Kamis, 29 Oktober 2009

Kriminalisasi Perburuhan

Oleh Fiqoh

Berbuat kriminal. Siapapun, bisa menjadi pelaku. Namun jeratan pasal-pasal pidana, tidak berlaku pada siapapun, melainkan pada “siapa dia”.

Biasanya, dalam relasi yang tak seimbang, pihak yang kuatlah yang lebih berpotensi melakukan tindak kekerasan itu. Dalam hubungan buruh dan majikan, buruh selalu menjadi pihak yang terus dieksploitasi, diintimidasi, dan dirampas hak-haknya. Dan ironisnya, para pengusaha yang melakukan pelanggaran, justru bebas melenggang di jalur hukum. Di Disnaker mereka lolos, di pengadilan mereka pun menang. Uang, telah menjadi sutradara, ke mana kebenaran dan kesalahan diarahkan.

Hal ini mengingatkan saya pada pada kejadian tujuh tahun silam. Saat itu, delapan terdakwa diintrograsi secara terpisah di ruang pemeriksaan Polres Tangerang. Wajah-wajah sayu, muka-muka pucat dan tubuh yang lunglai berhamburan dari ruang introgasi di tengah malam yang dingin. Semuanya perempuan. Dalam introgasi yang dimulai sejak pukul 11 siang itu, berkali-kali kami dipaksa mengakui perbuatan yang tidak kami lakukan; merusak gerbang pabrik, merobohkan papan nama dan menggulingkan loker-loker besi tempat menaruh alas kaki.

Saya dan delapan teman yang ditangkap hari itu adalah buruh PT Koinus Jaya Garment, dan berstatus sebagai pengurus serikat buruh bernama SPTP. Sebagai pengurus, kami berkewajiban memperjuangkan hak-hak buruh yang dilanggar oleh pengusaha.

Saat kami akan dilepaskan, komandan yang memimpin penangkapan kami menekankan kalimat yang intinya, agar kami jangan sampai mengulangi perbuatan kami lagi. Kalau kami mengulangi perbuatan itu lagi, akan ditangkap lagi. Ancaman telah diberlakukan untuk hal yang tidak jelas: mengulangi apa? Perbuatan yang mana?

Bagaimana mungkin kami tak akan mengulangi perbuatan kami, jika ketidakadilan terus terjadi; upah yang dihutang, iuran Jamsostek digelapkan, dan tindak kekerasan selalu dilakukan oleh pengusaha. Apakah harus didiamkan?

Sejak perusahaan itu berdiri. Pelanggaran terus terjadi, meskipun kami sudah melaporkan ke semua instansi yang terkait; Disnaker, DPRD, Walikota dan Polisi.

Namun pelanggaran yang lebih arogan justru terjadi setelahnya. Pengurus serikat buruh dipecat, anggotanya diusir keluar pintu gerbang. Kebuntuan, ketersudutan, membuat tangan-tangan yang sesungguhnya lemah itu pada akhirnya mendorong kokohnya pintu gerbang. Keesokan harinya kami ditangkap. Meski bukan kami yang melakukan.

Asisah yang lemah hanya mampu meronta-ronta sebantar dan langsung masuk ke dalam mobol setelah salah satu aparat menekuk kepalanya. Siti yang bertubuh mungil dan lemas hanya melwan sebentar dan segera tak berdaya. Lusi yang sempat shock dengan penyeregapan tiba-tiba tanpa surat penangkapan sempat melakukan penolakan. Dan dan penokan yang ia lakukan justru membuat para aparat samakin beringas. Ia ditenteng dan dilemparkan ke mobil. Kancing-kancing bajunyaa copot hingga kutangnya terlihat. Jeritan histeris terdengar di antara bunyi tembakan pasukan PHH yang diterjunkan saat itu.

Mungkin ini hanya babak kecil dari keseluruhan peran yang terus dimainkan oleh para aparat yang berslogan mengayomi rakyat itu. Kita masih bisa membaca catatan panjang yang merwarnai lembaran perjanalan para aktivis di tanah air. Sedari Indah Dita Sari hingga Mohtar Pakpahan, sedari Sunarti hingga Hamdani, Ngadinah, Imas, juga Marsinah yang mati dibunuh.

Saya dan teman-teman pergerakan sering dibuat miris karenanya. Perjuangan yang kami tempuh, laksana menyimpan ranjau. Hubungan antara pemilik modal dan buruh memang tak sebanding. Jangankan hanya dengan buruh. Pemerintah pun, juga dikuasai oleh pemilik modal yang menjanjikan keuntungan. Penindasan dilakukan secara sistematis melalui kebijakan, termasuk melibatkan peran aparat dalam permasalahan perburuhan.

Gulungan benang di tas Imas, Sendal bolong untuk Hamdani, pemenjaraan terhadap Ngadinah, hanyalah titik kecil yang mudah dikais dari pasal keranjang sampah KUHP negeri ini, untuk membelokkan perjuangan aktivis ke penjara. Itulah kriminalisasi perburuhan.

Jakarta, 20 Mei 2009



Jakarta, 20 Mei 2009

Selasa, 27 Oktober 2009

Keegoan

Oleh Fiqoh

Ini bukan tentang berapa kali kamu meminta maaf. Juga bukan berapa kali mengulang permohonan. Bukan itu.

Tak usah terus-menerus meminta. Nanti malah membuatmu lelah dan membuatku bosan. Tak perlu selalu memohon pengertian dan pemakluman. Sudahlah, usah habiskan waktumu dan jangan ganggu waktuku untuk itu.

Yah, kita pernah saling berjanji; apapaun yang terjadi, kita akan selalu bersama. Memikirkan itu, aku kasihan padamu dan tentu pada diriku. Janji itu laksana belenggu. Dengan itu kita saling menjerat. Ketika yang satu berkhianat, yang lain menggugat. Cinta diam-diam pergi menghilang. Semua kata hanya demi memberi alasan pada keegoan. Hubungan yang terjalin, lebih mirip pertemuan dua pengacara di ajang debat.

Tadinya, lebih baik kau memberiku mimpi. Lalau kau ajak aku meraihnya. Kita meraihnya bersama. Kata temankau, mimpi akan memberi kita harapan, dan harapan menjadi keyakinan yang dahsyat. Keyakinan, bahwa impian itu mendekati kenyataan.

Bagiku, tak apa kau berkali-kali salah, berkali-kali ingkar. Yang penting aku juga melihatmu berkali-kali berusaha benar. Bagiku, cukuplah aku tahu bahwa kau berupaya. Upaya itu lebih konkrit dari sekedar kata-kata, dibanding banyak berkata, namun sikapnya bertentangan dalam realita. Sia-sia.

Ada pepatah, di saat cinta mulai menipis, maka kesalahan mulai menumpuk. Janji setia di saat mencinta, sumpah serapah di kala kebosanan mendera. Untuk apa masih mempertahankannya? Mungkin lebih baik kita lepaskan saja.

Cinta dan kepercayaan, akan bersemayam pada siapa yang memang pantas. Tidak mungkin kebohongan berdampingan dengan kejujuran. Jika dipaksakan, yang nampak justru hitam-putih yang kian kontras.

Sekali lagi, ini bukan tentang berapa kali kamu meminta maaf. Meminta pengertian. Meminta kepercayaan.

Karena, meski beribu kali kamu meminta maaf, kalau kau terus mengulangnya, semua akan percuma. Karena, jika terus-menerus kau menciderainya, ia akan retak dan tak lagi seperti semula. Dan jika kau tetap menginginkannya utuh, maka yang akan kau dapati adalah egomu sendiri.

Dalam hidup ini, yang terpenting adalah berkarya. Hasilnya, biarkan orang lain menilai. Dan jika cinta hendak kau jadikan kerya terindahmu, indahkanlah ia. Jangan malah kau merusaknya dari waktu ke waktu.


Jakarta, 26 Oktober 2009

Jumat, 23 Oktober 2009

Selamat Pagi

Oleh Fiqoh

Matahari sudah tinggi. Pagi sudah terlewati. Berbatang-batang rokok tinggal menyisakan puntungnya. Kaleng bir berserakan, isinya tertuang tanpa sisa.

Selamat pagi. Kuucap dari sini. Meski ini terlambat. Aku tetap mengucapkannya untukmu. Tak harus melalui sms. Atau email. Atau bertelpon. Semoga kau tahu.

Selamat pagi. Sekali lagi kuingin mengulangnya untukmu. Tapi dari sini. Dari hatiku saja. Biarlah ia tak lagi terdengar, tapi cukup dirasa. Semoga.

Kau bilang rasa itu tetap akan bersama kita. Meski ia tak hadirkan raga. Abstrak.

Tapi bagiku, itu disebut kehilangan. Karena kau pernah ada dan kusentuh. Aku kehilanganmu. Jejaknya meningalkan luka.

Yang abstrak itu, sejak semula memang tak tergambarkan; bukan tentangmu. Kamu yang pernah bergumul denganku. Menempati sisi ruang di hatiku. Ruang yang kini kau tinggalkan. Kosong. Hampa. Menyesakkan.

Segalanya berubah seketika.

Sikapku, menurut teman-teman dekatku tak seperti biasanya
Makanku, kehilangan selera
Syarafku, entah kenapa selalu membuatku terjaga
Meski mataku perih, ia tetap saja terbuka

Tapi, aku tak menangis
Mungkin telah kering dari sumbernya.
Sekering jiwaku, jiwa yang telah bergeser dari tempatnya semula
Mungkin, ini yang disebut trauma

Tadinya kupikir, tak sama. Antara kau dan dia. Tadinya kupikir, tak sama antara kau dan mereka. Tapi, mungkin itulah manusia. Semua datang dan pergi dengan alasannya.

Januari aku terluka
Tiga bulan kemudian kau membalutnya
Kau bawa aku ke dunia yang lain, penuh semerbak bunga-bunga
April yang indah
Mei, kau bawa aku bermimpi
Juni, kau melambungkan aku tinggi
Juli, kau tinggalkan aku di sini
Dan aku tak tahu jalan kembali
Aku masih mengawang, kau sudah memijak bumi
Dari sana, kau sentakkan aku untuk bangun dan melihat dari ketinggian, dimana aku harus meluncur ke titik nadirku.

Kosong. Putih.

Lepaslah. Mungkin kau akan kembali putih tanpaku. Namun aku belum tentu.

Tapi, aku mengerti. Setiap manusia, punya prinsipnya sendiri. Tempuhlah jalanmu. Aku juga akan menempuh jalanku.


14 Juli 2009