…?”
“Enggak. Cuma sedikit capek.”
“Sudah makan malam?”
“Nanti mau makan malam di rumah. Temanku barusan sms, dia bawa makanan.”
An memberi isyarat bahwa wawancara akan dimulai. Aku tersenyum. Rasanya jadi lucu.
“Ini buat lucu-lucuan aja ya?”
“Tidak. Saya serius.”
“Ya udah. Terserah.”
Ia mengawali pertanyaan tentang, apakah aku termasuk orang yang religius atau tidak, dan mengakhirinya dengan menanyakan kegiatanku di perburuhan.
“Selesai. Mari kita ngobrol di luar konteks wawancara.”
Dan kami ngoborl banyak hal. Andriani Salam Jacques Kusni. Nama yang panjang di antara peserta lain. Dua deret di belakang namnya adalah nama suaminya, Jean Jacques Kusni, seorang penulis. Usia mereka terpaut jauh. An kelahiran 1977, JJK sudah berusia 68 tahun.
“Gimana nilai plusnya menikah dengan orang yang lebih tua? Mungkin dia lebih ngemong? Lebih mengalah?” An menatapku. Ingin ketakan sesuatu dan aku mendahuluinya.
“Ah, aku ini kok naif ya? Toh, dalam percintaan, tidak harus ada pemenang dan pihak yang kalah?”
An mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Aku menyadari kebodohan pemikiranku.
Kecipak air sesekali terdengar dari dua laki-laki yang sedang berenang di depan kami. Sering juga kami membiarkan waktu berlalu dalam kebisuan.
“Maaf, ini terlalu pribadi. Bolehkah saya beri saran?”
“Tentang apa?”
“Kalau bisa jangan menikah dengan sesama buruh. Kamu terlalu pintar. ”Aku menoleh ke An.
“Memangnya kenapa…? Dalam kemanusian, kadang pintar dan bodoh batasnya tipis. Banyak orang pintar yang sibuk dengan kepintarannya dan tak mau berbuat. Sama aja. Apa gunanya.” Kembali, kami mengguk-anggukkan kepala sambil sama-sama tertawa.
“Bisa diceritakan bagaimana berkenalan dan menikah dengan JJK?” Aku balik bertanya.
Ia merenung sesaat. “…Bertemu Januari 2008 dan, menikah Februari 2008”
“Wah. Cepat sekali.”
“Aku yang nantang dia. Jaman sekarang, banyak orang bisa berkata ini dan itu. Bermain dengan kata-kata. Bagi saya, yang penting bagaimana tindakannya. Saya menantangnya untuk meminang saya melalui orang tua saya. Dan dia melakukannya.”
“Dari awal sudah tahu JJK orang terkenal?”
“Belum. Baru setelah menikah. Saya browsing di internet,” jawab An datar. Keheningan selimuti malam yang kian merambat. Kami diam dengan pikiran masing-masing.
Aku jadi ingat kisahku sendiri. Dengan seroang laki-laki di bagian Timur Jawa. Minggu lalu, dia menolakku. Katanya, ia belum berani memikirkan pernikahan. Ia takut bahtera rumah tangga bakal tenggelam bersama orang yang ia cintai. Dia belum berani menjadi nahkoda.
Bagiku, lain lagi. Karam tidaknya kapal, tidak bisa dibahas hari ini, besok atau lusa tetapi, bagaimana kita memiliki keberanian untuk menyatakan diri bahwa: Saya sanggup menjadi “nahkoda” kapal kehidupan saya, sendiri ataupun berdua. Bukankah siap atau tidak, manusia memang harus mengarungi luasnya samudera kehidupan…?
Kejujuran. Kesetiaan. Bukan sekedar apa yang kita dengar hari ini melalui janji. Ia perlu dibuktikan dari waktu ke waktu. Aku adi ingat para politikus yang senang beriklan. Dan untuk kesekian kali, janji diingkari, rakyat tertipu. Sungguh memuakkan.
Black Tea. Untuk mencegah kanker payudara? Ah, mungkin karena, selama kami bertemu, ia selalu melihatku merokok.
Jakarta, 16 Januari 2009
Sahabat
Oleh Siti Nurrofiqoh
Empat belas hari. Sejak aku kehilangan selera di setiap meja makan. Duduk berlama-lama di dalam cafe. Dan berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Ingin menghindari keramaian, mencari tempat sepi, semua sama saja.
Saat itu engkau menemaniku. Selalu. Kamu tak memaksa aku bicara, juga mendengar. Semua mengalir dalam pembiaran sikap kita.
Ah, tapi mungkin bukan pembiaran. Kau mulai menghidupkan laptopmu dan mencari-cari sebuah artikel, gambar-gambar dan kau tunjukkan padaku. Mataku menatap ke layar, mendengar penjelasan-penjelasanmu yang mirip guide wisatawan. Aku mendengarkan, mengangguk. Melihat itu, kau bilang padaku, lempeng sekali kamu ini. Kau merasa gagal mencairkan suasana. Mungkin.
Kuhirup minuman pesananku yang mulai dingin. Terasa hambar. Lalu kau memintaku mengambil sebuah majalah, kau buka lembar demi lembar, dan menanyakan apa bintangku. Kujawab cancer. Lalu kau membaca sebentar, memikirkannya sebentar, untuk menerjemahkannya buatku.
Aku terbelalak. Heran juga. Kok bisa tepat begitu. Memang benar, tgl itu tanggal 10 Januari 2009, aku menerima kabar mengecewakan. Selanjutnya, kau membaca ramalanmu sendiri.
Senja sudah lama berlalu. Sore sudah jauh terlewati. Beberapa pengunjung beranjak meninggalkan ruangan. Aku memandang keluar melalui kaca. Kawasan Kuningan mulai sepi. Dan kita malah berpindah meja. Mencari tempat di sudut ruangan.
Sambil menatap layar laptop di depanmu, sesekali kau melihat ke arahku. Sesekali juga kau tanyakan padaku apakah aku baik-baik saja. Dan kau bertanya bagaimana perasaanku. Kubilang, aku bukan hanya kecewa sebagai wanita yang ditolak cintanya sama laki-laki. Aku bahkan merasa, kecewa dengan diriku sendiri. Mungkin karena aku bodoh, dan..... aku tak punya arti apa-apa. Aku tak sekolah. Tak berpendidikan. Jauh dibanding dia. Jauh.
“Kau sedang menghidupkan setan di depanmu. Lihat, sebentar lagi ia akan menginjak-injakmu,” katamu sambil menatapku tajam.
“Kalau kau gunakan ukuran itu, nanti orang lain juga akan mengukur dirimu begitu. Terserah kamu kalau mau begitu.”
“Kau tak tahu bagaimana rasanya jadi orang sepertiku? Aku merasa ada dunia yang hilang. Dunia yang tak bisa kucari jejaknya. Sungguh-sungguh tak bisa kutemukan. Dunia yang memenggal jembatan masa depanku. Bagaimana bisa, aku mencari dunia sekolah yang memang tak pernah kumemasukinya. Dan membuatku tak berpendidikan begini.”
“Terus saja kamu bagitu. Biar monster itu makin besar menguasami. Apakah dalam persahabatan kau juga mengukurmu dengan itu? Kita tak bisa memaksa orang lain menerima kita. Begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya hak. Biar saja.”
“Aku ingin cek email masuk. Bisa bantu?”
“Masih penasaran? Apa password-nya?” tanyamu dan kau mengklik tanda log in.
Tujuh email berderet dari pengirim yang sama. Aku membukanya tergesa. Semua berisi tulisan yang sama. Ia, laki-laki itu, mengabarkan keberhasilan studi-nya yang gemilang. Lulus dengan Indeks prestasi tercatat 3,26 dari limit 4. Dia katakan itu tak terlalu penting. Yang membanggakan baginya, ia bisa bertemua dengan orang-orang yang dianggapnya hebat, memberi semangat, inspirasi dan lompatan besar dalam hidupnya
Di sana ia sebut beberapa nama. Kutahu mereka orang-orang hebat. Dony Maulana, dosennya yang juga bekerja untuk BBC London siaran Indonesia. Sunudyantoro, bekerja di majalah Tempo. Andreas Harsono melalui “Jurnalisme Sastrawi”- nya. Budi Sugiarto dari detik.com. Linda Christanty, Lewat Kuda Terbang Maria Pinto, membuatnya bersemangat untuk menulis.
Namaku ia sebut di antara mereka. Ia bilang, “Siti Nurrofiqoh. Aku belajar banyak hal dari dirimu. Ketekunan, kesabaran dan kegigihan dalam berjuang. Aku suka semangatnya dan mendorongku untuk merubah menjadi lebih baik. Tuturnya lembut.”
Bahagia rasanya mendegar ia berhasil. Tapi entah kenapa aku semakin terhempas. Kehampaan menyelimutiku. Dan seolah membawaku ke sebuah lorong panjang hampa udara. Awan putih yang menyesakkan. Aku merasa sendirian.
Musik mengalun syahdu. White Lion melantunkan perlahan bait demi bait You’re All I Need-nya. Gemanya mengisi ruangan itu. Momen yang menyiksa. Rasanya seperti terkubur hidup-hidup. Jantungku bergetar kencang. Sulit dikendalikan. Kuhempaskkan nafas berkali-kali untuk mengurangi sesaknya.
Kau berdiri memelukku. Lama. Hampir saja membuat tangisku tumpah. Saat itu tak kurasakan apa-apa. Jiwaku bergetar dan terhempas ke alam yang hanya ada aku. Yah, aku sendiri. Dan aku memang ingin sendiri.
Malam itu, beberapa kaleng bir berserakan di lantai rumahmu. Semuanya telah kosong. Dan membuatku bisa tertidur. Maafkan.
Sahabat, kau selalu ada justru di saat terjelek dalam hidupku. Aku tidak pernah hadir untuk memberimu bunga. Tidak juga dengan ungkapan cinta. Melainkan, persoalan, keputusasaan.
Engkau kadang menegur untuk meneguhkan. Dan kita tetap nikmati kebersamaan dalam setiap perbedaan. Aku menyayangimu, namun di saat bersamaan juga menyayangi yang lain. Begitu juga kau.
Ada banyak cinta di ruang hati kita. Setiap cinta membawa kita memasuki lini yang berbeda dalam kehidupan kita. Namun kita tetap bisa bersama.
Aku menyayangimu, tentu. Tanpa menafikan kecintaanku pada yang lain. Mencintaimu tentu, dengan bentuk cinta yang berbeda. Terima kasih untuk puisimu di bawah ini. Aku akan mengabadikannya.
Aku mengerti,
Dan banyak Terimakasih,
Banyak hal yang kau bagi denganku selama ini.
Itu indah.
Tapi bolehkah membantuku kali ini saja.
Berhenti mengirimiku bunga,
Berhenti mengirimiku kata sayang,
Berhenti bilang kau ingin memeluk,
Apalagi mencumbuku.
Setelah itu, kita bisa mulai dari nadir
Cukup menjadi temanmu saja,
Dan akan ku cari nakhoda lain,
Atau mungkin aku tak membutuhkannya,
Bukankah selama ini, akulah nakhoda hidupku
Mungkin aku butuh pelabuhan,
yang bisa memanduku menuju pantai,
Ah entahlah, akan ku cari tahu nanti.
Aku mengerti,
Jakarta 22 Januari 2009
Aku rasa,
Mendung bukan masalah, kurasa
Kelabunya sudah membungkusmu banyak kali,
Dan kau bisa tiup kelabunya,
langit biru lagi
badai bukan masalah, kurasa
Topannya sudah porandakan bilikmu banyak kali,
Dan kau tegar menahan hempasnya,
Angin kembali sepoi
Kurasa,
Kau akan baik-baik saja kali ini,
asal kau putus mengasihani diri sendiri
Jakarta 22 Januari 2009
Jatuh itu biasa,
sebab gravitasi bumi bukan ke atas,
Ia selalu mengajakmu ke bawah
Tapi,
bukankah kau mengenal bulan dan matahari sejak lama,
Bahkan sinarnya membelaimu,
saat tangis pertamamu meghardik bumi.
Mereka selalu menarikmu ke atas,
terimalah peluk cahanyanya
Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila.
Pelangi namanya, Indah.
Sulur warnanya bagai benang,
Biarkan menjahit lukamu.
Jatuh itu biasa,
karena kau tinggal di bumi,
Tapi ingatlah, bulan dan matahari juga disana,
Mestinya kau tak perlu takut jatuh, lagi.
Jakarta 25 Januari 2009
Empat belas hari. Sejak aku kehilangan selera di setiap meja makan. Duduk berlama-lama di dalam cafe. Dan berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Ingin menghindari keramaian, mencari tempat sepi, semua sama saja.
Saat itu engkau menemaniku. Selalu. Kamu tak memaksa aku bicara, juga mendengar. Semua mengalir dalam pembiaran sikap kita.
Ah, tapi mungkin bukan pembiaran. Kau mulai menghidupkan laptopmu dan mencari-cari sebuah artikel, gambar-gambar dan kau tunjukkan padaku. Mataku menatap ke layar, mendengar penjelasan-penjelasanmu yang mirip guide wisatawan. Aku mendengarkan, mengangguk. Melihat itu, kau bilang padaku, lempeng sekali kamu ini. Kau merasa gagal mencairkan suasana. Mungkin.
Kuhirup minuman pesananku yang mulai dingin. Terasa hambar. Lalu kau memintaku mengambil sebuah majalah, kau buka lembar demi lembar, dan menanyakan apa bintangku. Kujawab cancer. Lalu kau membaca sebentar, memikirkannya sebentar, untuk menerjemahkannya buatku.
Aku terbelalak. Heran juga. Kok bisa tepat begitu. Memang benar, tgl itu tanggal 10 Januari 2009, aku menerima kabar mengecewakan. Selanjutnya, kau membaca ramalanmu sendiri.
Senja sudah lama berlalu. Sore sudah jauh terlewati. Beberapa pengunjung beranjak meninggalkan ruangan. Aku memandang keluar melalui kaca. Kawasan Kuningan mulai sepi. Dan kita malah berpindah meja. Mencari tempat di sudut ruangan.
Sambil menatap layar laptop di depanmu, sesekali kau melihat ke arahku. Sesekali juga kau tanyakan padaku apakah aku baik-baik saja. Dan kau bertanya bagaimana perasaanku. Kubilang, aku bukan hanya kecewa sebagai wanita yang ditolak cintanya sama laki-laki. Aku bahkan merasa, kecewa dengan diriku sendiri. Mungkin karena aku bodoh, dan..... aku tak punya arti apa-apa. Aku tak sekolah. Tak berpendidikan. Jauh dibanding dia. Jauh.
“Kau sedang menghidupkan setan di depanmu. Lihat, sebentar lagi ia akan menginjak-injakmu,” katamu sambil menatapku tajam.
“Kalau kau gunakan ukuran itu, nanti orang lain juga akan mengukur dirimu begitu. Terserah kamu kalau mau begitu.”
“Kau tak tahu bagaimana rasanya jadi orang sepertiku? Aku merasa ada dunia yang hilang. Dunia yang tak bisa kucari jejaknya. Sungguh-sungguh tak bisa kutemukan. Dunia yang memenggal jembatan masa depanku. Bagaimana bisa, aku mencari dunia sekolah yang memang tak pernah kumemasukinya. Dan membuatku tak berpendidikan begini.”
“Terus saja kamu bagitu. Biar monster itu makin besar menguasami. Apakah dalam persahabatan kau juga mengukurmu dengan itu? Kita tak bisa memaksa orang lain menerima kita. Begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya hak. Biar saja.”
“Aku ingin cek email masuk. Bisa bantu?”
“Masih penasaran? Apa password-nya?” tanyamu dan kau mengklik tanda log in.
Tujuh email berderet dari pengirim yang sama. Aku membukanya tergesa. Semua berisi tulisan yang sama. Ia, laki-laki itu, mengabarkan keberhasilan studi-nya yang gemilang. Lulus dengan Indeks prestasi tercatat 3,26 dari limit 4. Dia katakan itu tak terlalu penting. Yang membanggakan baginya, ia bisa bertemua dengan orang-orang yang dianggapnya hebat, memberi semangat, inspirasi dan lompatan besar dalam hidupnya
Di sana ia sebut beberapa nama. Kutahu mereka orang-orang hebat. Dony Maulana, dosennya yang juga bekerja untuk BBC London siaran Indonesia. Sunudyantoro, bekerja di majalah Tempo. Andreas Harsono melalui “Jurnalisme Sastrawi”- nya. Budi Sugiarto dari detik.com. Linda Christanty, Lewat Kuda Terbang Maria Pinto, membuatnya bersemangat untuk menulis.
Namaku ia sebut di antara mereka. Ia bilang, “Siti Nurrofiqoh. Aku belajar banyak hal dari dirimu. Ketekunan, kesabaran dan kegigihan dalam berjuang. Aku suka semangatnya dan mendorongku untuk merubah menjadi lebih baik. Tuturnya lembut.”
Bahagia rasanya mendegar ia berhasil. Tapi entah kenapa aku semakin terhempas. Kehampaan menyelimutiku. Dan seolah membawaku ke sebuah lorong panjang hampa udara. Awan putih yang menyesakkan. Aku merasa sendirian.
Musik mengalun syahdu. White Lion melantunkan perlahan bait demi bait You’re All I Need-nya. Gemanya mengisi ruangan itu. Momen yang menyiksa. Rasanya seperti terkubur hidup-hidup. Jantungku bergetar kencang. Sulit dikendalikan. Kuhempaskkan nafas berkali-kali untuk mengurangi sesaknya.
Kau berdiri memelukku. Lama. Hampir saja membuat tangisku tumpah. Saat itu tak kurasakan apa-apa. Jiwaku bergetar dan terhempas ke alam yang hanya ada aku. Yah, aku sendiri. Dan aku memang ingin sendiri.
Malam itu, beberapa kaleng bir berserakan di lantai rumahmu. Semuanya telah kosong. Dan membuatku bisa tertidur. Maafkan.
Sahabat, kau selalu ada justru di saat terjelek dalam hidupku. Aku tidak pernah hadir untuk memberimu bunga. Tidak juga dengan ungkapan cinta. Melainkan, persoalan, keputusasaan.
Engkau kadang menegur untuk meneguhkan. Dan kita tetap nikmati kebersamaan dalam setiap perbedaan. Aku menyayangimu, namun di saat bersamaan juga menyayangi yang lain. Begitu juga kau.
Ada banyak cinta di ruang hati kita. Setiap cinta membawa kita memasuki lini yang berbeda dalam kehidupan kita. Namun kita tetap bisa bersama.
Aku menyayangimu, tentu. Tanpa menafikan kecintaanku pada yang lain. Mencintaimu tentu, dengan bentuk cinta yang berbeda. Terima kasih untuk puisimu di bawah ini. Aku akan mengabadikannya.
Aku mengerti,
Dan banyak Terimakasih,
Banyak hal yang kau bagi denganku selama ini.
Itu indah.
Tapi bolehkah membantuku kali ini saja.
Berhenti mengirimiku bunga,
Berhenti mengirimiku kata sayang,
Berhenti bilang kau ingin memeluk,
Apalagi mencumbuku.
Setelah itu, kita bisa mulai dari nadir
Cukup menjadi temanmu saja,
Dan akan ku cari nakhoda lain,
Atau mungkin aku tak membutuhkannya,
Bukankah selama ini, akulah nakhoda hidupku
Mungkin aku butuh pelabuhan,
yang bisa memanduku menuju pantai,
Ah entahlah, akan ku cari tahu nanti.
Aku mengerti,
Jakarta 22 Januari 2009
Aku rasa,
Mendung bukan masalah, kurasa
Kelabunya sudah membungkusmu banyak kali,
Dan kau bisa tiup kelabunya,
langit biru lagi
badai bukan masalah, kurasa
Topannya sudah porandakan bilikmu banyak kali,
Dan kau tegar menahan hempasnya,
Angin kembali sepoi
Kurasa,
Kau akan baik-baik saja kali ini,
asal kau putus mengasihani diri sendiri
Jakarta 22 Januari 2009
Jatuh itu biasa,
sebab gravitasi bumi bukan ke atas,
Ia selalu mengajakmu ke bawah
Tapi,
bukankah kau mengenal bulan dan matahari sejak lama,
Bahkan sinarnya membelaimu,
saat tangis pertamamu meghardik bumi.
Mereka selalu menarikmu ke atas,
terimalah peluk cahanyanya
Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila.
Pelangi namanya, Indah.
Sulur warnanya bagai benang,
Biarkan menjahit lukamu.
Jatuh itu biasa,
karena kau tinggal di bumi,
Tapi ingatlah, bulan dan matahari juga disana,
Mestinya kau tak perlu takut jatuh, lagi.
Jakarta 25 Januari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)