Di suatu malam bulan Mei 2011, aku berada di tengah-tengah Majelis Al Ghifary. Sebuah khotbah usai sholawat, mengisahkan sahabat Rosul bernama Jabir RA, yang bermaksud menjamu Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Jabir yang tak mengira bahwa Muhammad bersama bala tentaranya, mulai cemas dengan sedikit makanan yang dimilikinya. Lalu ia mengungkapkan kecemasan itu pada Rosulullah. Kemudian Rosul memberkati makanan yang sedikit itu, dan meminta Jabir agar tamunya disuruh memasuki ruang makan secara bergiliran.
Berkelompok para sahabat Nabi memasuki ruang makan untuk bersantap. Begitu seterusnya hingga seluruhnya bisa makan secukupnya bahkan kenyang. Tapi setelah semuanya pulang, makanan masih tersisa. Bahkan hingga berhari-hari, gandum yang terus ia masak itu bagai tiada habisnya. Jabir yang penasaran lalu menimbangnya. Dan ketika itu, sisa gandum yang ia masak habis pada keesokan harinya.
Jabir lalu memberitahukan pada Muhammad, kenapa gandum yang tadinya berkah dan tak pernah habis akhirnya habis juga. Maka Muhammad bertanya, “Kamu apakan gandum itu?”
“Saya menimbangnya Ya Rosul,” jawab Jabir.
***
Malam itu juga, aku teringat cerita Simbahku di kampung. Ini sebuah wejangan dari seorang dukun bayi.
“ Jika kita mendapati bayi yang baru lahir tanpa kegenapan anggota badan, tak perlu banyak bicara dan melihatnya berlama-lama. Berpura-puralah tidak tahu itu. Segeralah ambil tampah atau daun untuk menutupnya, lalu bilang, “Tuhan, sepertinya masih ada yang kurang. Tolong digenapi.”
Dan kita akan mendapati bayi mungil dengan anggota badan yang telah tergenapi saat membukanya kembali.
Hal di atas sepertinya hendak memberitahu kita, bahwa keajaiban perlu ruangnya sendiri, dengan caranya sendiri. Ia tak kasat mata. Karena keajaiban yang kasat mata adalah sebuah sulap yang dibuat manusia.
Di dunia ini, kita sering hanya percaya pada yang logika – kita ada karena menulis, atau kita ada karena berpikir.
Persis. Di sinilah letaknya, menulis atau berpikir -- sebuah keberadaan yang sering terasa melambungkan, justru menandakan betapa kita memang dangkal dari yang Maha Tinggi, maha yang tak terjangkau dengan daya pikir serta logika.
Untuk mengalami sebuah transenden, manusia perlu sejenak tidak melihat dengan mata, serta tidak menghitung dengan logika.
Jakarta, 21 Juni 2011 (Fiqoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar