Di suatu malam bulan Mei 2011, aku berada di tengah-tengah Majelis Al Ghifary. Sebuah khotbah usai sholawat, mengisahkan sahabat Rosul bernama Jabir RA, yang bermaksud menjamu Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Jabir yang tak mengira bahwa Muhammad bersama bala tentaranya, mulai cemas dengan sedikit makanan yang dimilikinya. Lalu ia mengungkapkan kecemasan itu pada Rosulullah. Kemudian Rosul memberkati makanan yang sedikit itu, dan meminta Jabir agar tamunya disuruh memasuki ruang makan secara bergiliran.
Berkelompok para sahabat Nabi memasuki ruang makan untuk bersantap. Begitu seterusnya hingga seluruhnya bisa makan secukupnya bahkan kenyang. Tapi setelah semuanya pulang, makanan masih tersisa. Bahkan hingga berhari-hari, gandum yang terus ia masak itu bagai tiada habisnya. Jabir yang penasaran lalu menimbangnya. Dan ketika itu, sisa gandum yang ia masak habis pada keesokan harinya.
Jabir lalu memberitahukan pada Muhammad, kenapa gandum yang tadinya berkah dan tak pernah habis akhirnya habis juga. Maka Muhammad bertanya, “Kamu apakan gandum itu?”
“Saya menimbangnya Ya Rosul,” jawab Jabir.
***
Malam itu juga, aku teringat cerita Simbahku di kampung. Ini sebuah wejangan dari seorang dukun bayi.
“ Jika kita mendapati bayi yang baru lahir tanpa kegenapan anggota badan, tak perlu banyak bicara dan melihatnya berlama-lama. Berpura-puralah tidak tahu itu. Segeralah ambil tampah atau daun untuk menutupnya, lalu bilang, “Tuhan, sepertinya masih ada yang kurang. Tolong digenapi.”
Dan kita akan mendapati bayi mungil dengan anggota badan yang telah tergenapi saat membukanya kembali.
Hal di atas sepertinya hendak memberitahu kita, bahwa keajaiban perlu ruangnya sendiri, dengan caranya sendiri. Ia tak kasat mata. Karena keajaiban yang kasat mata adalah sebuah sulap yang dibuat manusia.
Di dunia ini, kita sering hanya percaya pada yang logika – kita ada karena menulis, atau kita ada karena berpikir.
Persis. Di sinilah letaknya, menulis atau berpikir -- sebuah keberadaan yang sering terasa melambungkan, justru menandakan betapa kita memang dangkal dari yang Maha Tinggi, maha yang tak terjangkau dengan daya pikir serta logika.
Untuk mengalami sebuah transenden, manusia perlu sejenak tidak melihat dengan mata, serta tidak menghitung dengan logika.
Jakarta, 21 Juni 2011 (Fiqoh)
Rabu, 22 Juni 2011
Selasa, 07 Juni 2011
Terpesona
Cerpen
Oleh Fiqoh
Ini beda — bukan pesona yang hadir pada pandangan pertama dan menumbuhkan hasrat pada tubuh. Tapi, pesona yang barangkali membutuhkan ruang hening, untuk diam-diam memasuki jiwa.
Dan aku akan menuliskannya sekarang. Ya, sekarang. Meski sejenak, agar ia terabadikan.
Karena.
Aku takut detik berlalu menggeser momen dan menggantinya dengan masa mendatang, masa yang tak akan pernah terulang seperti sekarang -- desah nafas yang tak pernah akan sama, gesture tubuh, dan seluruh emosi yang terangkum ketika kata demi kata diucapkan.
Masa selalu memiliki jiwanya. Seperti pepatah, “Jika cinta kian menipis maka kesalahan makin menumpuk,” dan sebaliknya, cinta mampu mengubah segalanya.
Ketika.
Hari ini, kita memandang sebuah kekurangan sebagai sebuah berkah. Karennya kau dan aku merasa dibutuhkan untuk mengisi kekosongan itu. Sempurna.
“Tapi aku takut dengan dunia cinta, dimana dunia itu hanya milik kita berdua dan aku hanya jadi milikmu," kataku.
"Tak akan ada yang berubah, melainkan menjadi kian lengkap. Yang mendukungmu akan bertambah.”
Saat itu aku baru lepas dari lingkaran timku, mereka kalangan pekerja yang sedang menghadapi masalah ketidakadilan. Mereka harus pergi karena waktu, dan menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai.
“Mungkin semua ini tak akan selesai hingga akhir hayatku. Jika aku disuruh memilih, menjadi sufi di tempat yang sunyi atau menjadi seorang yang terus berkoar di tengah hiruk-pikuk manusia, aku memilih yang kedua.” lanjutku meski terdengar jumawa dan aku menebalkan muka.
Tentu kata-kata itu tak seluruhnya kutujukan padamu, dan kamu yang lebih suka mendengar dibanding bicara lekat menatapku, tanpa sepatah kata.
“Seperti yang kau lihat, aku bagai pengayuh sampan di lautan persoalan. Aku butuh kesunyian, tapi juga tak bisa bertapa di sana selamanya. Aku tak bisa merasa damai dengan pemenuhan hasrat badaniah yang selalu menyisakan bekas kotoran pada priring-piring dan peralatan dapur serta seprai tempat tidur kita, dalam putaran waktu 1 X 24 jam sepanjang umurku. Aku tahu itu indah, tapi bukan satu-satunya,” kataku ingin menegaskan sekali lagi, meski terasa janggal di telingaku sendiri.
Kejanggalan itu bagai telah lekat dalam diriku, ia bagai gumpalan membatu yang muncul seiring perginya selubung kabut. Dan kini aku menjumpainya lagi, ia bernama ketakutanku. Aku benar-benar ingat perjalanan panjang di masa-masa sebelumnya dimana sebuah pinangan keluarga terpandang dan sangat beragama (entah kenapa agama ada yang sangat dan tidak sangat), memasangkan rambu-rambu (lebih tepat kusebut ranjau-ranjau) di belakang daun pintu. Jika menginginkan kebebasan dan keluar dari sana, ranjau itu membuat kita terluka dan cacat di masyarakat, bahkan selamanya. Di sini simbol lebih penting, sedangkan hakekat bagai berada di dunia antah berantah.
“Aku lelah menjelaskan ini semua tapi…”
“Tapi, memang itu melelahkan,” sembungmu. “Jadi tak perlu kau menambah kelelahan itu dengan terus mengingatnya. Catat saja sebagai dokumen (katalog isi dunia) bukankah itu lebih baik?”
“Tapi aku harus menjelaskan sekali lagi, sebelum kita sepakat hidup bersama. Kadang, tatanan di masyarakat dan tatatan sosial itu bagai pisau. Tapi ia tak bisa ditangkis karena ia bagai atmosfir (ada, terasa, tapi tak bisa disentuh)”.
“Boleh kulanjutkan kalimatku?” tanyamu setelah lama merenung, dan aku menjawab dengan bahasa tubuh.
“Di dalam hidup ini ada banyak kelompok dan paham. Bahkan ketika kita bicara soal nasionalisme pun, tetap ada faksi-faksi – nasionalis demokrat, liberalis, kapitalis, sosialis, fasisme, juga kumunisme. Begitu juga dengan pemahaman setiap orang di dalam menerjemahkan agama, aqidah, dan sebagainya,” katamu dan memandangku, bertanya lagi, “Masih tertarik untuk dilanjut?”
“Tentu.”
“Aku setuju tugas-tugas itu tak akan pernah selesai hingga ajal menjemput. Nanti jika kita menikah, satu lagi orang yang mendukungmu, selain teman-temanmu tadi. Seseorang yang mengekang dan merasa memiliki seutuhnya seseorang yang lain, ia melupakan bahwa Tuhan lebih berkuasa. Kita bahkan akan dipanggil di suatau saat."
Aku tersenyum, dan kamu juga. Lalu, "Hm, soal cuci piring...?" tanyamu sambil menatapku jenaka namun membuatku terhenyak.
"Jangan kawatir. Fisikku yang kuat dan sempurna ini bisa bergantian cuci piring, merapikan tempat tidur, mencuci baju, memasak di dapur atau menyapu halaman. Bagiku itu hanya soal teknis yang bisa dilakukan oleh orang-orang dewasa yang mengerti bahwa manusia harus bertanggungjawab terhadap dirinya. Bagaimana Ibu…? Masih ada yang lain?” katamu dengan mata berbinar hingga bola matamu yang hitam berkilau-kilau.
"Ayo...!" ajakmu sambil mengangkat tangan mengajak toast!
Bahuku terasa kaku, mungkin ini reflek tubuhku merespon ketakjuban, seperti menyaksikan mutiara di lumpur halaman rumah kita. “Maafkan aku…” suara batinku meminta maaf padamu, batin yang diliputi rasa malu dalam kesombongan.
Jiwaku bagai ditelanjangi oleh mata batinmu (kau tahu?) bahwa saat itu aku sedang berpikir begini: aku sanggup melakukan cuci piring di Malaysia atau Arab Saudi ketika itu menjadi bagian perjuangan hidup yang lebih hakiki (demi keluarga). Tapi tenggelam dalam itu di rumah sendiri, membiarkan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang lebih luas demi seseorang yang cukup tangguh untuk dilayani (suami), aku tidak mau!”
“Ssst...” katamu, masih dengan mata yang berkilau dan meraih tanganku, lalu menciumnya.
“Mencintai itu menifestasi dari keikhlasan. Seperti…” kau terlihat berat melanjutkan kalimat itu.
Seperti senja yang disapa gerimis hingga sunset keemasan tersaput mendung. Seperti dermaga yang kukunjungi untuk kedua kali dengan orang yang berbeda dan menghadirkan suasana hati yang juga berbeda. Perbedaan rasa ini, yang mengilhamiku untuk tidak bertanya kenapa kau bercerai dari istrimu? Mungkin saja pemikiran itu juga yang membuatmu tak pernah bertanya, kenapa aku masih saja menyendiri.
Aku percaya, bahwa satu alasan yang digunakan seseorang tidak selalu bisa diterima orang yang lain.
“Boleh kulanjutkan?” katamu yang telah kukenali sebagai cirri khas saat bersamaku dan mulai membuatku merasa bersalah (atau mungkin ada yang salah?).
Kubentuk jari tengah dan ibu jariku mirip lingkaran dengan tiga jari lain tegak di atas (seperti ingin menyentil telinga anak kecil). Dan dia melanjutkan masih dengan keseriusan.
“Mungkin ini usang, bahwa mencintai tidak harus dicintai. Bagai lagu Ebit, aku hanya berpikir apa yang bisa aku beri, dan apapun yang akan kuterima aku tak peduli. Ini bukan gombal,” katamu seperti kawatir aku berpikir begitu.
“Ini seperti…" katamu tersendat dengan nafas yang nampak berat.
"Seperti...cintaku pada kedua anakku. Aku tak perlu berpikir apakah meraka mecintaiku atau tidak tapi aku mencintainya, menyayanginya. Dan aku tak akan memaksamu mencintaiku, tapi biarlah aku yang mencintaimu, menyayangimu.”
Sepi.
Angin kencang berhembus di hadapan kita. Ia bagai lepas dari jepitan dua planet.
Kau dan karya landscape-mu. Aku dan keputusanku. Lukisan taman itu tak seluruhnya bunga-bunga hidup. Aku tahu, artifisial terkadang menjadi bagaian keindahan, dikala manusia perlu mewujudkan hayalan ke dalam realita. Dan aku menghargai keindahan alam pikiran itu.
Aku merasa sudah mencintai kedua anak laki-laki yang tampan-tampan dan cerdas itu, meski belum untuk kamu. Tapi aku tak menampik bahwa jiwa indahmu laksana membawaku ke taman indah, dan aku menjadi bagian itu.
Jakarta, 5 Juni 2011 (23:20: 00)
Oleh Fiqoh
Ini beda — bukan pesona yang hadir pada pandangan pertama dan menumbuhkan hasrat pada tubuh. Tapi, pesona yang barangkali membutuhkan ruang hening, untuk diam-diam memasuki jiwa.
Dan aku akan menuliskannya sekarang. Ya, sekarang. Meski sejenak, agar ia terabadikan.
Karena.
Aku takut detik berlalu menggeser momen dan menggantinya dengan masa mendatang, masa yang tak akan pernah terulang seperti sekarang -- desah nafas yang tak pernah akan sama, gesture tubuh, dan seluruh emosi yang terangkum ketika kata demi kata diucapkan.
Masa selalu memiliki jiwanya. Seperti pepatah, “Jika cinta kian menipis maka kesalahan makin menumpuk,” dan sebaliknya, cinta mampu mengubah segalanya.
Ketika.
Hari ini, kita memandang sebuah kekurangan sebagai sebuah berkah. Karennya kau dan aku merasa dibutuhkan untuk mengisi kekosongan itu. Sempurna.
“Tapi aku takut dengan dunia cinta, dimana dunia itu hanya milik kita berdua dan aku hanya jadi milikmu," kataku.
"Tak akan ada yang berubah, melainkan menjadi kian lengkap. Yang mendukungmu akan bertambah.”
Saat itu aku baru lepas dari lingkaran timku, mereka kalangan pekerja yang sedang menghadapi masalah ketidakadilan. Mereka harus pergi karena waktu, dan menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai.
“Mungkin semua ini tak akan selesai hingga akhir hayatku. Jika aku disuruh memilih, menjadi sufi di tempat yang sunyi atau menjadi seorang yang terus berkoar di tengah hiruk-pikuk manusia, aku memilih yang kedua.” lanjutku meski terdengar jumawa dan aku menebalkan muka.
Tentu kata-kata itu tak seluruhnya kutujukan padamu, dan kamu yang lebih suka mendengar dibanding bicara lekat menatapku, tanpa sepatah kata.
“Seperti yang kau lihat, aku bagai pengayuh sampan di lautan persoalan. Aku butuh kesunyian, tapi juga tak bisa bertapa di sana selamanya. Aku tak bisa merasa damai dengan pemenuhan hasrat badaniah yang selalu menyisakan bekas kotoran pada priring-piring dan peralatan dapur serta seprai tempat tidur kita, dalam putaran waktu 1 X 24 jam sepanjang umurku. Aku tahu itu indah, tapi bukan satu-satunya,” kataku ingin menegaskan sekali lagi, meski terasa janggal di telingaku sendiri.
Kejanggalan itu bagai telah lekat dalam diriku, ia bagai gumpalan membatu yang muncul seiring perginya selubung kabut. Dan kini aku menjumpainya lagi, ia bernama ketakutanku. Aku benar-benar ingat perjalanan panjang di masa-masa sebelumnya dimana sebuah pinangan keluarga terpandang dan sangat beragama (entah kenapa agama ada yang sangat dan tidak sangat), memasangkan rambu-rambu (lebih tepat kusebut ranjau-ranjau) di belakang daun pintu. Jika menginginkan kebebasan dan keluar dari sana, ranjau itu membuat kita terluka dan cacat di masyarakat, bahkan selamanya. Di sini simbol lebih penting, sedangkan hakekat bagai berada di dunia antah berantah.
“Aku lelah menjelaskan ini semua tapi…”
“Tapi, memang itu melelahkan,” sembungmu. “Jadi tak perlu kau menambah kelelahan itu dengan terus mengingatnya. Catat saja sebagai dokumen (katalog isi dunia) bukankah itu lebih baik?”
“Tapi aku harus menjelaskan sekali lagi, sebelum kita sepakat hidup bersama. Kadang, tatanan di masyarakat dan tatatan sosial itu bagai pisau. Tapi ia tak bisa ditangkis karena ia bagai atmosfir (ada, terasa, tapi tak bisa disentuh)”.
“Boleh kulanjutkan kalimatku?” tanyamu setelah lama merenung, dan aku menjawab dengan bahasa tubuh.
“Di dalam hidup ini ada banyak kelompok dan paham. Bahkan ketika kita bicara soal nasionalisme pun, tetap ada faksi-faksi – nasionalis demokrat, liberalis, kapitalis, sosialis, fasisme, juga kumunisme. Begitu juga dengan pemahaman setiap orang di dalam menerjemahkan agama, aqidah, dan sebagainya,” katamu dan memandangku, bertanya lagi, “Masih tertarik untuk dilanjut?”
“Tentu.”
“Aku setuju tugas-tugas itu tak akan pernah selesai hingga ajal menjemput. Nanti jika kita menikah, satu lagi orang yang mendukungmu, selain teman-temanmu tadi. Seseorang yang mengekang dan merasa memiliki seutuhnya seseorang yang lain, ia melupakan bahwa Tuhan lebih berkuasa. Kita bahkan akan dipanggil di suatau saat."
Aku tersenyum, dan kamu juga. Lalu, "Hm, soal cuci piring...?" tanyamu sambil menatapku jenaka namun membuatku terhenyak.
"Jangan kawatir. Fisikku yang kuat dan sempurna ini bisa bergantian cuci piring, merapikan tempat tidur, mencuci baju, memasak di dapur atau menyapu halaman. Bagiku itu hanya soal teknis yang bisa dilakukan oleh orang-orang dewasa yang mengerti bahwa manusia harus bertanggungjawab terhadap dirinya. Bagaimana Ibu…? Masih ada yang lain?” katamu dengan mata berbinar hingga bola matamu yang hitam berkilau-kilau.
"Ayo...!" ajakmu sambil mengangkat tangan mengajak toast!
Bahuku terasa kaku, mungkin ini reflek tubuhku merespon ketakjuban, seperti menyaksikan mutiara di lumpur halaman rumah kita. “Maafkan aku…” suara batinku meminta maaf padamu, batin yang diliputi rasa malu dalam kesombongan.
Jiwaku bagai ditelanjangi oleh mata batinmu (kau tahu?) bahwa saat itu aku sedang berpikir begini: aku sanggup melakukan cuci piring di Malaysia atau Arab Saudi ketika itu menjadi bagian perjuangan hidup yang lebih hakiki (demi keluarga). Tapi tenggelam dalam itu di rumah sendiri, membiarkan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang lebih luas demi seseorang yang cukup tangguh untuk dilayani (suami), aku tidak mau!”
“Ssst...” katamu, masih dengan mata yang berkilau dan meraih tanganku, lalu menciumnya.
“Mencintai itu menifestasi dari keikhlasan. Seperti…” kau terlihat berat melanjutkan kalimat itu.
Seperti senja yang disapa gerimis hingga sunset keemasan tersaput mendung. Seperti dermaga yang kukunjungi untuk kedua kali dengan orang yang berbeda dan menghadirkan suasana hati yang juga berbeda. Perbedaan rasa ini, yang mengilhamiku untuk tidak bertanya kenapa kau bercerai dari istrimu? Mungkin saja pemikiran itu juga yang membuatmu tak pernah bertanya, kenapa aku masih saja menyendiri.
Aku percaya, bahwa satu alasan yang digunakan seseorang tidak selalu bisa diterima orang yang lain.
“Boleh kulanjutkan?” katamu yang telah kukenali sebagai cirri khas saat bersamaku dan mulai membuatku merasa bersalah (atau mungkin ada yang salah?).
Kubentuk jari tengah dan ibu jariku mirip lingkaran dengan tiga jari lain tegak di atas (seperti ingin menyentil telinga anak kecil). Dan dia melanjutkan masih dengan keseriusan.
“Mungkin ini usang, bahwa mencintai tidak harus dicintai. Bagai lagu Ebit, aku hanya berpikir apa yang bisa aku beri, dan apapun yang akan kuterima aku tak peduli. Ini bukan gombal,” katamu seperti kawatir aku berpikir begitu.
“Ini seperti…" katamu tersendat dengan nafas yang nampak berat.
"Seperti...cintaku pada kedua anakku. Aku tak perlu berpikir apakah meraka mecintaiku atau tidak tapi aku mencintainya, menyayanginya. Dan aku tak akan memaksamu mencintaiku, tapi biarlah aku yang mencintaimu, menyayangimu.”
Sepi.
Angin kencang berhembus di hadapan kita. Ia bagai lepas dari jepitan dua planet.
Kau dan karya landscape-mu. Aku dan keputusanku. Lukisan taman itu tak seluruhnya bunga-bunga hidup. Aku tahu, artifisial terkadang menjadi bagaian keindahan, dikala manusia perlu mewujudkan hayalan ke dalam realita. Dan aku menghargai keindahan alam pikiran itu.
Aku merasa sudah mencintai kedua anak laki-laki yang tampan-tampan dan cerdas itu, meski belum untuk kamu. Tapi aku tak menampik bahwa jiwa indahmu laksana membawaku ke taman indah, dan aku menjadi bagian itu.
Jakarta, 5 Juni 2011 (23:20: 00)
Kamis, 02 Juni 2011
Dan
Enam jam kita bersama
Hanya nyanyian yang tak selesai
Juga setelan gitar yang sumbang
Kita bicara berpindah-pindah tema
Aku tahu bukan itu sesungguhnya
Hingga tiba temaram yang muram
Dan hatiku bersyukur karenanya
Entah kenapa
Seminggu berlalu sejak jumpa pertama. Dan aku tak memikirkannya lagi. Tapi sapaan pagimu rutin mendatangiku.
“Bangunlah, senyum, sambut hari baru, dengan harapan baru!”
Dan.
“Terimakasih,” jawabku selalu.
Sebuah perjalanan sore yang berkabut, kaca depan mobil bagai disirami agar-agar tebal. Musik bervolume rendah dipaksakan mengalun demi mengusir ketegangan yang lelah. Dan aku mencoba mengingatmu di saat aku berada di samping seseorang, wajahmu yang samar seperti kaca itu.
Di suatu siang setelah seminggu yang diam. Pertemuan kita bagai serial dalam cerita bersambung -- kamu menunggu di pinggir jalan dan aku di dalam mobil bersama sesorang. Saat itu kulihat dari balik kaca wajahmu yang hitam manis, nampak elegan dengan kemeja hitam bergaris, dan jeans warna biru navy yang membuat penampilanmu serasi. Hatiku memberi nilai 8 untukmu.
Di sebuah malam, aku berusaha mengumpulkan ingatan itu – menyebabkan sakit pada kepalaku, bagai seorang amnesia di antara keterpecahan ingatan masa lalu. Membayangkanmu jauh lebih sulit dibanding jika aku mengenang sosok laki-laki selainmu terlebih karena dia sangat disukai oleh tubuhku meski tidak keluargaku. Tentu aku menyukai dada bidangnya yang bagus dengan bulu lebat yang lembut dan jauh dari postur penjajah wanita, juga berhati baik. Dia berwajah campuran Cina dan Sunda, yang meski seiman denganku tapi diragukan keluargaku, ditambah bumbu narkoba membuatnya tercela, meski celaku lebih banyak lagi.
Tiga minggu membeku untuk hubungan kita.
Ini hari pertama kau absen menyapa. Mungkin kau lelah dan aku lebih-lebih lagi karena sementara itu orang-orang di sekitar kita banyak mengambil alih dengan berkirim sms dan menelponku, mereka bagai para sales dari sebuah perusahaan yang tengah meluncurkan porduk baru. Mareka berkata bahwa kamu produk terbaik buatku, kamu pengertian, taat beragama, memiliki estetika baik tentang seni, dsb, dsb. Orang-orang itu agaknya menahan nafas menungguku bermurah hati untuk bersay hallo padamu.
Dan aku melakukannya.
“Hai, apa kabarmu?” kataku, tanpa pakai salam seperti yang sering kau gunakan ditambah doa terbaik dan pengharapan.
“Terimakasih untuk smsmu, aku baik dan kamu?”
“Baik juga. Maaf sering tak membalas smsmu termasuk semalam, karena aku sedang perajalanan menuju suatu tempat.”
“Oh, tidak apa-apa. Mengerti.”
Dalam hitungan menit, para ‘sales’ mengirimkan sms memberi selamat (aku tahu) kamu memang baik di mata orang-orang sekelilingmu. Komunikasi singkat kita dengan cepat bahkan menjalar ke keluarga sepupu, kakak, adik, hingga ipar-ipar di keluargamu. Dan mereka memburuku untuk menerima lamaranmu, dengan alasan aku akan berubah pikiran atau kamu yang berubah pikiran.
Ya, aku tahu maksud semuanya baik. Tapi aku semakin ingin menjauh.
“Pernikahan?” gumamku selalu dalam hati dan aku bagai kembali ke masa perpindahan dunia dimana takkan bisa kulalui semalampun di sepanjang hidupku tanpa jepitan dalam ketiak pasanganku.
Sebuah malam di minggu keempat April 2011. Kau datang untuk sebuah proyek bersama temanku yang kini sebagai teman barumu. Dan entah siapa yang memulai, kita saling berbicara.
“Kau terlihat sangat sibuk. Kalau tak ada waktu, tak perlu sempatkan ngobrol denganku,” katamu saat aku membawa dua cangkir kopi ke hadapanmu.
“Nikmati saja. Kalau aku sudah di depanmu, artinya aku di depanmu. Dan jangan berpikir yang lain,” timpalku dan kusadari betul ada nada ketus dalam suaraku.
Lama kita saling diam. Kau seperti merasa beruntung ada beberapa pot tanaman untuk mengalihkan pandanganmu. Dan aku bersyukur pada seekor kucing kecil yang bermain-main di kakiku. Beberapa saat kita saling sibuk dengan diri sendiri.
“Kapan punya waktu untuk ngobrol?”
“Kapan-kapan.”
Pertanyaan dan jawaban bodoh yang kita lakukan dan mungkin tak disadari olehmu (bukankah saat itu kita sudah ngobrol?).
“Berarti tak bertepi,” katamu hampir tak terdengar dan aku membiarkannya.
“Aku mengerti kamu sibuk,” katamu meneruskan dengan nada penuh pengertian, dan meneruskan, “Kamu seorang pejuang. Kulihat kamu memiliki banyak teman yang baik. Duniamu berwarna.”
“Jadi? Apa maksudmu berkata itu?”
“Aku ingin melukiskan warna itu untukmu jika diijinkan,” katamu datar dan tak memaksa. Aku diam meski tak tahu apa maksudnya, hingga di sebuah pagi dimana aku bangun siang dank au sudah siap berpamitan.
“Selamat menggapai harapan baru. Yakinlah, apapun yang diperuntukkan Tuhan buat kita, akan menjadi milik kita. Kelelahanmu dalam berusaha, adalah wujud sempurnanya ikhtiar.”
Pagi itu kau berlalu. Dan aku tidak tidur di malam hari. Hatiku mulai dirayapi kesadaran tentang kekerdilan atas diriku, entah mengapa. Pernyataanmu tentang hidupku yang berwarna, berbalik 180 derajat dan terasa seperti sindiran menjadi warna hidupku -- warna yang dengan jujur kuakui lebih banyak sisi kelam dan menggelisahkan. Warna yang membuatku gamang memaknai bahwa hidup adalah pilihan (apa sejatinya pilihan?) – apakah menikah dengan pengguna narkoba adalah pilihan? Menentang keluarga pilihan? Berjalan seorang diri di sepanjang hidup pilihan? Menilai baik menurutku sendiri adalah pilihan? Sampai di sini aku kehilangan suaraku yang biasanya lantang!
Mungkin YA untuk seseorang, tapi TIDAK untuk seseorang yang lain. Tapi apapun itu, sebuah pilihan adalah sesuatu yang lahir dari pergulatan, yang satu sama lain bisa berbeda-beda dan kadang berubah seiring masa. Ia sebuah nilai, juga konsekuensi, tidak sekedarnya.
Dan sampai di sini pikiranku dipenuhi segala sesuatu tentangmu. Kamu yang teduh dan indah, seindah lukisan-lukisan tanganmu pada setiap huruf yang kau ukir saat menulis namaku. Meski demikian, aku belum bisa berkata, ”aku mencintamu,” dan mengatakan bahwa kamu baik -- karena kebaikan dan kesempurnaan menurutku hampir tak ada definisinya. Semakin baik, semakin sempurna, ia bahkan kian tak terlihat.
Dan.
Malam itu jemariku yang sering menunjuk kaku mulai mengetik huruf-huruf dan kukirim melalui telepon selulerku.
“Kamu tahu hidup manusia terlalu singkat dan banyak hal yang harus dilakukan. Terlalu kecil untuk hanya berkecimpung tentang diri sendiri. Sayangnya, banyak hal-hal besar terhambat karena soal-soal kecil bernama kesalahpahaman dan ketakpercayaan dari pasangan yang berkeluarga (yang kadang hanya demi birahi dan ego kita yang terselubung). Terus terang, aku tak bisa hidup dengan pasangan yang seperti itu. Karena hidupku tidak ingin berhenti. Hidup adalah bertumbuh dan aku ingin terus bertumbuh.”
“Dari hati yang paling dalam, bagiku sama sekali itu bukan masalah. Bagi dua orang yang sudah menikah, yang penting dalam dirinya berkesadaran sebagai istri atau sebagai suami di manapun dan dalam kondisi apapun kita, cukup itu saja.”
”Aku ingin bahwa dalam pernikahan adalah hubungan yang egaliter. Dua orang yang bisa menjadi teman dalam menjalani hidup, untuk bersama mengarungi kehidupan. Tapi kamu tak harus setuju atas perinsipku itu.”
”Setuju,” katamu tanpa pikir panjang yang membuatku ragu tapi intuisiku tidak.
”Aku seorang seniman yang menyukai keindahan musik, seni rupa, dekorasi, dll. Jadi, aku sangat-sangat suka keterbukaan, dan kebebasan yang beretika. Kamu tidak akan pernah terhenti. Kita akan tumbuh bersama. ICH LIEBE DICH.”
”Bernarkah?” kataku meski sejujurnya sudah lama sekali aku tak pernah mempercayai sebuah janji.
“Kebebasan dibutuhkan agar kita bisa berkarya, baik untuk diri sendiri, keluarga dan sesama.”
Ada jeda yang begitu lama. Ada kedamaian menyusup jiwa. Kurasa, saatnya bagiku merenungkan kata-katanya.
Dan.
Kurasa aku menyukainya.
Jakarta, 30 April 2011 (fiqoh)
Hanya nyanyian yang tak selesai
Juga setelan gitar yang sumbang
Kita bicara berpindah-pindah tema
Aku tahu bukan itu sesungguhnya
Hingga tiba temaram yang muram
Dan hatiku bersyukur karenanya
Entah kenapa
Seminggu berlalu sejak jumpa pertama. Dan aku tak memikirkannya lagi. Tapi sapaan pagimu rutin mendatangiku.
“Bangunlah, senyum, sambut hari baru, dengan harapan baru!”
Dan.
“Terimakasih,” jawabku selalu.
Sebuah perjalanan sore yang berkabut, kaca depan mobil bagai disirami agar-agar tebal. Musik bervolume rendah dipaksakan mengalun demi mengusir ketegangan yang lelah. Dan aku mencoba mengingatmu di saat aku berada di samping seseorang, wajahmu yang samar seperti kaca itu.
Di suatu siang setelah seminggu yang diam. Pertemuan kita bagai serial dalam cerita bersambung -- kamu menunggu di pinggir jalan dan aku di dalam mobil bersama sesorang. Saat itu kulihat dari balik kaca wajahmu yang hitam manis, nampak elegan dengan kemeja hitam bergaris, dan jeans warna biru navy yang membuat penampilanmu serasi. Hatiku memberi nilai 8 untukmu.
Di sebuah malam, aku berusaha mengumpulkan ingatan itu – menyebabkan sakit pada kepalaku, bagai seorang amnesia di antara keterpecahan ingatan masa lalu. Membayangkanmu jauh lebih sulit dibanding jika aku mengenang sosok laki-laki selainmu terlebih karena dia sangat disukai oleh tubuhku meski tidak keluargaku. Tentu aku menyukai dada bidangnya yang bagus dengan bulu lebat yang lembut dan jauh dari postur penjajah wanita, juga berhati baik. Dia berwajah campuran Cina dan Sunda, yang meski seiman denganku tapi diragukan keluargaku, ditambah bumbu narkoba membuatnya tercela, meski celaku lebih banyak lagi.
Tiga minggu membeku untuk hubungan kita.
Ini hari pertama kau absen menyapa. Mungkin kau lelah dan aku lebih-lebih lagi karena sementara itu orang-orang di sekitar kita banyak mengambil alih dengan berkirim sms dan menelponku, mereka bagai para sales dari sebuah perusahaan yang tengah meluncurkan porduk baru. Mareka berkata bahwa kamu produk terbaik buatku, kamu pengertian, taat beragama, memiliki estetika baik tentang seni, dsb, dsb. Orang-orang itu agaknya menahan nafas menungguku bermurah hati untuk bersay hallo padamu.
Dan aku melakukannya.
“Hai, apa kabarmu?” kataku, tanpa pakai salam seperti yang sering kau gunakan ditambah doa terbaik dan pengharapan.
“Terimakasih untuk smsmu, aku baik dan kamu?”
“Baik juga. Maaf sering tak membalas smsmu termasuk semalam, karena aku sedang perajalanan menuju suatu tempat.”
“Oh, tidak apa-apa. Mengerti.”
Dalam hitungan menit, para ‘sales’ mengirimkan sms memberi selamat (aku tahu) kamu memang baik di mata orang-orang sekelilingmu. Komunikasi singkat kita dengan cepat bahkan menjalar ke keluarga sepupu, kakak, adik, hingga ipar-ipar di keluargamu. Dan mereka memburuku untuk menerima lamaranmu, dengan alasan aku akan berubah pikiran atau kamu yang berubah pikiran.
Ya, aku tahu maksud semuanya baik. Tapi aku semakin ingin menjauh.
“Pernikahan?” gumamku selalu dalam hati dan aku bagai kembali ke masa perpindahan dunia dimana takkan bisa kulalui semalampun di sepanjang hidupku tanpa jepitan dalam ketiak pasanganku.
Sebuah malam di minggu keempat April 2011. Kau datang untuk sebuah proyek bersama temanku yang kini sebagai teman barumu. Dan entah siapa yang memulai, kita saling berbicara.
“Kau terlihat sangat sibuk. Kalau tak ada waktu, tak perlu sempatkan ngobrol denganku,” katamu saat aku membawa dua cangkir kopi ke hadapanmu.
“Nikmati saja. Kalau aku sudah di depanmu, artinya aku di depanmu. Dan jangan berpikir yang lain,” timpalku dan kusadari betul ada nada ketus dalam suaraku.
Lama kita saling diam. Kau seperti merasa beruntung ada beberapa pot tanaman untuk mengalihkan pandanganmu. Dan aku bersyukur pada seekor kucing kecil yang bermain-main di kakiku. Beberapa saat kita saling sibuk dengan diri sendiri.
“Kapan punya waktu untuk ngobrol?”
“Kapan-kapan.”
Pertanyaan dan jawaban bodoh yang kita lakukan dan mungkin tak disadari olehmu (bukankah saat itu kita sudah ngobrol?).
“Berarti tak bertepi,” katamu hampir tak terdengar dan aku membiarkannya.
“Aku mengerti kamu sibuk,” katamu meneruskan dengan nada penuh pengertian, dan meneruskan, “Kamu seorang pejuang. Kulihat kamu memiliki banyak teman yang baik. Duniamu berwarna.”
“Jadi? Apa maksudmu berkata itu?”
“Aku ingin melukiskan warna itu untukmu jika diijinkan,” katamu datar dan tak memaksa. Aku diam meski tak tahu apa maksudnya, hingga di sebuah pagi dimana aku bangun siang dank au sudah siap berpamitan.
“Selamat menggapai harapan baru. Yakinlah, apapun yang diperuntukkan Tuhan buat kita, akan menjadi milik kita. Kelelahanmu dalam berusaha, adalah wujud sempurnanya ikhtiar.”
Pagi itu kau berlalu. Dan aku tidak tidur di malam hari. Hatiku mulai dirayapi kesadaran tentang kekerdilan atas diriku, entah mengapa. Pernyataanmu tentang hidupku yang berwarna, berbalik 180 derajat dan terasa seperti sindiran menjadi warna hidupku -- warna yang dengan jujur kuakui lebih banyak sisi kelam dan menggelisahkan. Warna yang membuatku gamang memaknai bahwa hidup adalah pilihan (apa sejatinya pilihan?) – apakah menikah dengan pengguna narkoba adalah pilihan? Menentang keluarga pilihan? Berjalan seorang diri di sepanjang hidup pilihan? Menilai baik menurutku sendiri adalah pilihan? Sampai di sini aku kehilangan suaraku yang biasanya lantang!
Mungkin YA untuk seseorang, tapi TIDAK untuk seseorang yang lain. Tapi apapun itu, sebuah pilihan adalah sesuatu yang lahir dari pergulatan, yang satu sama lain bisa berbeda-beda dan kadang berubah seiring masa. Ia sebuah nilai, juga konsekuensi, tidak sekedarnya.
Dan sampai di sini pikiranku dipenuhi segala sesuatu tentangmu. Kamu yang teduh dan indah, seindah lukisan-lukisan tanganmu pada setiap huruf yang kau ukir saat menulis namaku. Meski demikian, aku belum bisa berkata, ”aku mencintamu,” dan mengatakan bahwa kamu baik -- karena kebaikan dan kesempurnaan menurutku hampir tak ada definisinya. Semakin baik, semakin sempurna, ia bahkan kian tak terlihat.
Dan.
Malam itu jemariku yang sering menunjuk kaku mulai mengetik huruf-huruf dan kukirim melalui telepon selulerku.
“Kamu tahu hidup manusia terlalu singkat dan banyak hal yang harus dilakukan. Terlalu kecil untuk hanya berkecimpung tentang diri sendiri. Sayangnya, banyak hal-hal besar terhambat karena soal-soal kecil bernama kesalahpahaman dan ketakpercayaan dari pasangan yang berkeluarga (yang kadang hanya demi birahi dan ego kita yang terselubung). Terus terang, aku tak bisa hidup dengan pasangan yang seperti itu. Karena hidupku tidak ingin berhenti. Hidup adalah bertumbuh dan aku ingin terus bertumbuh.”
“Dari hati yang paling dalam, bagiku sama sekali itu bukan masalah. Bagi dua orang yang sudah menikah, yang penting dalam dirinya berkesadaran sebagai istri atau sebagai suami di manapun dan dalam kondisi apapun kita, cukup itu saja.”
”Aku ingin bahwa dalam pernikahan adalah hubungan yang egaliter. Dua orang yang bisa menjadi teman dalam menjalani hidup, untuk bersama mengarungi kehidupan. Tapi kamu tak harus setuju atas perinsipku itu.”
”Setuju,” katamu tanpa pikir panjang yang membuatku ragu tapi intuisiku tidak.
”Aku seorang seniman yang menyukai keindahan musik, seni rupa, dekorasi, dll. Jadi, aku sangat-sangat suka keterbukaan, dan kebebasan yang beretika. Kamu tidak akan pernah terhenti. Kita akan tumbuh bersama. ICH LIEBE DICH.”
”Bernarkah?” kataku meski sejujurnya sudah lama sekali aku tak pernah mempercayai sebuah janji.
“Kebebasan dibutuhkan agar kita bisa berkarya, baik untuk diri sendiri, keluarga dan sesama.”
Ada jeda yang begitu lama. Ada kedamaian menyusup jiwa. Kurasa, saatnya bagiku merenungkan kata-katanya.
Dan.
Kurasa aku menyukainya.
Jakarta, 30 April 2011 (fiqoh)
Langganan:
Postingan (Atom)