oleh fiqoh
Di sebuah kesempatan singkat, seorang guru yang dielu-elukan di mata anak didik dan masyarakatnya, bersikap nakal pada sang pacar.
“Hush! Nggak boleh nakal! Apa kata mereka jika mereka tahu kau seperti ini, sedang mereka pendengar setia ceramahmu dan belajar kebaikan darimu!” sergah sang pacar sambil melengos dan menepis tangan lelaki yang sering terlihat santun itu.
“Kau tahu, ceramah itu selalu untuk orang lain tapi tidak untuk diri sendiri.”
“Ya, aku tahu sekarang. Perbuatanmu berbeda sama sekali dengan kata-katamu. Selama ini kau hanya selalu berteori!”
“… Tak selalu begitu, tapi aku ingin bilang bahwa, yang untuk diri sendiri itu disebut bertafakur dan berbaur. Dari sana, kita melihat bahwa kita masih selalu di ambang – apakah sebuah ajaran cukup dihafalkan atau sudah kita amalkan.”
Sang pacar menatap tajam pada Sang Guru yang ambigu.
“Jalan hidup penceramah tidak sama dengan jalan yang ditempuh jema’ahnya. Di luar perilakumu yang barusan, aku mau bertanya, apakah kau masih bisa bersabar, jika sehari saja, kau ikut denganku berinjak-injakan kaki di kereta api, agar tetap bisa masuk kerja?”
Sang Guru tertunduk ragu.
“Yang kulalui selama ini adalah bentangan permadani. Sebelum kakiku menyentuhnya, orang-orang akan memberiku jalan sambil membungkukkan diri.”
“Satu saja, apa solusi Guru agar saya tetap beristiqomah saat menghadapi penegak hukum yang berkhianat, majikan yang curang, dan…”
“Cukup!” Sang Guru memotong.
“Jangan ditambah pertanyaanmu. Bahkan aku mulai ragu apakah aku masih bisa memelihara senyum manis dan tatapan teduhku, jika aku harus berjejal, berhimpit, dan berinjak-injakan kaki seperti itu. Itulah cacatku. Dan inilah cacat-cacat berikutnya -- perilaku rendahku di hadapanmu saat ini.”
“Kau bermain-main dengan ini semua?”
“Aku hanya ingin kau tahu, bahwa keseriusanku terkadang menjadi saat bagiku bermain-main.”
Kata Bang Dit, Agama adalah apa yang kita jalani, bukan yang kita katakan.
Jakarta, 18 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar