Rabu, 27 Juli 2011

Aku Tak Takut Tuhan

oleh fiqoh

Karena di dunia ini, polisi, militer, hakim dan KPK lebih menakutkan. Dan dalam tataran sosial di masyarakat, hukum massa jauh lebih mengerikan.

Mereka, bisa melenyapkan kehidupan – membunuh jiwa dan karakter yang masih hidup hingga menghilangkan nyawa. Sungguh sebuah peran yang melebihi Tuhan bukan?

Di suatu hari di pertengahan malam, seseorang yang telah berbuat kesalahan dan membuatku marah berkirim sms meminta maaf. Karena kemarahanku kadarnya tinggi, dia memohon ampunan yang seakan mendudukkanku dalam posisi yang sangat tinggi.

”Mohon maafkan aku, ampuni kekhilafan aku. Sekarang ini aku sedang mengenang segala kebaikanmu, dan merenungkan segala kekhilafanku. Aku adalah makhluhk dhoif yang pantas dicaci, tapi kumohon janganlah kau cerita ke orang-orang tentang kebodohan dan kekurangajaran ini. Biarlah hanya engkau, Allah, dan malaikat pencatat amal jelek sajalah yang tahu, wassalam al fakir.”

Banyak hal jelek dan kejahatan yang kita lakukan dalam hidup. Dan untuk semua kesalahan itu, kita terbukti lebih takut dengan penghakiman sesama manusia dibanding Tuhan. Ini membuktikan bahwa Tuhan memang jauh lebih bijak, lebih ramah dan tidak menakutkan.

Masihkah kita ingin mencari-cari kedholiman Tuhan melalui penggambaran siksa neraka yang memotong tangan pencuri dan lidah pembohong? Jika di dunia, sebagai manusia kita bahkan sanggup melakukan penyiksaan yang lebih keji? Maling ayam yang tertangkap basah bisa dibakar hidup-hidup dan dicincang-cincang bukan?

Maka, ketika temanku berkata, kenapa situasi negeri sudah carut-marut kok Gusti Allah membiarkan ya? Jawabnya, karena sifat-Nya tidak seperti sifat kita.

Sms temanku, bagaimanapun, disadari atau tidak jelas membuktikan bahwa ia lebih takut pada orang-orang, pada hukum sosial di masyarakat kita. Dan masih banyak lagi. Misalnya, pasangan yang bersetubuh di tempat prostitusi, para penipu, dan pelaku korupsi, ia lebih takut sama KPK, Hakim dan polisi.

Ada sebuah kebalikan pola hukum yang kita berlakukan dimana azas legalitas sering tidak mengusung azas universalitas. Melanggar undang-undang ditindak berdasarkan undang-undang (kalau ada undang-undangnya), tapi yang universalitas adalah soal kesepkatan umum yang konsekuensinya ditanggung oleh khalayak. Maka koruptor yang merugikan dan menyengsarakan umat, harusnya tidak hanya dijerat dengan undang-undang korupsi dan bisa berdamai di pengadilan. Begitu juga dengan undang-undang tentang lalulintas, yang semuanya bermuara pada pembayaran denda kepada negara. Lho, memangnya negara yang dirugikan?

Ketika sikap ugal-ugalan pengemudi hanya mengakibtakan hilangnya nyawanya sendiri, maka boleh saja pelanggarannya cukup diselesaikan dengan berdamai kepada polisi atau membayar denda di pengadilan. Tapi, kita semua tahu bahwa sikap ugal-ugalan yang mengakibatkan kecelakaan, selalu mengancam keselamatan jiwa orang lain bukan?

Kembali kepada ranah privat dan wilayah publik, hukum Tuhan dan manusia. Belum lama ini ada sebuah konflik kecil dimana aku terganggu dengan seseorang yang bersikap tidak senonoh. Kukatakan padanya, bahwa aku tidak suka dengan sikapnya dan marah. Lalu ia bilang, dia akan bertobat untuk kesalahan yang dia lakukan padaku.

Menurutku, masalah tobat masuk di ranah privat dan setiap orang memiliki caranya sendiri. Sedangkan masalah harga menghargai adalah masuk wilayah hubungan antarsesama. Bahwa kita telah bertobat, bertakwa atau atau tidak, siapapun tak akan bisa membuktikan kecuali melihat perbuatannya, itupun hanya salah satu indikator. Maka, aku sepakat dengan perkataan temanku, bahwa agama bukanlah apa yang kita katakan tetapi apa yang kita jalani.

Sudah terlalu lama, dan terus-menerus kita menerapkan pola terbalik dalam hukum kita. Kesalahan dengan sesama kok minta maafnya sama Tuhan, dan kesalahan dengan rakyat minta maafnya sama Penguasa. Padahal Tuhan sudah berfirman yang kurang lebihnya, Ia tidak akan mengampuni kesalahan yang kita buat kepada sesama manusia, sebelum kesalahan itu dimaafkan oleh manusia yang kita sakiti.

Di luar itu, kita juga sering salah sasaran dalam memahami takdir. Kemiskinan, ketidakdilan, kebodohan, selalu kita tumpahkan pada agama. Meski jelas sudah diisyararatkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubahnya.

Hak veto dari Tuhan yang istimewa ini jarang kita gunakan. Sehingga rejeki, jodoh dan kematian diterima sebagai harga mati. Padahal, ia harusnya menjadi sinyal sebagai semangat juang.

Jangan lagi, manusia yang bejat, agama yang dihujat.


Jakarta, 27 Juli 2011

Tidak ada komentar: